Pertanyaan
Min
Fadlik ustadz, tolong dishare tentang materi menyambut tahun baru dalam
pandangan Islam.
Ustadz
apa hukumnya muslim turut serta merayakan tahun baru khususnya di malam
harinya.
Jawaban :
Polemik tentang hukum turut sertanya
seornag muslim merayakan tahun baru Masehi sudah terjadi sejak lama. Secara umum, terbagi
menjadi dua kelompok pendapat, yang membolehkan dengan syarat dan yang
memutlakkan keharamannya. Mari kita simak masing-masing pendapat dari dua kubu ini.
A. Yang membolehkan.
Dasar dari pendalilan pendapat yang
mombolehkan seorang muslim turut serta merayakan tahun baru adalah : Perayaan malam tahun baru masehi itu tidak terkait dengan ritual agama tertentu. Ia
adalah adat masyarakat dunia secara universal yang bukan lagi milik kelompok
tertentu atau agama tertentu. Di berbagai belahan dunia, orang-orang
merayakan tahun baru bahkan diiringi dengan pesta dan lainnya.Tetapi bukan di
dalam rumah ibadah, juga bukan dalam rangka perayaan agama.
Sehingga perkara seperti ini kembali
kepada hukum asal muamallah, yakni boleh sampai ada hal yang mengharamkannya.
Jika ada seorang muslim yang merayakan
tahun baru dengan niat mengikuti ibadah orang kafir, maka hukumnya pasti haram.
Atau perayaannya diisi dengan dengan hal-hal yang haram seperti mabuk-mabukkan, perzinahan dan perjudian maka hukumnya sudah pasti haram.
Tapi bila seseorang sekedar turut menyaksikan pawai, makan bersama keluarga
dengan moment tahun baru masak iya mau diharamkan juga ?
Maksiat yang terjadi di tahun baru
seperti mabuk-mabukkan, zina dan serangkaian maksiat, Yang haram adalah
maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya. Analoginya di hari libur,
semisal malam minggu, banyak orang bermaksiat di dalamnya, apakah akan
diharamkan juga sebuah keluarga yang mau bermalam libur di malam tersebut ?
Kalender di Indonesia pada saat hari
besar agama lain berwarna merah (libur). Sekolah dan institusi Islam juga turut
meliburkan aktivitas mereka, nah, apakah mau dikatakan turut merayakan ritual
agama lain,tidak bukan?
Kesimpulannya menurut kelompok pendapat
pertama ini, turut bergembira di tahun baru Masehi bagi umat Islam selama diisi dengan hal-hal
positif, seperti berkumpul bersama keluarga , menyantuni yatim piatu, memberi
makan fakir miskin, membersihkan lingkungan dan sebagainya adalah hal yang
mubah.
B. Pendapat yang Mengharamkan
Tidak sedikit kalangan ulama dan umat
Islam yang meharamkan turut sertanya muslim merayakan tahun baru. Bila kita
telisik, paling tidak ada 5 dasar pengharaman ini. Meskipun mungkin ada
sebagian yang setuju di 2 atau 3 dalil saja, sedangkan sisa dalil lainnya
dianggap terlalu ekstrim. Semisal pernyataan bid’ah, ternyata digunakan juga
sebagai dalil untuk mengharamkan peringatan Maulid Nabi dan hari besar lainnya.
Yang tentu saja tidak disetujui meskipun oleh sesama pendukung pendapat ini.
1.
Perayaan Tahun Baru Adalah Ibadah Orang
Kafir
Diakui ataupun tidak, perayaan tahun baru adalah hari besar dan syiar Nasrani. Dan lebih jauh
lagi, ia adalah hari perayaan kaum pagan. Sehingga jelaslah, seorang muslim
diharamkan secara mutlak turut mengagungkan hari ini.
Anas bin Malik
mengatakan,“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua
hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang
ketika itu. Ketika Nabi shallallahu‘alaihi wassallam tiba di Madinah, beliau
mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya.
Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu
hari Idul Fithri dan Idul Adha”. (HR.
Nasai)
2.
Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat
Perayaan Tahun baru adalah ajang
maksiat dan munkarat. Siapapun kalau mau jujur pasti akan mengakui besarnya
maksiat yang terjadi disetiap perayaan tahun baru, khususnya di malam harinya. Sehingga
disini berlaku kaidah bahwa sesuatu itu dihukumi berdasarkan hukum umumnya,
jika ia dikenal sebagai waktu dan tempat
maksiat maka haram bagi muslim untuk ada di tempat tersebut.
3.
Tasyabbuh dengan kaum Kafir
Dalam perayaan tahu baru ada
perkara-perkara yang jelas-jelas merupakan perkara tasyabbuh, semisal terompet
yang ditiup, lonceng yang dipukul dan api yang dinyalakan. Itu semua jelas
bentuk penyerupaan dengan kebiasaan orang Yahudi, Nasrani dan Majusi. Padahal Rasulullah
shalallahu’alaihi wassalam mengingatkan :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad)
Walhasil,
perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir.
Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.
4.
Perkara bid’ah yang tidak
ada tuntunannya
Sebagian orang mengisi tahun baru dengan
dzikir dan acara –acara yang menurut mereka positi, dengan argument, “Daripada
waktu kaum muslimin ikut aara-acara yang berisi maksiat dan sia-sia, mending
malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid.
Ini
tentu telah membuat suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru
sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus
disyari’atkan amalan tertentu ketika itu?
5.
Pemborosan dan berbuat
kesia-siaan.
Perayaan
tahun baru khususnya malam harinya adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam
waktu satu malam. Berapakah uang dan
waktu yang kita habiskan hanya atas nama tahun baru Masehi ? Jika setiap orang
menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.10.000 untuk membeli mercon
dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun
baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang
dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? 10 milyar !
Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan
Rp. 10.000, bagaimana jika lebih dari itu?! Padahal Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isra’: 26-27).
C. Kesimpulan
Demikian pendapat –pendapat yang
ada tentang hukum turut sertanya kaum muslimin merayakan tahun baru Masehi. Diantara
kita, atau mungkin sebagian besar dari kita mungkin akan memilih pendapat yang
membolehkan, secara hak dan pandangan ilmiah mungkin sah-sah saja. Tapi yang perlu
diingat, setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Dan bukan berarti jika kita
mengikuti pendapat pertama semuanya jadi serba boleh, paling tidak jauhi bentuk
tasyabbuh dan maksiat di malam tahun baru.
Sebaliknya kita yang mampu
berhijrah meninggalkan subhat dalam agama termasuk dalam permasalahan tahun
baru ini. Alhamdulillah, ini tentu sebuah nikmat yang harus disyukuri. Tapi
jangan lantas diiringi dengan perkara yang bisa mengotori hati dengan sikap
merendahkan dan mencaci yang belum mampu melakukannya.
Semoga Allah menjaga kita.
Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment