Zakat Profesi


Zakat profesi ini sebuah permasalahan dalam bab zakat yang benar-benar masih sangat baru, jangankan di zaman Nabi, di dalam kitab –kitab fiqih saja, kita tidak akan menemui pembahasan tentang permasalahan ini. Jadi sejak awal abad Islam sampai diambang abad ke- 15, belum ada satupun ulama yang pernah membicarakannya.

Zakat profesi dicetuskan baru-baru ini oleh sebagian ulama, diantaranya adalah Syaikh Abdulwahhab Khalaf dan Syaikh Yusuf Qaradhahwi.  Khusus di tanah air, kajian dan praktik zakat profesi mulai marak di Indonesia kira-kira sejak tahun 90-an akhir dan awal tahun 2000-an. Khususnya setelah tulisan Yusuf Qaradhawi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Didin Hafidhuddin dengan judul Fikih Zakat yang terbit tahun 1999.

Zakat profesi dipandang sebagai sebuah trobosan baru dalam masalah zakat yang dianggap  berangkat dari Ijtihad  yang memiliki dasar dan alasan yang cukup kuat. Meskipun kemudian pada kenyataannya, tidak sedikit para ulama yang angkat suara menentang habis-habisan.
Mari kita simak permasalahan zakat yang satu ini, ditinjau dari pendukung dan penentangnya. Sekaligus ragam jenisnya, karena ternyata para pendukung zakat profesi itu sendiri terbagi menjadi beberapa kelompok pendapat. 

Pengertian zakat profesi
Zakat profesi dalam bahasa Arab lebih  dikenal dengan istilah zakatu kasb al-amal wa al-mihan al- hurrah (زكاةُ كَسْبِ العَمَلِ والمـهَنِ الحُرَّةِ), atau zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas.[1]
Sedangkan yang umum digunakan oleh lembaga-lembaga zakat tanah air, zakat profesi didefinisikan sebagai zakat dari penghasilan atau pendapatan yang didapat dari keahlian tertentu, seperti dokter, arsitek, guru, penjahit, pengrajin tangan, pegawai negeri dan karyawan swasta.

Hukum zakat profesi

Keberadaan zakat profesi sampai hari ini masih terus menjadi polemik. Sebagian ulama mendukung dan menganggapnya sebagai buah ijtihad dalam masalah zakat yang memiliki dasar syariat yang kuat,  sedangkan sebaliknya tidak sedikit para ulama yang menentangnya. 

A.    Argumen Pendukung zakat Profesi
Para ulama pengusung dan pendukung zakat profesi juga mencoba memaparkan dalil dan menyampaikan pembelaan atas pendapat mereka. Berikut rinciannya. 

1.      Dalil umum zakat
Yakni berdasarkan dalil umum firman Allah ta’ala :
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
" Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang – orang yang meminta dan orang-orang miskin yang tidak mendapatkan bagian . " ( Qs Adz Dzariyat : 19 )
Dan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
" Wahai orang-orang yang beriman bersedekahlah ( keluarkanlah zakat ) dari apa yang baik- baik dari apa yang kalian usahakan “( Qs. Al Baqarah : 267 )

2.      Asas dasar Zakat
Asas dasar zakat adalah keadilan. Sangat tidak adil bila para petani Miskin dipelosok desa, pedagang yang sering bunting daripada untung diwajibkan zakat, sedangkan mereka yang bekerja sebagai karyawan, buruh dan pegawai dengan gaji lebih besar justru tidak ada kewajiban zakatnya.

3.      Aktualisasi dan koreksi atas pendapat-pendapat lama
Kalangan ini sebagiannya menolak syarat haul dari sebuah objek zakat yang merupakan ijma ulama mazhab. Karena dipandang berlandaskan kepada hadits yang lemah menurut mereka. Atau sebagiannnya dengan mengqiyaskan kepada zakat pertanian yang memang tidak membutuhkan haul.

4.      Perubahan Standarisasi Kekayaan
Secara umum kewajiban zakat itu dibebankan kepada orang kaya, dan mereka yang tergolong miskin tidak dikenakan kewajiban zakat sama sekali.
تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلىَ فُقَرَائِهِمْ      

"Harta zakat itu diambil dari mereka yang kaya dan diperuntukkan untuk orang-orang yang faqir" (HR. Bukhari).

            Dulunya mereka yang kaya itu rata-rata adalah para petani, pemilik kebun, sawah dan ladang. Biasanya mereka banyak mendapatkan harta dari hasil bumi, untuk untuk itulah mereka wajib memberikan zakatnya atas harta yang merek dapatkan.

            Dan sekarang sepertinya standar orang kaya itu tidak hanya bagi mereka yang punya banyak kebun saja, bahkan terkadang malah sebaliknya, para petani kita sekarang ini malah tergolong miskin. Dan yang kaya sekarang itu adalah mereka  yang bekerja bukan dari bidang pertanian, akan tetapi justru dari kalangan professional seperti dokter, guru, dosen, direktur, karyawan, pengacara, dll.

Para ulama pendukung zakat profesi adalah Syaikh Yusuf al Qardhawi, Dr. Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Al Ghazali dan Syeikh Abu Zarhah, . Dan di Indonesia , pendapat ini didukung oleh Muhammadiyah dan MUI dengan catatan khusus.

B.     Argumen penentang zakat profesi
Paling tidak ada 5 alasan utama yang menjadi alasan para ulama menentang zakat profesi, yaitu :

1.      Zakat adalah masalah Ubudiyah
Zakat adalah termasuk ibadah yang segala macam bentuk aturan dan ketentuannya hanya boleh dilakukan kalau ada petunjuk yang jelas dan tegas dari Syariah. Sehingga bentuk kreasi atau penambahan dalam masalah zakat semisal adanya zakat profesi tidak semestinya dilakukan.

2.      Tidak ada nas - nya.
Prinsipnya, sebuah aktivitas ibadah sekelas zakat yang merupakan bagian dari rukun Islam, harus berdasarkan nas tegas yang melandasinya. Sedangkan zakat profesi dalam pandangan kelompok ini, jangankan memiliki nas, ulama sepanjang 14 abad saja tidak ada satupun yang membicarakannya.

3.      Menolak dalil-dalil umum kalangan pendukung zakat profesi
Ayat-ayat yang dikemukakan sebagai dalil zakat profesi sesungguhnya tidak tepat dan tidak dapat menjadi landasan zakat profesi. Sebab sungguhpun ayat-ayat tersebut mempunyai pengertian umum yang mewajibkan infaq (mengeluarkan harta), tapi keumumannya sudah dikhususkan dan dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi shalallahu’alaihi wassalam. Dalam hadits hanya ada dua jenis zakat, yakni zakat fitrah, dan zakat maal yang meliputi 4 (empat) macam mal (harta), yaitu : zakat binatang ternak (zakat al mawasyi), zakat tanaman dan buah-buahan (zakat az zuruu’ wa ats tsimaar), zakat perdagangan (zakah at tijarah), dan  zakat emas dan perak (zakah adz dzahab wa al fidhdhah) termasuk dalam hal ini zakat uang. Tidak ada satu pun dalil yang mensyariatkan adanya zakat profesi.

4.      Profesi bukan hal baru
Para ulama  empat mazhab pun sepertinya tidak pernah membahas masalah zakat profesi, padahal sejak dulu masyarakat dunia sudah mengenal istilah profesi, dan bahkan mereka dulu sudah ada yang berprofesi sebagai dokter, karyawan, pengrajin dan lain sebagainya.

5.      Zakat profesi bermasalah dan qiyas yang tidak tepat.
Adanya  perdebatan sengit dan perbedaan tatacara pelaksanaan antara pendukung zakat profesi  menjadi dalil kalangan ini untuk menolak zakat profesi. Karena menunjukkan ketidakjelasan landasan hukumnya.

            Masalah nishabnya, jika memang ada kira-kira nishbanya berapa? Jika memang memakai nishab pertanian berarti jumlah lebih kurang 520 kg. dan ternyata dari sini juga ada perbedaan, 520 kg gabah atau beras?

            Masalah jumlah zakat yang harus dikeluarkan berapa? Apakah  5 % atau 10% sesuai dengan ketentuan zakat pertanian, atau jumlahnya 2,5% disesuaikan dengan zakat harta. Tapi jika nishabnya nishab tanaman mengapa aturan pengeluarannya malah menyesuaikan dengan aturan pada zakat harta?

            Masalah waktu pengeluarannya juga dipermasalahkan, kapan waktu pengeluarannya? Adakah setiap bulan, atau tiga kali setahun dengan asumsi bahwa panennya para petani itu biasanya tiga kali setahun, atau mengeluarkannya harus satu tahun dulu?

            Inilah permasalahan-permasalahan yang membuat kelompok ini meyakini bahwa zakat profesi itu tidak ada dalam islam. Toh kalupun mau mengeluarkan sebagian harta dari penghasilan tersebut bisa dengan jalan infaq, shadaqoh, bukan dengan nama zakat.

Ulama kontemporer yang mewakili kelompok yang menolak zakat profesi ini adalah Syaikh Wahbah zuhaili dalam kitabnya yang fenomenal : Fiqh al Islami wa adillatuhu. Demikian juga umumnya para ulama Saudi yang tergabung dalam Haiah Kibaril Ulama secara tegas menolak adanya zakat profesi. Jika di Indonesia,pendapat ini diwakili oleh mayoritas ulama yang tergabung di organisasi Islam NU dan Persis.

Bersambung …






[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, (I/497); Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (II/865) ; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522.

0 comments

Post a Comment