Ustadz perihal
sayat-menyayat mayit, bagaimana dengan hukum autopsi ?
Jawaban
Pengertian
Bedah mayat sering juga juga disebut dengan otopsi, atau
dalam bahasa Arab disebut dengan jirahah attasyrih
(جراحة التشریح) yang berarti melukai,
mengiris atau operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan
istilah at tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa inggris dikenal istilah
autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari
sebab-sebab kematianya.
Ada tiga macam
otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi
yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk
mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum
mayat meninggal. (3) otopsi forensik,
yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum
terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui
sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya.
Hukum Otopsi
Masalah Otopsi tentu saja belum termuat
dalam literature kitab-kitab Fiqih klasik. Karena memang ini adalah
permasalahan yang baru muncul diera modern. Namun, kita bisa menjumpai
pembahasan sedikit banyak ada kaitannya dengan masalah otopsi,
meski tidak terlalu mirip, yakni hukum membedah perut wanita hamil yang
meninggal.
Mazhab
Hanafiyah dan Syafi'iyah
mengatakan dibolehkan membedah perut wanita hamil yang meninggal dunia, dikarenakan janin di dalam
perutnya masih hidup. Hal itu lebih diutamakan demi menyelamatkan nyawa manusia
hidup, meski harus dengan merusak mayat. Namun mazhab Malikiyah dan AHanabilah
tidak membolehkan hal itu.
Dari sinilah kemudian para ulama
kontemporer juga ternyata berbeda pendapat dalam menyikapi hukum otopsi.Sebagian
bersikukuh tetap mengharamkan, sedangkan mayoritas ulama menghukumi boleh
dengan catatan tertentu.
Kalangan yang membolehkan
Berangkat
dari ijtihad tentang bedah perut mayat oleh para ulama di masa lalu, kini para
ulama modern mengambil kesamaan ‘illat dengan bedah mayat atau otopsi mewujudkan kemaslahatan di
bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Mayoritas ulama menghukumi boleh asalkan terpenuhi semua syarat dan
ketentuannya.
Setidaknya
ada empat lembaga
umat yang berkompeten dalam masalah ini yang telah memberikan
lampu hijau untuk dibolehkannya bedah mayat ini, antara lain :
a. Hai’ah Kibaril
Ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
Lembaga
ini pada Daurah yang kesembilan di tahun 1976 M – 1397 H telah memberikan fatwa
atas kebolehan praktek bedah mayat ini.
b. Majma’ Fiqih
Islami di Mekkah Al-Mukarramah
Lembaga
yang berpusat di Mekkah Al-Mukarramah Kerajaan Saudi Arabia ini juga termasuk
mengeluarkan fatwa atas keboleh praktek bedah mayat, pada Daurah yang kesepuluh
pada bulan Shafar tahun 1408 hijriyah bertepatan dengan 17 Otober 1987.
c. Lajnah Al-Ifta’
Kerajaan Jordan Al-Hasyimiyah
Lembaga
fatwa milik kerajaan Jordan ini mengeluarkan fatwa atas kebolehan bedah mayat
pada tanggal 20 Jumada-Al-Ula 1397 hijriyah.
d. Lajnah Al-Ifta’
di Al-Azhar Mesir
Lembaga
ini telah mengeluarkan fatwa kebolehan melakukan bedah mayat pada tahun 29
Pebruari 1971.
e. Beberapa ulama dunia
Sedangkan
secara pribadi-pribadi, cukup banyak pula para ulama yang mengeluarkan fatwa
atas kebolehan bedah mayat ini, diantaranya As-Syeikh Hasanain Makhluf, Prof.
Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, As-Syeikh Ibrahim Al-Ya’qubi ,Dr. Mahmud Nadzhim An-Nusaimi, Dr.
Muhammad Ali As-Sarthawi dan lainnya. Di
Indonesia MUI juga telah menurunkan fatwa bolehnya Otopsi mayat yang memang
dibutuhkan.
Kalangan yang Mengharamkan
Sedangkan sebagian kelompok ulama
diantaranya Taqiyuddin An-Nabhani, Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan
As-Saqaf
berpendapat
haramnya otopsi. Alasannya karena otopsi pada hakikatnya melanggar
kehormatan mayat, dan kalangan ini berpegang kepada makna dzahir hadits yang
melarang keras segala bentuka aktivitas semisal otopsi.
اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ
اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا
تَغْدِرُوا، وَلَا تَمْثُلُوا
“Berangkatlah berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla . Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka. Janganlah kamu berbuat curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan pula kalian memotong-motong mayat.” (HR Muslim)
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
“Memecahkan
tulang mayat hukumnya seperti memecahkan tulangnya ketika ia masih hidup. (HR.
Abu Dawud)
Ketetapan MUI
Dalam
pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebutkan bahwa asal hukum otopsi
adalah haram yang dirukhsah (dibolehkan karena ada kedaruratan). Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan dalam Fatwa MUI no 6 Tahun 2009, disana dianataranya
disebutkan syarat bolehnya Otopsi adalah :
(1)
Otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i
(seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum,
penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau
lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,
(2)
Otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sebagaimana
dimaksud pada point 1,
(3)
Jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan,
dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan
(4)
Jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya
sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Demikian
bahasan tentang Otopsi. Selesai. Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment