HUKUM BEROBAT



Pengertian berobat

Berobat adalah mencari kesembuhan dari penyakit dengan obat-obatan. Berobat dilakukan ketika dalam keadaan sakit atau semisalnya.[1]

Hukum berobat

Ulama sepakat bahwa berobat dari penyakit disyariatkan berdasarkan nas ayat dan hadits diantaranya :
إن الله أنزل الداء والدواء ، وجعل لكل داء دواء ، فتداووا ، ولا تتداووا بالحرام
Sesungguhnya  Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.’’ (HR. Abu Dawud)
Hanya kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, mana yang lebih utama : Berobat atau bersabar dengan penyakitnya. Sehingga paling tidak ada 2 pendapat yang masyhur dikalangan ulama mazhab tentang hukum berobat, sebagian menghukumi sunnah sedangkan yang lain berpendapat hukumnya mubah.[2]

1.      Hukumnya  mubah
Kalangan mazhab Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa hukum berobat itu mubah. Kalangan ini mengkompromikan adanya riwayat anjuran untuk berobat dan hadits-hadits tentang sabar terhadap penyakit.

عَنْ أُمِّ العَلاَءِ قَالَتْ : عَادَنِيْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مَرِيْضَةً، فَقَالَ : اَبْشِرِىْ يَا أُمِّ العَلاَءِ، فَإِنِّ مَرَضَ المُسْلِمِ يُذْ هِبُ اللَّهُ بِهِ خَطَايَاهُ كَمَا تُذْ هِبُ النَّارُ خَببَثَ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ

"Dari Ummu Al-Ala', dia berkata :"Rasulullah Shallallahu'alaihi wassallam menjenguk-ku tatkala aku sedang sakit, lalu beliau berkata. 'Gembirakanlah wahai Ummu Al-Ala'. Sesungguhnya sakitnya orang Muslim itu membuat Allah menghilangkan kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang menghilangkan kotoran emas dan perak".  (HR. Abu Dawud)

Dalam sebuah riwayat yang masyhur, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya pada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. “Wahai Rasulullah, apakah balasan bagi seseorang yang terkena demam?” Rasulullah menjawab: “Kebaikan akan mengalir padanya.” Beliaupun berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadamu penyakit demam yang tidak menghalangiku untuk jihad kepadamu.” 

2.      Hukumnya mubah bersabar lebih baik.
 Mayoritas ulama mazhab Hanabilah berpendapat hukum berobat itu boleh, namun meninggalkannya lebih afdhal. Diriwayatkan imam Ahmad berkata : Hal itu karena lebih dekat kepada tawakal.[3]
Diantara dalil yang digunakan adalah hadits Ibnu Abbas ada seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi shalallahu’alaihi wassalam agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.` Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. `Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.` Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.

3.      Hukumnya sunnah.
Kalangan Mazhab Syafi’iyyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa berobat hukumnya dianjurkan (sunnah).
Ibnul Qayim al Jauziyyah secara khusus bahkan mengcounter pendapat yang mengatakan bahwa berobat itu bisa menjauhkan dari tawakal. Ia berkata, “Terdapat hadits-hadits yang shahih mengenai perintah berobat dan tidak bertentangan dengan tawakkal sebagaimana mencegah rasa lapar, haus, panas dan dingin dengan kebalikannya. Bahwan tidaklah sempurna hakikat tauhid kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang sudah Allah tetapkan sebagai sebabnya secara qadari (misalnya api menyebabkan panas) dan syar’i (misalnya silaturahim memperlancar rezeki).”
Dalil yang digunakan :
  1. Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الله أنزل الداء والدواء ، وجعل لكل داء دواء ، فتداووا ، ولا تتداووا بالحرام

Sesungguhnya  Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.’’ (HR.Abu Dawud )
2.      Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rosulullah, apakah kita berobat?’ Nabi bersabda, ‘berobatlah, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),’’ mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Nabi bersabda,’’penyakit tua.’’ (HR.Tirmidzi )

Khatimah
Sedangkan sebagian ulama kontemporer merinci hukum berobat itu menjadi beberapa bagian[4], yaitu :

1.      Wajib
Diantara berobat yang dihukumi wajib contohnya adalah berobatnya seseorang dari penyakit yang menyebabkan ia meninggalkan perkara wajib padahal dia mampu berobat, dan diduga kuat penyakitnya bisa sembuh, berobat semacam ini adalah untuk perkara wajib, sehingga dihukumi wajib.
2.      Berobat sunnah/ mustahab
Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai membahayakan diri dan orang lain, tidak membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak menular, maka berobat menjadi sunnah baginya.
3. Berobat menjadi mubah/ boleh
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat seperti kondisi hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat atau tidak berobat.
4. Berobat menjadi makruh dalam beberapa kondisi
a. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan, sedangkan obat yang digunakan diduga kuat tidak bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat karena hal itu diduga kuat akan berbuat sis- sia dan membuang harta.
b.Jika seorang bersabar dengan penyakit yang diderita, mengharap balasan surga dari ujian ini, maka lebih utama tidak berobat, dan para ulama membawa hadits Ibnu Abbas dalam kisah seorang wanita yang bersabar atas penyakitnya kepada masalah ini.
c.Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim  menjadi sadar dengan penyakit yang diderita, tetapi jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak, maka saat itu lebih baik tidak berobat.
d.Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat, lalu ditimpa suatu penyakit, dan dengan penyakit itu dia berharap kepada Alloh mengampuni dosanya dengan sebab kesabarannya.
Dan semua kondisi ini disyaratlkan jika penyakitnya tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka berobat menjadi wajib.

5. Berobat Haram
Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka hukumnya haram, seperti berobat dengan khomer/minuman keras, atau sesuatu yang haram lainnya.

Demikian bahasan tentang masalah ini. Wallahu a’lam.



[1] Lisan al ‘Arab (bahasan طبب)
[2] Kasyaful Qina (2/76), al Adab asy Syar’iyyah (2/359), Hasyiah Ibn Abidin (5/215), al Hidayah Takmilah al Fath Qadir (8/134).
[3] Zaadul Ma’ad (4/15)
[4] Ahkamul Tadwiyah fisy Syari’atil Islamiyah’’ hlm.27-28.

0 comments

Post a Comment