PENGEMBALIAN HUTANG DILEBIHKAN




Ustadz, beberapa waktu lalu ada teman saya yang berhutang dan saat mengembalikan ia lebihkan. Saya menolaknya karena sepengetahun saya segala kelebihan dari hutang piutang itu riba, tapi teman saya tersebut  mengatakan kalau itu tidak apa-apa, boleh diterima sebagai hadiah. Benarkah demikian ustadz ? Mohon penjelasannya.

Jawaban
Menurut jumhur (mayoritas)  ulama pembayaran hutang yang demikian itu dibolehkan. Asalkan memang benar-benar pemberian lebih tersebut berasal dari kerelaan dan tidak disyaratkan dan diakadkan diawal.[1] Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini :

Dahulu Nabi shalallahu’alahi wassalam punya tanggungan utang seekor unta dengan umur tertentu untuk seseorang, maka orang itupun datang dan minta dilunasi. Rasulullah shalallahu’alahi wassalam bersabda: ‘Berikan kepada dia.’ Maka para sahabat mencari yang seumur, namun mereka tidak mendapati kecuali yang lebih tua. Maka beliau mengatakan: ‘Berikan itu kepadanya.’ Orang itupun mengatakan: ‘Engkau telah penuhi aku, semoga Allah memenuhimu.’ Maka Nabi shalallahu’alahi wassalam bersabda:

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam melunasi.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain Jabir bin Abdillah mengatakan: “Aku datang kepada Nabi shalallahu’alahi wassalam dan ketika itu beliau punya utang kepada saya, lalu beliau melunasi aku serta menambahinya.” (HR. Bukhari).

Bahkan kalangan أanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat membaguskan pengembalian hutang dengan melebihkan seperti ini adalah bagus selama tidak menjadi adat kebiasaan.[2]
 
            Barulah sesuatu yang diharamkan kalau pengembalian itu dilafadzkan apalagi disyaratkan diawal. Seperti lafadz, “Saya meminjam uang kepada anda 1 juta, nanti saya kembalikan kepada anda suka rela menjadi 1.100.000.” maka ini haram, inilah yang disebut riba Nasi’ah. Walaupun dengan embel-embel suka-rela dan anda sebagai pihak yang menghutangi merasa tidak mensyaratkan.

            Jadi sekali lagi pengembalian yang dilebihkan yang hukumnya boleh menurut jumhur ulama adalah yang tanpa embel-embel apapun, atau dalam gambaran lain,  hutang tidak terpengaruh oleh ada tidaknya pelebihan tersebut.
Sedangkan kalangan Hanabilah mutlak mengharamkan segala bentuk pelebihan pengembalian hutang.[3] 

Wallahu a’lam.



[1] Al Mughni (6/438), al Bada’i as Shana’i (4/210), Syarh al Muntaha al Iradat (2/227), ar Raudhah at Thalibin (4/34), Tuhfah al Muhtaj (5/47).
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah ( 33/125).
[3] Al Mughni (6/438).

0 comments

Post a Comment