NAMA DIAMBIL DARI ASMAUL HUSNA



Assalamualaikum, saya membaca d internet memberi nama dengan nama asmaul husna di larang kecuali di tambah kata abdul. Bagaimana cara kita memanggil jika nama panggilannya memakai asmaul husna. Contoh abdul malik panggilannya malik. Bagaimana hukumnya ustadz ?

Jawaban :

Wa’alaikumusalam Warahmatullah.

Sebenarnya tidak ada larangan menggunakan nama-nama dari asmaul husna, selama seperti Rahim,  Nur, Malik, Bashir dan semisalnya asalkan tidak dengan alif lam.  Karena dalam bahasa Arab, sebuah kata bila masih nakirah (diantara cirinya tanpa alif lam) maka ia berlaku umum, jadi kata malik, nur dan semisalnya selama masih dalam bentuk nakirah, bersifat kata yang umum dan tidak dimonopoli oleh lafadz asmaul Husna. 

Dahulu ada shahabat yang juga memiliki nama  serupa dengan asmaul Husna  semisal Ali (Ali bin Abi Thalib) dan Hakiim (Hakim bin Hizam).

            Namun bila kata – kata diatas telah beralif lam, yakni dalam bentuk Ma’rifah (telah dikhususkan) barulah kemudian bisa timbul masalah. Sebagian kata memang menurut ulama diharamkan, semisal  kata : ar Rahman dan lainnya .
Berkata imam asy Syaukani : Ar-Rahman adalah diantara sifat-sifat Ghalibah yang tidak (boleh) dipakai untuk selain Allah Azza Wajalla.[1]
Berkata al Imam an Nawawi : “Ketahuilah memberi nama dengan nama ini diharamkan demikian pula memberi nama dengan nama-nama Allah yang khusus bagiNya seperti Ar-Rahman, Al-Quddus, Al-Muhaimin, Khaliqul Khalqi dan semisalnya.”[2]
Bahkan khusus  untuk nama ‘Rahman’ sebagian ulama melarang menggunakannnya meskipun tanpa beralif lam. Karena merupakan asmaul Husna yang sangat khusus, sebagaimana firman Allah :
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.” (QS. Al-Isra’ :110)

Sedangkan dalam sejarah, yang pernah memakai nama Ar-Rahman/Rahman adalah Nabi palsu yang bernama Musailamah. Maka Allah membongkar kedustaannya, menghinakannya dan akhirnya dia dikenal dengan nama Musailamah Al-Kadz-Dzab (Musailamah Si Pendusta). At-Thabarani meriwayatkan;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، هَزِئَ مِنْهُ الْمُشْرِكُونَ، وَقَالُوا: مُحَمَّدٌ يَذْكُرُ إِلَهَ الْيَمَامَةِ، وَكَانَ مُسَيْلِمَةُ يَتَسَمَّى الرَّحْمَنَ
“Dari Ibnu Abbas beliau berkata; Adalah Rasulullah shalalahu’alaihi wassalam jika membaca Bismillahirrahmanirrihim orang-orang Musyrik mengejeknya. Mereka berkata: Muhammad menyebut tuhannya Yamamah. Adalah Musailamah memberi nama dirinya Ar-Rahman.”
Sedangkan sebagian nama-nama asmaul Husna lainnya boleh digunakan meskipun dengan alif lam yakni jika nama tersebut mengandung nama tersebut mengandung makna yang kulli (umum), mencakup semua yang dicakup, memiliki tingkatan yang berbeda-beda satu sama lain, maka boleh menamai selain Allah dengan nama tersebut (dari segi kandungan makna), seperti Al-Malik (yang berkuasa), Al-Aziz (perkasa) dan lainnya.
Dalam al Qur’an kita temukan lafadz Al-Aziz juga dipakai untuk memanggil Nabi Yusuf sendiri. Allah berfirman;

قَالُوا يَا أَيُّهَا الْعَزِيزُ إِنَّ لَهُ أَبًا شَيْخًا كَبِيرًا فَخُذْ أَحَدَنَا مَكَانَهُ إِنَّا نَرَاكَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Mereka (saudara-saudara Yusuf) berkata (kepada Yusuf) : “Wahai Al Aziz, Sesungguhnya ia mempunyai ayah yang sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah seorang diantara Kami sebagai gantinya, Sesungguhnya Kami melihat kamu termasuk oranng-orang yang berbuat baik”. (QS. Yusuf; 78)

Yang terbaik adalah dengan menambahkan penghambaan dari kata-kata yang diambil dari asmaul husna, seperti Abdurrahman, abdurrahim, Abdul Malik, Abdurrazaq, Abdullah dan lainnya.  Berkata ibnu Hazm,  “Para ulama sepakat tentang baiknya nama-nama yang disandarkan kepada Allah ‘azza wajalla seperti ‘Abdurrahman dan yang serupa dengannya.”[3]
           
            Kalau toh nanti dipanggil dengan nama pendeknya tidak masalah, baik suku kata depannya seperti abdul atau du atau akhirnya, seperti malik, Razaq dan lainnya. Yang penting Abdullah jangan dipanggil Allah. 

Wallahu a’lam.


[1] Fathu Al-Qadir, (1/3)
[2] Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, (14/122).
[3] Muratib al Ijma’ (1/154).

0 comments

Post a Comment