PEMBAGIAN NAFKAH



Ustadz, apa ada pembagian nafkah berapa persen untuk orang tua dan istri seperti pembagian waris ?

Jawaban

Kata nafkah berasal dari kata (أَنْفَقَ) yang secara etimologi mengandung arti: “hilang atau pergi”. (النفقة) al-Nafaqah memiliki arti “biaya, belanja atau  pengeluaran”.

Sedangkan secara istilah syari’at artinya; mencukupi kebutuhan siapapun yang ditanggungnya, baik berupa makanan, minuman pakaian, atau tempat tinggal.[1]
Pensyariatan dan hukumnya
Ulama sepakat tentang wajibnya memberi nafkah bagi suami untuk istri- istrinya, anak-anaknya, orang tuanya jika membutuhkan dan yang menjadi tanggungannya . Berdasarkan dalil-dalil berikut ini :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ 
‘’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.’’ (QS.al-Baqarah 233)
 Rasulullah, bersabda kepada Hindun bintu Utbah :

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

‘’Ambillah nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.’’ (HR. Bukhiri)
Dan firmanNya :
وبالوالدين إحساناً
“Dan kepada kedua orang tua hendaknya berbuat Ihsan.” (Qs. Al Isra : 23)

وابدأ بمن تعول : أمك وأباك وأختك وأخاك أدناك أدناك

Mulailah (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu, Ibumu, ayahmu, saudarimu, saudaramu, dan seterusnya.’’ (HR. Nasai)
Ukuran / Nilai Nafkah

                Ulama berbedapa pendapat tentang ukuran atau nilai dari nafkah yang harus ditunaikan. Sebagian ulama berpendapat bila nafkah itu tidak memiiliki ukuran pasti, sedangkan sebagian ulama memberikan batasan dan ukuran minimal dari nafkah yang diberikan.

1. Tidak ada ukuran pasti

         
Menurut Jumhur ulama 4 mazhab, tidak ada standarisasi nilai nafkah yang ditetapkan secara baku, semua dikembalikan kepada nilai kelayakan dan kepantasan . sebagaimana yang diisyaratkan dalam al Qur’an dan hadits- hadits Nabawi dengan lafadz bil-ma'ruf (بالمعروف).[2]
2. Pendapat Kedua
Sebagian kalangan Syafi’iyyah berpendapat bahwa nafkah itu minimal setiap harinya seorang suami wajib memberi bahan makanan pokok kepada istrinya satu mud. Dan buat suami yang agak luas rejekinya, minimal dua mud. Dan bila berada di tengah-tengah, maka jumlahnya satu mud setengah.
Kalau diukur dengan ukuran sekarang, 1 mud itu kisarannya  sekitar 688 ml.
Bagaimana seharusnya ?
Jika kita perhatikan, nafqah dengan versi jumhur ulama rasanya lebih tepat untuk kita ikuti. Karena kalau mengikuti nafkah ala sebagian Syafi’iyyah, itu hanya sekitar Rp 15.000 – 20.000 perhari. Kalau dimasa dahulu mungkin itu sudah layak dan cukup, tapi untuk para istri sekarang, mungkin uang senilai itu baru untuk biaya registrasi beli lipstick dan bedaknya.
Sehingga disini dituntut kearifan suami maupun istri. Suami harus layak dalam memberi nafkah, dan istri jangan banyak menuntut kepada suami yang sedang sedang kepayahan mengais rezeki. Keduanya harus kembali kepada kesadaran awal, bahwa dibangun sebuah rumah tangga dalam Islam, adalah sarana terbesar dan tercepat  untuk meniti karier, mengapai sukses bersama-sama, menuju syurga tertinggi disisiNya.
Prioritas Antara Nafkah Istri Dan Kebutuhan Orang Tua ?

Dalam rumah tangga yang sehat, tidak akan ada pertentangan antara kepentingan istri dan Ibu bagi seseorang. Karena keduanya adalah satu-satunya  manusia yang paling ia cintai dan muliakan. Yang paling banyak menanam jasa pada dirinya, meski dengan peran dan cara yanag berbeda.
Jika ternyata ada benturan kepentingan nafkah antara istri dan ibu, dan keduanya ngotot tidak ada yang mau mengalah. Pasti ada yang bermasalah dengan rumah tangga ini.  Entah istri yang memang kurang ajar, atau si ibu yang tidak bisa jadi orang tua, atau jangan-jangan malah dua-duanya memang perlu diruqyah. Karena istri yang baik pasti tahu bahwa ketika ia menikah, ia telah menjadi milik suaminya, dan suaminya tetap milik kedua orang tuanya. Sebaliknya, si ibu harusnya sadar juga, bahwa anak laki-lakinya kini telah punya tanggung jawab besar pada istri dan anak-anaknya,.
Sehingga disini berkewajibanlah bagi seorang laki-laki untuk senantiasa menjaga nafqah dengan baik. Sehingga orang tua yang memang membutuhkan, ternafkahi dengan baik, dan istrinya tetap jadi ratu di dalam rumahnya.

Wallahu a’lam.



[1] Fiqh al Islami wa adillatuhu (10/83), Darr al Mukhtar (2/886).
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah ( 41/39), Al Majmu` Syarh Al-Muhazzhab (22/149).

0 comments

Post a Comment