Diantara bentuk
keringanan syariat untuk meringkas shalat adalah adanya Jama’ dan Qashar. Jama’
dan Qashar ini sebenarnya dua syariat yang berbeda, karena punya syarat
ketentuan yang berbeda satu sama lain. Namun karena sering selalu dikerjakan
bersamaan, sering keduanya digandeng penyebutannya Jama’ Qashar.
Mari kita simak
pembahasannya.
JAMA’
a. Pengertiannya
Secara
bahasa, Jama’ (الجمع) lawan dari kata perpecahan (التفريق)
yakni artinya mengumpulkan sesuatu. Sedangkan yang dimaksud menjama’ shalat
adalah mengerjakan shalat dzuhur bersama Ashar, atau shalat Maghrib bersama
Isya, baik secara taqdim maupun takhir.[1]
b.
Pensyariatannya
Ulama sepakat tentang
disyariatkan shalat Jama’ dengan syarat dan ketentuan tertentu. Berdasarkan hadits
dari Jabir radhiyallahuanhu ia berkata :
فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَل
بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Lalu
beliau shalallahu’alaihi wassalam mendatangi wadi dan berkhutbah di
depan manusia. Kemudian Bilal beradzan, kemudian iqamah dan shalat Dhuhur,
kemudian iqamah dan shalat Ashar, dan tidak shalat sunnah diantara keduanya.
(HR. Muslim)
c. Hal
yang membolehkan Jama’
Ulama
telah bersepakat tentang syariat jama’ shalat, namun mereka berbeda pendapat
tentang sebab-sebab dan syarat yang membolehkannya. Sebab perbedaan ini terjadi
karena pandangan yang berbeda dalam menerima dalil-dalil yang ada. Untuk
meringkas, kami menampilkan pendapat ulama 4 mazhab dan sepintas argumantasi
masing-masing.[2]
1. Haji
Ulama sepakat tentang
bolehnya menjama’ shalat ketika melakukan ibadah haji.
2. Perjalanan
(safar)
Jumhur
ulama mazhab, selain mazhab Hanafiyah memasukkan safar sebagai hal yang
membolehkan jama. Yakni safar yang sudah mencapai 4 burd atau 16 farsakh. Angka itu
kalau kita konverikan di masa sekarang ini setara dengan jarak 88, 656 km. Dan
ada juga yang menghitung menjadi 88,705 km.
3. Hujan
Jumhur ulama mazhab memolehkan menjama’ shalat dengan
sebab adanya hujan, hanya saja. Kalangan Malikiyyah dan Hanabilah hanya
membolehkan hujan di waktu maghrib dan Isya, sedangkan Syafi’iyyah membolehkan
termasuk dzuhur dan Ashar.
Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan menggunakan
dalil berikut ini :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ
عُمَرَ كَانَ إِذَا جَمَعَ اْلأُمَرَاءُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى
الْمَطَرِ جَمَعَ مَعَهُمْ
رَوَاهُ مَالِكٌ فِى الْمُوَطَّاء ِ وَاللَّفْظُ لَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ وَالشَّافِعِيُّ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ
رَوَاهُ مَالِكٌ فِى الْمُوَطَّاء ِ وَاللَّفْظُ لَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ وَالشَّافِعِيُّ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ
Dari Nafi’ bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar apabila para pejabat menjamak antara shalat Maghrib dan shalat ‘Isya` pada waktu hujan, dia menjamak bersama mereka.
4.
Sakit
Sebagian
ulama yakni dari kalangan Malikiyyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyyah menjadikan
sakit sebagai salah satu udzur bolehnya jama’, sedangkan kalangan hanafiyyah
dan sebagian Syafi’iyyah tidak membolehkan.
Berkata
al imam an Nawawi rahimahullah : “Nabi shallallahu’alaihi wassalam mengalami
beberapa kali sakit, namun tidak ada riwayat yang sharih bahwa beliau menjama'
shalatnya.”
Sedangkan kalangan yang membolehkan
berdalilkan dengan hadits : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu Bahwa Rasulullah
di Madinah menjama' shalat Dzhuhur dan Ashar serta menjama' shlat Maghrib dan
Isya'. Imam Muslim menambahkan, "Itu dilakukan bukan karena takut atau
safar.” (HR. Muslim)
5. Kesibukan
yang mendesak.
Al Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim (6/215),
dalam mengomentari hadits Ibnu Abbas diatas mengatakan, “Mayoritas ulama
membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan
yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai
tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab,
juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika
mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya,
sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena
sakit atau musafir.”
Dalilnya adalah firman
Allah ta’ala :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Allah
tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan.” (QS. Al-Hajj : 78)
D. Jenis
shalat Jama’
Shalat Jama’ terdiri dari
dua jenis yakni : Taqdim dan Takhir.
Taqdim
adalah mengerjakan shalat dengan mengawalkan waktunya, contoh pengerjaan Dzuhur
dan Ashar dikerjakan diwaktu Dzuhur. Sedangkan
Jama’ Ta’khir adalah mengakhirkan shalat diwaktu shalat yang kedua. Contoh
shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan diwaktu Ashar.
E. Syarat Jama’ Taqdim dan
Takhir
Shalat jama’ Taqdim dan juga Takhir memiliki ketentuan yang
berbeda[3],
yakni sebagai berikut ini :
Taqdim
Shalat Jama’ Taqdim memiliki 4 syarat yang
harus dipenuhi :
1. Niat Sejak Shalat
Yang Pertama
Semisal mengerjakan shalat maghrib yang
dijama’ dengan Isya. Maka sejak niat
ketika takbiratul ihram shalat Maghrib wajib berniat untuk menjama’ dengan Isya.
Mayoritas ulama membolehkan niat menjama’ diwaktu setelah takbiratul ihram
selama shalanya belum selesai.
2. Tertib
Jama’ Taqdim harus tertib sesuai urutan
waktu shalat. Dhuhur dulu baru Ashar, atau Maghrib dulu baru Isya.
3. Al-Muwalat
(Bersambung)
Menurut jumhur, shalat jama’ Taqdim
harus disambung, tidak boleh dipisahkan
dengan kegiatan lain yang tidak ada hubungannnya dengan shalat.
4. Masih
Berlangsungnya Safar Hingga Takbiratul Ihram Shalat Yang Kedua
Masih dalam kondisi safar ketika
dikerjakannya shalat. Jika pengerjaan shalat jama’ karena safar.
Syarat Jama’ Ta’khir
Shalat Jama’ Ta’khir hanya memiliki dua
syarat :
1. Niat sejak shalat yang pertama.
Contohnya ketika menjama’ shalat
Maghrib dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib, kita
wajib untuk berniat untuk menjama’ takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Mayoritas
ulama membolehkan niat diwaktu lain (selain takbiatul ihram) selama shalat yang
pertama belum berakhir)
Masih Berlangsungnya
Safar Hingga Takbiratul Ihram Shalat Yang Kedua
Sama dengan syarat jama’ Taqdim, shalat harus masih dalam kondisi safar ketika
dikerjakan. Jika udzurnya karena perjalanan.
Jama’ Takhir, bagaimana urutan
shalatnya ?
Caranya Tetap dengan mendahulukan
shalat yang lebih awal meskipun jama’ Ta’khir. Dzuhur dikerjakan dahulu dari
Ashar, Maghrib lebih dahulu dari Isya. Namun bila dikerjakan dengan terbalik
tidak mengapa, semisal dia menghadiri shalat berjama’ah Isya, kemudian setelah
itu mengerjakan shalat Maghrib.
Wallahu a'lam.
Bersambung ke pembahasan
shalat Qashar…
0 comments
Post a Comment