BANTAHAN BOLEHNYA BERSALAMAN DENGAN LAWAN JENIS



Ustadz, ini saya copykan pendapat yg membolehkan berjabat tangan :
1.      diriwayatkan dari ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. yang berkata:
“Kami telah membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi. ” [HR. Bukhari ].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata qa ba dha dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu) ( A.W. Munawwir , Kamus al-Munawwir , hal. 1167).
 Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas —baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)— bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at.
Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “ Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’. ” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan ( Muhammad Ismail , Berjabat Tangan Dengan Perempuan , hal. 34).
Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’.
2.       diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita. ’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab: ‘Ini tangan seorang wanita. ’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar) ’.” (HR. Abu Dawud).
3.       dalil lain yang membuktikan bahwa hukum mushafahah adalah mubah adalah dari firman Allah SWT: “ …atau kamu telah menyentuh wanita… ” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43 ).
Ayat ini merupakan perintah bagi seorang laki-laki untuk mengambil air wudlu kembali jika ia menyentuh wanita. Wanita yang ditunjuk oleh ayat itu bersifat umum, mencakup seluruh wanita, baik mahram maupun bukan. Dengan kata lain, bersentuhan tangan dengan wanita bisa menyebabkan batalnya wudlu, namun bukan perbuatan yang diharamkan. Sebab, ayat tersebut sebatas menjelaskan batalnya wudlu karena menyentuh wanita, bukan pengharaman menyentuh wanita. Oleh karena itu, menyentuh tangan wanita —tanpa diiringi dengan syahwat— bukanlah sesuatu yang diharamkan, alias mubah.
4.       Adanya riwayat-riwayat lain yang membolehkan mushafahah adalah sebagai berikut.
Imam ar-Razi dalam at-Tafsir al-Kabîr , juz 8, hal. 137 menuturkan sebuah riwayat bahwa ‘Umar ra telah berjabat tangan dengan para wanita dalam bai’at, sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.
Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabarani bahwa Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan para wanita sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.
Imam al-Qurthubi di dalam al-Jâmi’ al-Ahkâm al-Qurân , juz 18, hal. 71, juga mengetengahkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw mengambil bai’at dari kalangan wanita. Diantara tangan Rasulullah Saw dan tangan wanita-wanita itu ada sebuah kain. Kemudian Rasulullah Saw mengambil sumpah wanita-wanita tersebut.
Dituturkan pula bahwa setelah Rasulullah Saw selesai membaiat kaum laki-laki Rasulullah Saw duduk di shofa bersama dengan Umar bin Khaththab yang tempatnya lebih rendah. Lalu, Rasulullah Saw membai’at para wanita itu dengan bertabirkan sebuah kain, sedangkan Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan wanita-wanita itu.
Riwayat-riwayat ini merupakan dalil kebolehan mushafahah. Sebab, ada taqrir dari Rasulullah Saw terhadap perbuatan Umar bin Khaththab. Taqrir dari Rasulullah Saw merupakan hujjah yang sangat kuat atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan wanita asing (ajnabiyyah ) adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah Saw tidak akan mewakilkan kepada Umar bin Khaththab, dan beliau Saw pasti akan melarangnya.....
Bagamana pendapat ustadz dengan pendapat diatas ?

Jawaban

Sebenarnya manhaj group Subulana telah jelas, yakni merujuk kepada pendapat ulama 4 mazhab. Sehingga pendapat yang berseliweran hasil analisa ‘yang tidak jelas’ dan tidak disandarkan kepada para imamnya umat ini tidak kita share dan tidak kita tanggapi.
Namun, demi menjunjung tinggi ilmu, dan juga agar kita juga semakin paham siapa ulama mazhab dan cara pendalilan mereka, akan tangapi pertanyaan diatas. Semoga ada manfaatnya.

Tanggapan atas hadits pertama,  Matannya adalah :

وَنَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ» ، فَقَبَضَتِ امْرَأَةٌ يَدَهَا، فَقَالَتْ: أَسْعَدَتْنِي فُلاَنَةُ، أُرِيدُ أَنْ أَجْزِيَهَا، فَمَا قَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا، فَانْطَلَقَتْ وَرَجَعَتْ، فَبَايَعَهَا
Saya sendiri bingung bagian mana dalam matan hadits tersebut yang langsung bisa diartikan bahwa ada seorang wanita yang berjabat tangan dengan Nabi shalallahu’alaihi wasslaam. Karena kalimatnya :

فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا
disitu menggunakan ta’ ta’nits yang menyatakan bahwa yang memegang adalah perempuan, يَدَهَا  menggunakan dhamir perempuan juga, yang maksudnya adalah tangannya perempuan, bukan tangan Nabi shalallahu’alaihi wassalam, karena kelau yang dimaksuk adalah tangan Nabi pasti mengguankan يَدَهَ
Dalam fath al Bari  jelas disebutkan : “Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam membaiat kami, dan beliau membacakan kepada kami ayat “agar mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, beliau melarang kami dari niyahah (meratap), seorang wanita memegang tangannya sendiri.”[1]

Artikel menyebutkan :
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tangannya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167).

Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at.
  
Tanggapan : Ini sebuah kesimpulan prematur dan terlalu dipaksakan.  Kata qo ba dlo didalam teks hadits faqobadlot imro’atun yadaha diartikan dengan makna berjabat tangan (Mushofahah), ini tidak tepat dari segi bahasa baik secara manthuq maupun mafhum-nya. Siapapun yang mengerti bahasa Arab akan tahu kekeliruan fatal ini. Baiklah, coba kita lirik beberapa penjelasan dalam kamus yang ada.
 Di dalam Mukhtaarus Shihhaah dikatakan : Qobadlo asy-Sya’i maknanya akhodzahu = mengambilnya. Wal Qobdlu aidhan dliddu al-Basthu = dan qobdlu juga merupakan lawan dari basthu (membentangkan).
            Di dalam kamus al-Mu’tamad dikatakan :Qobadlo Qobdlon ar-Rajulu asy-Syai’a maknanya akhodzahu wa tanaawaluhu = mengambil dan menerimanya.  Qobadlo ‘ala asy-Syai’i maknanya amsakahu wa dlomma ‘alaihi ashobi’uhu = menggenggamnya dan merapatkan dengan erat jari jemarinya.
Qobadlo yadahu ‘an asy-Syai’i maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan dari genggaman.
            Di dalam kamus al-Muhith dikatakan : Qobadlohu yadahu yaqbidluhu maknanya tanaawaluhu biyadihi = menerima dengan/mengulurkan tangannya.Qobadlo ‘alaihi biyadihi maknanya imsaakihi = menggenggamnya.
Di dalam kamus al-Munawwir dikatakan :  Qobadlo asy-Syai’a aw ‘alaihi maknanya menggenggamQobadlo wa Qobbadlo asy-Syai’a maknanya qollashohu = mengerutkan  atau menguncupkan.
Demikian pula di dalam kamus al-Mu’jamul Wasith, Laarus al-Mu’jam al-‘Arobiy al-Hadits, al-Waafi Mu’jamul Wasith lilughotil ‘Arobiyah, al-Mishbahul Munir fi Ghoribi asy-Syarhil Kabir ar-Rafi’i dan al-Bustaan Mu’jamul Lughowi.[2]

Jika dikatakan qobadlo di sini bermakna jabat tangan atau melepaskan genggaman dari jabat tangan seperti yang anda klaim, maka ini prasangka  belaka yang mengandung ihtimalat (banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya).
Jika  qobadlo dalam hadits diatas dimaknai melepaskan tangan dari jabat tangan, maka mengapa maf’ul (obyek) di dalam lafazh hadits tersebut adalah yadaha dimana ha adalah dhamir (kata ganti) untuk wanita, sehingga dhamir ha di sini mengandung ihtimal bisa jadi yang dimaksud adalah tangan wanita tersebut atau wanita lainnya.
Dan uga perlu diketahui bahwa makna mengenggam (amsaka) adalah jika qobadlo diiringi oleh asy-Sya’i (sesuatu) atau muqoron (gandeng) dengan ‘ala maka bisa dibawa kepada makna mengenggam. dartikel diasumsikan bahwa makna qobadlo adalah imtana’a ‘an imsakiha (melepaskan tangannya dari genggamannya), padahal tidak ada shilah ‘an (qobadlo ‘an) di dalam lafazh ini.
Oleh karena itu asumsi bahwa qobadlo bermakna “menggenggam” ataupun “melepaskan tangan dari jabat tangan” adalah sangat –sangat vulgar kekeliruannya. Yang benar adalah bermakna tanaawala atau mengulurkan tangan yang bermaksud meminta izin dari prosesi baiat ketika saat itu.
            Marilah kita simak perkataan pakarnya hadits umat ini tentang hadits tersebut, yakni al imam Ibnu Hajar al Asqalani. Yang tentu lebih layak kita dengar penjelasannya dari orang yang dari tata bahasa Arabnya saja sudah belepotan.
            Al-Hafizh berkata : “Sabda nabi : “faqobadlot imro’atun yadahaa” di dalam riwayat ‘Ashim berbunyi : “aku (Ummu Athiyah) berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya keluarga fulan telah membahagiakanku di masa jahiliyah maka aku harus membahagiakan mereka”, aku (al-Hafizh) tidak tahu siapakah keluarga fulan yang ditunjuk dalam riwayat ini. Di dalam riwayat Nasa’i berbunyi : “Aku (Ummu Athiyah) berkata : sesungguhnya ada seorang wanita yang membahagiakanku di masa jahiliyah” dan aku (al-Hafizh) tidak mengetahui siapa nama wanita yang dimaksud, dan jelaslah bahwa Ummu Athiyah di dalam riwayat Abdul Warits menyembunyikan identitas dirinya.”[3]
Dari penjelasan al-Hafizh rahimahullahu di atas, tampak dengan jelas bahwa wanita yang diceritakan oleh Ummu Athiyah adalah dirinya sendiri, namun beliau menceritakan dengan lafazh mubham (tidak jelas), dan ini adalah suatu hal yang lazim di dalam menceritakan tentang diri namun dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan orang lain. Dan al-Hafizh sama sekali tidak menyinggung adanya mushofahah di dalam syarah beliau. Sekiranya ada pemahaman mushofahah dalam hadits tersebut, niscaya al-Hafizh akan menyinggungnya, karena beliau adalah orang yang paling alim terhadap hadits Nabawiyyah.
           

Pernyataan artikel :
Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan. (Lihat Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’.

Tanggapan :
            Saya menduga bahwa kata ‘penerimaan’ di sini adalah terjemahan dari kata tanaawul atau munaawalah dan ini adalah makna yang benar dari sisi bahasa kata qobadlo, sebab kata tanaawala bermakna a’thoo (memberi) dan akhodza (mengambil atau menerima).
Untuk lebih tepatnya akan saya nukil perkataan Syaikh Muhammad Ismail di sini, beliau berkata : “Yang dimaksud dengan qobadlo yadaha dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’. Jabat tangan itu tidak harus mengulurkan tangan agar tidak tertinggal darinya. Dalam hadits tersebut juga tidak ada hal yang menunjukkan adanya jabat tangan, tetapi justru sebaliknya. Dalam hadits itu tersirat dalil yang meniadakan perbuatan itu (jabat tangan). Sebagaimana yang tertera di dalam hadits Umaimah : “Dan nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak berjabat tangan dengan salah seorang wanita di antara kita.” Ini adalah dalil yang jelas dan tidak dapat dipungkiri.”
            Terang bahwa yang dijelaskan oleh  Syaikh Muhammad Ismail di sini lebih tepat dan kuat daripada pemaknaan yang dipaksakan ‘jabat tangan’ dalam artikel, karena :
  1. Penjelasan beliau tidak menyelisihi hadits dan riwayat-riwayat lainnya yang lebih shahih.
  2. Penjelasan beliau tidak menyelisihi makna dari segi bahasa, karena qobadlo juga bermakna tanaawala.
  3. Penjelasan beliau didukung dengan riwayat-riwayat lainnya yang berkisah tentang baiat kaum mukminat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam diantaranya adalah riwayat Umaimah yang hadir di kala baiat.
  4. Penjelasan beliau menghilangkan ta’arudh atau kontradiktif diantara hadits-hadits nabi.
  5. Penakwilan beliau lebih selamat dari munculnya ta’arudh, syadz dan penelantaran hadits-hadits nabi yang shahih.
  6. Penakwilan beliau sesuai dengan pendapat mayoritas ulama islam yang mengharamkan jabat tangan dengan ajnabiyah.
  7. Penakwilan beliau lebih selaras dengan akhlak islami.
  8. penakwilan beliau merupakan salah satu saddu adz-dzara’i (penutup pintu-pintu keburukan)
Sedangkan dalam artikel tersebut :
1.      Dari segi dan sisi apa qobadlo dalam lafazh hadits bisa diartikan jabat tangan atau melepaskan tangan dari jabat tangan?
2.       Dan dari mana pula datangnya pemahaman bahwa yang dijabat (atau menjabat) adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ? disebutkan dalam kitab syarah hadits yang mana ?

Wallahu a’lam.

Bersambung….


[1] Fathul Bari (20/256)
[2] Mukhtaarus Shihhah, Al-Mu’tamad (Kamus ‘Arobi-‘Arobi), Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, Cet. III, 2004, Dar Shodir, Beirut, hal. 513, Al-Qomus al-Muhith, Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad  bin Ibrahim al-Fairuz Abadi asy-Syairazi asy-Syafi’i, juz II, cet. I, 1415/1995, Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 521, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia Terlengkap), Ahmad Warson Munawwir, Cet. XIV, 1997, Pustaka Progressif, hal 1086, Al-Mu’jamul Wasith, DR. Ibrahim Anis dkk., Juz I, Cet. III, al-Maktab al-Islamiyah, hal. 711, Laarus al-Mu’jamul Arobiy al-Hadits, DR. Khalid al-Jarr, Cet. I, 1987, Maktabah Larus, hal. 933, Al-Waafi Mu’jamul Wasith lilughotul ‘Arobiyah, Abdullah al-Bustani, Cet. Baru, 1990, Maktabah Libnan, Beirut, hal. 484, Al-Mishbaahul Muniir fi Ghoriibi asy-Syarh al-Kabir ar-Rofi’i, al-Allamah Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayumi, Juz I, Darul Fikr, hal. 487-488.
[3] Fath al Bari (8/823).

0 comments

Post a Comment