BERMAKMUM KEPADA IMAM YANG BERBEDA MAZHAB



Pak saya ingin bertanya, bila seorang makmum shalat maghrib yang menggunakan mazhab imam syafi'i namun sedang di imami oleh seorang yang bermazhab imam hanafi apakah yang harus dilakukan makmum tersebut ?
Saya ragu pak soalnya ketika saya sholat berjamaah menemui imam tidak membaca basmalah di al fatihah.

Jawaban
Terkadang dalam shalat, ada sebagian imam yang mengamalkan pendapat mazhab tertentu yang berbeda dengan pendapat yang diikuti oleh sebagian makmumnya.  Misalnya, imam dalam shalat tidak membaca / mensirrkan basmalah, yang merupakan pendapat jumhur  (mayoritas) mazhab,  sedangkan makmum bermazhab syafi’i yang mana basmalah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah yang harus dibaca jahar.
Dalam permasalahan ini kita temukan adanya beberapa pendapat para ulama, mulai yang paling moderat sampai yang paling keras. Secara umum ada 3 pendapat ulama tentang permasalahan ini[1], berikut penjabarannya :
1.      Sah secara mutlak
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa bermakmum kepada ulama yang berbeda mazhab adalah sah secara mutlak.  Karena keabsahan shalat berjama’ah itu dilihat dari terpenuhinya sahnya keimaman shalat,
Artinya, karena imam menyakini bahwa shalat yang dia lakukan adalah sah, maka shalat orang yang bermakmum kepadanya otomatis juga sah, tanpa harus melihat perbedaan keyakinan keduanya dalam soal-soal furu`.  
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Malikiyyah, Hanabilah, sebagian Hanafiyyah dan sebagian kecil syafi’iyyah.[2]
2.      Sah dengan syarat tidak meninggalkan kewajiban mazhabnya makmum.
Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa sah tidaknya shalat bagi makmum tergantung keadaan imamnya. Jika imam memang tidak meninggalkan rukun dan kewajiban shalat menurut mazhab si makmum, maka hukumnya sah.
            Pendapat ini masyhur dipegang oleh mayoritas kalangan mazhab asy Syafi’iyyah.[3]
3.      Tidak boleh bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab
Ada juga sebagian kecil ulama yang berpendapat tidak sahnya bermakmum dengan imam yang berbeda mazhab secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Isfarayini, Alasan yang dikemukan adalah imam yang berbeda mazhab akan meninggalkan sesuatu yang  yang menurut makmum dianggap sebagai syarat atau kewajiban. dan tentu makmum yang tidak bisa menunaikan kewajiban apalagi syarat sahnya shalat menurut mazhabnya tidak sah shalatnya menurut pendapat mazhabnya tersebut.
Sedangkan kalangan Hanafiyyah hanya memakruhkan saja bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab.[4]
Tarjih pendapat
Sebagian besar ulama merajihkan sahnya shalat dibelakang imam yang berbeda mazhab. Karena pendapat ini lebih mendatangkan kemaslahatan berupa kemudahan dan menyatukan umat.
Syaikh Wahbah Zuhalihi mengatakan dalam kitabnya, “Penulis melihat bahwa penapat mazhab Maliki dan Hanbali adalah lebih benar. Shalat dibelakang orang yang berbeda mazhab itu sah dan tidak ada kemakruhannnya. Karena diterimanya shalat itu dilihat dari sudut pandang mazhab si imam.  Dan contoh dari para shahabat dan tabi’in mereka saling bermakmum satu sama lain, meskipun mereka berbeda mazhab / pendapat. Dan pendapat ini yang lebih menyelamatkan dari fanatisme mazhab.[5]
Teladan salaful ummah dalam perbedaan
Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (murid dan sahabat Abu Hanifah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu.[6]
 Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang, “Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab, “Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam seperti Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi)[7]

Imam Abu Hanifah , imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah.[8]
  Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah  dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir.[9]

Wallahu a’lam.


[1] Al Majmu’ asy Syarhul Muhadzdzab (4/182).
[2] Syarh ash Shaghir (1/444), al Mughniy (2/190), Kasyf al Qina (1/557), Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/347).
[3] Al Majmu’ asy Syarhul Muhadzdzab (4/182), Al Hadramiyyah hal. 64.
[4] Ad Dar al Mukhtar (1/526).
[5] Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/348).
[6] Majmu Al-Fatawa (20/364-366).
[7] Majmu’ Al-Fatawa  (20/364-366).
[8] Al-Inshaf lid-Dahlawi hal 109.
[9] Al-Inshaf hal. 110.

0 comments

Post a Comment