SHALAT GERHANA



Pengertian

Shalat gerhana dalam istilah  fiqih disebut  khusuf (الخسوف) dan juga kusuf (الكسوف). Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus.  Namun ada juga sebagian ulama yang menggunakan  istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari. [1]
Pensyariatan
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya” (QS. Fushshilat : 37)
Maksud dari perintah Allah ta’ala untuk bersujud kepada yang menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana.
2.      As-Sunnah
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu. (Mutafaqqun ‘alaih)
Hukum Shalat Gerhana
Para ulama telah sepakat, bahwasanya shalat gerhana adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah, hanya saja berjamaah itu bukan syarat sahnya shalat gerhana.[2]
           Waktunya adalah sejak awal gerhana sampai keadaan kembali seperti sedia kala. Dan tidak boleh sebelum terjadi gerhana atau setelahnya. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Wahbah Zuhaili hafidzahullah : Dilaksanakannya shalat ini adalah pada waktu terjadinya gerhana.”[3]

Tata cara pelaksanaannya

1.      Berjama’ah


Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ
Terjadi gerhana matahari pada saat hidup Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, Beliau keluar menuju masjid lalu dia berbaris bersama manusia di belakangnya…”(Mutafaqqun ‘alaih)

2.      Dikerjakan dua raka’at


Dari Abdullah bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa Nabi SAW, orang-orang diserukan untuk shalat "As-shalatu jamiah". Nabi melakukan 2 ruku' dalam satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2 ruku' untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. Aisyah ra berkata,"Belum pernah aku sujud dan ruku' yang lebih panjang dari ini. (HR. Bukhari dan Muslim)

3.      Tanpa adzan dan iqamah

Dari Abdullah bin Amr Rradhiallahu’anhuma, katanya:

لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah diserukan bahwa sesungguhnya shalat ini berjamaah.” (HR. Bukhari)
4.       Sirr dan Jahr
Namun shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya).
5.      Dua kali ruku’ setiap raka’at
Dalilnya adalah :
خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَكَبَّرَ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقَامَ وَلَمْ يَسْجُدْ وَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ وَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِثْلَ ذَلِكَ فَاسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ
“Terjadi gerhana matahari pada saat hidup Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, Beliau keluar menuju masjid lalu dia berbaris bersama manusia di belakangnya, lalu Beliau bertakbir, lalu be;ia membaca surat dengan panjang (lama), lalu beliau bertakbir dan ruku dengan ruku yang lama, lalu bangun dan berkata: sami’allahu liman hamidah, lalu Beliau berdiri lagi tanpa sujud, lalu Beliau membaca lagi dengan panjang yang hampir mendekati panjangnya bacaan yang pertama, lalu Beliau takbir, lalu ruku dengan ruku yang lama yang hampir mendekati lamanya ruku yang pertama, lalu mengucapkan: sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu, kemudian Beliau sujud. Kemudian dia berkata: pada rakaat terakhir dilakukan seperti itu juga maka sempurnalah empat kali ruku pada empat kali sujud. Lalu, matahari terbit sebelum Beliau pulang.” (HR. Bukhari)

Sedangkan menurut Hanafiyyah shalat gerhana itu seperti shalat sunnah 2 raka’at biasa.[4]

6.      Memperlama bacaan shalat, ruku dan juga sujud.

Dalilnya adalah hadits ummul mukminin Aisyah diatas.
7.      Khutbah
Ada perbedaan pandangan ulama apakah shalat gerhana dilanjutkan dengan khutbah atau tidak. Menurut jumhur ulama madzhab tidak ada khutbah dalam masalah gerhana ini. Apalagi bagi yang mengatakan bahwa shalat gerhana itu dilakukan secara munfarid (sendiri). Hal itu merupakan konsekuensi logis dari pendapat mereka bahwa shalat gerhana dilakukan secara sendiri, sebab mana mungkin ada khutbah jika shalatnya sendiri.[5]
Dasar pendapat mereka adalah sabda Nabi shallahu’alaihi wassalam :
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)

Sedangkan Menurut pendapat madzab Syafi'iyah, dalam shalat gerhana disyariatkan untuk disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul Adha.[6]
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyyallahu’anhu berikut ini :
أَنَّ النَّبِيَّ لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَال : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل لاَ يُخْسَفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Sesungguhnya ketika Nabi shalallahu’alaihi wassalam selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah ta’ala. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah.(HR. Bukhari Muslim)
Demikian. Wallahu a’lam.


[1] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim ( 6/198), Fiqh al Islami wa adillatuhu (2/1421).
[2] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim ( 6/198).
[3] Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, (2/552)
[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, (6/198)    
[5] Bada’i Ash Shana’I (1/282), Mawahib Al Jalil (2/20), Hasyiah Ad Dasuqi (1/302), Al Mughni (2/425), Tabyinul Haqaiq (1/229).
[6] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (5/52)

0 comments

Post a Comment