KHATIB JUM’AT MELUCU



Ustadz saya ingin bertanya tentang kasus yang terjadi di masjid kami, ada salah satu khatib Jum’at yang berkhutbah dengan tema yang mengundang tawa jama’ah. Apakah seperti itu diperkenankan ? 

Aneh saja menurut saya, karena selama ini hamper tidak ada khatib yang melakukan seperti itu. Biasanya khutbah berlangsung khidmat dan serius, tidak ada lucu-lucunya. Saya sempat menanyakan kepada sang Khatib tentang prilakunya tersebut, katanya itu tidak masalah, inti khutbah itu menyampaikan nasehat. Benarkah demikian ? Mohon penjelasan ustadz.

Jawaban :

Khutbah dalam shalat Jum’at meskipun esensinya memiliki kesamaan  dengan ceramah agama lainnya, yakni menyampaikan nasehat agama, namun ia tidak bisa disamakan begitu saja dengan kultum, tausiyah, maudzih hasanah atau apalah namanya dari ceramah agama. Karena khutbah Jum’at itu memiliki syarat dan rukun, dan juga kesunnahan-kesunnahan yang harus dijaga selama berlangsungnya khutbah.
Sebut saja dalam khutbah ada syarat khatib harus suci dari hadats, menutup aurat dan lainnya. Khutbah Jum’at juga memiliki rukun seperti membaca hamdallah, bershalawat kepada Nabi, berwasiat taqwa dan lainnya, juga ada kesunnahan memegang tongkat, menyampaikan khutbah dengan kalimat yang ringkas dan jelas dan juga adanya kemakruhan menggerakan-gerakkan tangan bagi khatib ketika berkhutbah.[1]
Sehingga tentu saja prilaku ‘menyamakan’ Khutbah dengan ceramah biasa adalah sebuah kekeliruan.

Sifat Khutbah Jum’at

Jumhur ulama sepakat berpendapat bahwa mengeraskan suara ketika khutbah adalah sunnah.[2] Dan dalam hadits terekam bagaimana sifat khutbah Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, yakni beliau berkhutbah dengan kalimat yang tegas dan suara yang jelas. Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu’anhu, katanya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ
                “Rasulullah jika berkhutbah, memerah matanya, suaranya meninggi, emosinya begitu nampak, seakan Beliau sedang memperingatkan pasukan yang berkata: siap siagalah kalian pagi dan sore.” (HR. Muslim)

Ketika menjelaskan hadits ini al Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hadits ini menjadi dalil bahwa hendaknya ketika khatib berkhutbah ia berkata-kata dengan kalimat-kalimat yang fasih dan lancar, tersusun dan teratur rapi, suara yang tegas, focus dengan bahasan dan membicarakan tentang ancuran atau ancaman dalam agama.”[3]

Imam Shiddiq Hasan Khan juga menjelaskan : “Ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam, yaitu memberikan kabar gembira dan memberi peringatan kepada manusia. Inilah ruh dari sebuah khutbah yang karenanya khutbah menjadi disyariatkan.”[4]
 
Khatimah
Terkadang Khutbah  menjadi bagian yang paling membosankan dalam rangkaian shalat Jum’at. Khatib berbicara dengan intonasi monoton dan datar, dengan materi yang ‘ala kadarnya’, cendrung diulang-ulang dan itu –itu saja.
Dengan kondisi seperti ini, tidak heran bila kemudian sebagian besar jama’ah tidak menyimak khutbah dengan baik, sebagiannya nampak terpekur dan tidak sedikit yang tidur sampai mendengkur.
Solusi untuk itu semua tentu bukan dengan melawak, karena jelas itu bertentangan dengan kesunnahan dan adab dalam berkhutbah. Dari segi hasil, boro-boro membuat jama’ah paham, justru akan mengaburkan materi dan menjadikan mimbar Jum’at tak ubahnya panggung lawakan.
Tentu solusinya adalah dengan mengembalikan para khatib kepada sunnah Nabinya, yakni berkhutbah dengan materi yang ringkas dan jelas. Dan akan semakin mantap bila setiap khatib memiliki kemampuan Publik speaking. Bagaimana mengatur intonasi supaya tidak monoton, bagaimana memberikan tekanan dengan gestur, bagaimana dan kapan sebaiknya melakukan kontak mata dan sebagainya.

Wallahu a’lam.


[1] Perkara memegang tongkat dan bab menggerakkan tangan ketika khutbah adalah masalah khilaf, kami sebutkan sebagai contoh saja bahwa khutbah itu memiliki tatacara khusus.
[2] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/450), al Mausu’ah al fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (16/193).
[3] Syarah shahih Muslim (6/155).
[4] Ar Raudhah An Nadiyah (1/137).

0 comments

Post a Comment