Pertanyaan:
Bapak
pengasuh, saya ingin bertanya tentang hukum melaksanakan shalat dan dzikir
sesudahnya dengan pengeras suara. Karena di lingkungan tempat saya tinggal setiap
shalat lima waktu terdengar membahana bukan hanya suara adzan, tapi juga bacaan shalat imam dan wiridan selesai shalat.
Ini berlangsung hampir 15
sampai 25 menit
setiap waktu shalat. Padahal ada beberapa masjid dan mushalla yang letaknya
agak berdekatan, sehingga suara bising saling bersahutan tidak terelakkan. Hal
ini karena di masjid – masjid itu para imam shalatnya menggunakan pengeras
suara eksternal
sehingga suaranya terdengar
jauh keluar lingkungan masjid.
Bukankah hal yang
demikian itu justru dilarang dalam Islam ? Karena di lingkungan
kami ada juga non muslim, orang yang sedang sakit, beraktivitas dan kesibukan
lainnya. Saya hanya menilai ini dari akal pikiran sebagai orang awam, mohon
penjelasan dari bapak ustadz apakah kesimpulan saya ini benar. Karena saya
sempat mengingatkan tentang perkara ini kepada salah satu imam dan takmir
masjid, namun justru hal yang tidak diinginkan terjadi. Pihak yang saya tegur
merasa bahwa amalan yang dia lakukan sudah benar, dan dia justru menuding saya
anti dzikir, wahabi, dan membawa ajaran sesat, terjadilah keributan saat itu.
Semoga
pertanyaan saya ini bisa dimuat, sehingga penjelasan dari bapak ustadz bukan
hanya saya yang membaca tapi oleh para imam,
takmir dan jama’ah masjid pada umumnya.
Jazakumullah.
Jawaban :
Masjid adalah rumah Allah tempat dilaksanakannya shalat dan tata ibadah lainya. Namun sebenarnya, masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat ditunaikannya ibadah ritual, masjid memiliki banyak fungsi, seperti untuk pendidikan, sosial, ekonomi, bahkan di zaman Nabi, masjid dijadikan sebagai tempat latihan militer dan pusat pemerintahan. Pengetahuan tentang fungsi masjid ini perlu perlu kami sampaikan, karena selain banyaknya dari umat islam yang belum mengetahui, juga akan terkait dengan masalah yang akan kita bahas.
Bacaan
Alquran dan dzikir-dzikir lain pada umumnya yang dilakukan oleh seseorang atau
sekumpulan orang, bukan hanya mendatangkan pahala bagi yang melakukannya,
tetapi juga bagi yang mendengarkannya, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an :
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS al-A`raf :
204).
Dan boleh
jadi, karena adanya motivasi ayat inilah yang membuat sebagian umat Islam sengaja memperdengarkan bacaan shalatnya
dan wiridan (membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan doa) melalui pengeras
suara. Sehingga
suara bacaan shalat dan wirid
yang sebagian besarnya memang ayat al Qur’an, menggema bukan hanya dilingkungan masjid, tapi
juga seluruh kampung
jadi ikut dengar. Untuk berbagi rahmat sebagaimana yang disebutkan dalam ayat
diatas, baik bagi orang
lain di luar masjid, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Karena ada
pula firman Allah ta’ala yang berbunyi , “Dan jika seorang diantara
orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang
aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. “
(QS. At Taubah :6)
Selain
itu, motivasi lainnya adalah keinginan untuk menghidupkan syiar agama, sesuai firman Allah :
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى
الْقُلُوبِ
“Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi´ar-syi´ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS al-Hajj : 32).
Niat
baik seseorang atau sekelompok orang untuk mendatangkan rahmat Allah
ta’ala dan kesemangatan
menghidupkan syiar
agama seperti itu tentu patut dihargai dan
diberikan apresiasi. Terlepas apakah caranya sudah benar apakah masih perlu
dibenarkan. Karena perlu
kita ingat wahai saudaraku, jumlah orang seperti ini tidaklah
banyak. Tidak banyak
orang yang mau memikirkan masjid dan syiarnya, tidak banyak pula orang yang mau
dan bisa memimpin shalat berjama’ah. Lebih banyak diluar sana para pengiklan dunia bahkan penyebar kemaksiatan
dan penyebar ajaran kemunkaran. Lebih banyak orang yang suka menjadi pejabat
dan pegawai instansi
daripada jadi takmir sebuah masjid. Dan kebanyakan orang lebih
suka untuk menjadi
pelopor jama’ah nonton bola, hura-hura dan pesta –pora.
Kembali
kepokok persoalan, bila
kita tinjau masalah yang ditanyakan, paling tidak ada dua hal yang terkait
langsung permasalahan ini. Pertama hukum mengeraskan suara ketika shalat dan dzikir
secara umum, dan hukum penggunaan mikrofon itu sendiri.
Perintah
untuk tidak mengeraskan bacaan
Memang ada
beberapa ayat dan hadits Nabi yang dzahirnya melarang praktek mengeraskan suara
dalam ibadah, baik itu shalat, wiridan ataupun
membaca al Qur’an. Keras disini dengan pengertian mengangkat suara
melebihi keperluan orang yang ingin mendengarnya. Jika kasus di zaman sekarang,
yaitu menggunakan pengeras suara eksternal, sehingga bukan hanya orang yang di
dalam masjid yang mendengar, tapi sampai jauh diluar masjid. Berikut ini mari
kita simak.
Friman Allah dalam surat al- Isra’ ayat
110:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا
فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Katakanlah : Serulah Allah atau
serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai
al-Asmaul-Husna
dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula
merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa azbabun nuzul ayat ini adalah ketika Rasulullah shalallahu’alaihi
wassalam sedang bersembunyi di Mekah, di mana apabila shalat dengan para
sahabatnya, ia mengeraskan suaranya. Ketika orang- orang musyrik mendengarnya, mereka
mencela al-Qur’an ; siapa yang telah menurunkannya; dan pada siapa
diturunkan. Maka Allah berfirman pada Nabi-Nya: “Dan janganlah kamu
mengeraskan suara dalam shalatmu”, artinya dalam bacaannmu hingga
dapat mendengarlah orang- orang musyrik lalu mencela al-Qur’an. “Dan jangan
pula merendahkannya” dari para sahabatmu hingga mereka tidak
mendengar. “Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (HR. Bukhari)
Ayat
di atas menjadi pedoman bagi kita, agar ketika kita mengerjakan shalat dan
juga perkara selainnya, hendaknya
dilakukan seimbang, tidak berlebihan, juga tidak dalam posisi
merendah-kekurangan. Sebagaimana sebuah hadits juga mengisyaratkan hal ini :
خَيْرِ اْلأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا
“Sebaik-baik urusan adalah pertengahannya.”
(HR. Baihaqi)
Bacaan
Imam yang terlalu keras ataupun terlalu lirih, hemat kami juga akan
mengganggu kekhusyukan makmum. Jika terlalu keras, maka suara Imam menjadi
tidak enak didengar karena memekakkan
telinga. Jika terlalu lirih, makmum tidak akan bisa mendengar
perintah/bacaan imam.
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi
wasallam bersabda, “Janganlah kalian mengganggu yang lain, dan jangan
meninggikan suara dalam membaca Al Qur`an, atau dalam shalat."
Ibnu Sirin juga meriwayatkan bahwa Abu Bakar biasa melunakkan suaranya
dalam shalat sedangkan Umar mengeraskannya. Ketika mereka ditanya mengapa
melakukan hal itu maka Abu Bakar menjawab bahwa beliau bermunajat kepada
Tuhannya dan Dia maha mengetahui apa kebutuhannya. Sedangkan, Umar menjawab,
“Aku ingin mengusir setan dan membangunkan orang yang tidur. Ketika ayat ini
diturunkan maka dikatakan kepada Abu Bakar, “keraskan suaramu sedikit!”
dan dikatakan kepada Umar, “Rendahkan suaramu sedikit!”
Penggunaan pengeras suara untuk
dzikir dan shalat
Pemakaian microphone (pengeras suara) untuk
adzan, imam shalat, dan khatib Jum’at, hal itu merupakan efek dari perkembangan
pengetahuan dan teknologi di zaman ini.
Hingga hari ini tidak ada satupun ulama yang melarang penggunaan pengeras
suara untuk membantu pelaksanaan ibadah ritual. Sehingga
bisa dikatakan adanya ijma’ ulama tentang kebolehannya. Karena memang adanya unsur
kemashlahatan, yaitu jangkauan suara yang lebih luas, di mana penduduk suatu
wilayah mampu mendengar suara adzan dengan lebih jelas.
Suatu
masjid yang besar dengan ribuan jamaah, seperti masjidil haram di Makkah, tentu
saja penggunaan pengeras suara pada imam shalat dan khatib ketika pelaksanaan
ibadah Jum’at sangat diperlukan, agar setiap jamaah yang memenuhi tiap
sudut masjid dapat mendengar suara Imam shalat atau khatib. Yang
tentu hajat kasusnya tidak bisa disamakan dengan sebuah masjid kecil yang hanya
dihadiri segelintir jama’ah.
Jadi,
walaupun di zaman Nabi microfon tidak digunakan dalam ritual ibdah saat itu,
karena memang belum ada. Hukumnya boleh digunakan karena microfon hanyalah alat
yang membantu untuk mengeraskan suara untuk kemaslahatan.
Namun,
kebolehan disini tentu bukan tanpa batasan. Karena apapun yang berlebihan
meskipun awalnya baik bisa berubah menjadi sesuatu yang buruk. Dalam kasus ini
jangan sampai maslahat yang ingin dicapai justru menimbulkan kemudharatan.
Karena
itulah penggunaan
TOA atau pengeras suara di masjid harus benar-benar
mempertimbangkan mashalat dan mudharatnya. Penggunaan
pengeras suara yang berlebihan di masjid-masjid bisa jatuh
kepada kemudharatan bila tidak diatur sedemikian rupa. Karena boleh jadi ada orang di lingkungan
masjid yang sedang sakit atau membutuhkan kenyamanan beristirahat, dan lainnya.
Padahal Nabi
mengajarakan, tidak
boleh ada yang mengganggu kenyamanan orang lain. Tetangga dalam Islam memiliki hak
yang harus dihormati. Bila menurut dugaan kuat kegiatan tersebut mengganggu
orang lain maka di sini berlaku kaidah, dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil
mashalih (menghilangkan mafsadat/ kerusakan didahulukan daripada mendatangkan
kemaslahatan).
Menurut
kami, untuk shalat dan khutbah rasanya ‘suara dalam’ sudahlah mencukupi.
Dengan ini masyarakat
sekitar masjid, di mana terdapat orang yang lemah dan sakit, bayi, orang
yang ingin beristirahat; mereka yang non Muslim, tidak merasa terganggu.
Pengeras
suara eksternal mungkin tepatnya disaat adzan saja, atau hal-hal penting lainnya
seperti untuk mengumumkan berita dan pengumuman lainnya yang telah disepakati
penggunaannya oleh masyarakat. Oleh karena itu, hendaknya pengurus
masjid agar menyetel pengeras suara, volume suara perlu diatur agar pas, tidak
terlalu melengking, tapi juga tidak terlalu rendah.
Wallahua'lam
bish shawab.
0 comments
Post a Comment