MENJUAL BARANG YANG BELUM ADA



            Ustadz mohon penjelasannya, bagaimana hukumnya jika berniaga tapi belum ada barang yang dijual. Dengan memajang gambar barang dagangan lalu dicarikan.

Jawaban
Diantara jual beli yang dilarang dalam Islam adalah menjual sesuatu yang tidak/belum dimiliki.  Sebagaimana yang disebutkan dalam nas hadits :
لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.”(HR. Tirmidzi)
            Imam asy Syaukani menjelaskan tentang makna hadits diatas : "Dzahir larangan dalam hadits tersebut adalah pengharaman jual beli barang atau sesuatu yang tidak dalam kepemilikan seseorang atau tidak di bawah kekuasaannya.”[1]
            Contoh kongkritnya misalnya seseorang yang menjual hewan ternaknya yang lepas, atau ikan yang masih di lautan, atau menjual makanan barang yang belum dipastikan ada atau tidak dan semisalnya. Atau contoh ekstrimnya adalah seseorang yang menjual milik orang lain, seperti seseorang yang menjual rumah, mobil, tanah tapi milik tetangganya.
Bagaimana dengan kasus yang ditanyakan. Apakah termasuk hal yang dimaksud dalam hadits diatas ?
Bisa sama sehingga hukumnya haram bisa juga  tidak, tergantung kasusnya. Seseorang yang menjual barang dengan cara memajang foto atau gambar barang dagangannya saja tidak bisa langsung disamakan begitu saja dengan kasus yang disebutkan dalam hadits diatas. 
1.      Kasus  1 : Yang diharamkan
Jika si A menjual barang milik toko si B, yakni jika ada pembeli (C) yang mencari barang di toko B, si A menjual barang si B kepada si C, lalu setelah  transaksi tersebut, si A pergi ke si B untuk membeli barang yang dimaksud oleh si C.
Maka kasus diatas haram. Karena termasuk yang dimaksud dalam hadits diatas ; menjual sesuatu yang bukan miliknya.
Kasus 1 diatas menjadi halal bila si A adalah perwakilan si B. Misal  Si A adalah penjaga toko dan si B pemilik barang/toko. Meskipun pembeli (C) membeli barang dari si A yang hanya penjaga toko bukan pemilik barang, namun ia mendapatkan amanah (wakalah) dari si B selaku pemilik barang. Transaksi A dan C halal dan legal, dalam istilah syariah disebut dengan Simsarah.

2.      Kasus 2 : yang dihalalkan
Jika si A menjual barang dengan spesifikasi tertentu, lalu ada pembeli (C) yang mencari barang dengan spesifikasi B, lalu si A dan si B sepakat berjual beli dengan kesepakatan barang spesifikasi C, maka menurut mayoritas ulama ini halal. Inilah yang disebut jula beli salam.
            Apa bedanya kasus kedua dengan pertama tadi ? Bedanya dalam kasus pertama, barang yang diinginkan pemesan adalah barang tertentu–bukan barang dengan kualifikasi tertentu–. Misalnya: Sebuah sepeda motor merek HP yang ada dan dijual di show room milik C, bukan yang dijual toko lainnya. Dengan kata lain, bukan sembarang HP dengan kualifikasi tertentu. Barang yang dipesan dalam kasus pertama ini, dalam bahasa fikih, disebut “barang mu’ayyan“.
Sedangkan dalam kasus kedua, barang yang diinginkan oleh pemesan adalah barang dengan kualifikasi tertentu, yang bisa didapatkan di mana pun. Barang yang dipesan dalam kasus kedua ini, dalam bahasa para ulama fikih, disebut “maushuf fi dzimmah“.
Yang pertama diharamkan sedangkan yang kedua dihalalkan karena termasuk jual beli sah dengan akad salam.

Beberapa ketentuan akad salam
            Jual beli salam adalah bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Tentang keabsahan jual beli salam, ulama bersepakat bulat tentang kehalalannya berdasarkan al Qur’an dan sunnah.[2] Dan berikut ketentuan jual beli tersebut  diantranya : (1) Harus diadakan pembayaran disaat akad jual beli, (2) Jelas barang yang diperjual belikan meliputi jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya, (3) Bisa dihadirkan pada waktu yang disepakati dan (4) Adanya tanggung jawab dari penjual untuk mengadakan barang yang diinginkan pembeli.
Lengkapnya tentang penjelasan syarat dan rukun salam bisa dilihat dibahasan kami tentang : Jual beli Salam.

Demikian. Wallahu a’lam.


[1] Nailul Authaar (5/253)
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (25/193).

0 comments

Post a Comment