Ustadz rame di
broadcest Sosmed bahwasanya doa berbuka puasa yang biasa kita gunakan adalah
bersumber dari hadits dhaif sehingga tidak boleh diamalkan. Ada yang lebih
shahih dan harus diamalkan yakni : “DzaHabazh zhuma-u wabtallatil ‘uruqu wa
tsabatal ajru insya Allah”.
Argumen mereka
: “Kalau ada hadits yang shahih kenapa memakai yang dhaif ?”. Mohon penjelasan lebih lanjut dari antum.
Jawaban
Lafadz berbuka
yang ditanyakan adalah doa berikut ini :
اللّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَعَلَي رِزْقِكَ أفْطَرْتُ
Doa diatas memang menjadi lafadz doa
berbuka yang masyhur dibaca oleh kaum muslimin. Sebagian kalangan memang ada
yang mempermasalahkan keabsahan doa diatas, karena dipandang bersumber dari
hadits dhaif. Kalangan ini ada yang sekedar berpendapat bahwa ada doa berbuka
puasa yang lebih shahih, maka meninggalkan doa ‘lama’ yang lemah tentu lebih
baik, namun ada yang yang sampai pada tingkatan menvonis bahwa mengamalkan doa
diatas adalah perbuatan tercela alias haram. Benarkah demikian ? Mari kita awali
bahasan dengan menelisik sejenak sumber doa diatas dalam hadits hadits Nabawi.
Hadits – haditsnya :
Lafadz doa
diatas setidaknya bersumber dari 3
lafadz hadits yang memiliki redaksi sedikit berbeda, tercantum dalam :
1. Riwayat Imam
al-Daraquthni[1]
Hadits berbuka puasa diatas
bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh Ad-Daroquthni berikut ini :
حدثنا
إسحاق بن محمد بن الفضل الزيات ثنا يوسف بن موسى ثنا عبد الملك بن هارون بن عنترة
عن أبيه عن جده عن بن عباس قال : كان النبي صلى الله عليه و سلم إذا أفطر قال
اللّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَي رِزْقِكَ أفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ
مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْع العلِيْم
“dari Ishaq bin Muhammad bin Fadhl
al-Zayyat, dari Yusuf bin Musa dari Abdul Malik bin Harun, dari ‘Antarah, dari
ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘nabi s.a.w. jika
berbuka mengucapkan: ‘allahumma laka shumna wa ‘ala rizqika aftharnaa
fataqabbal minna innaka anta al-Sami’ al-‘Aliim”
Dalam rawinya
ada orang yang bernama Abdul Malik bin Harun. Abdul malik ini, dia dan ayahnya
termasuk dalam golongan lemah menurut Daraquthni sendiri.
2. Riwayat Imam
Thabrani[2]
Riwayat imam At
Thabrani dengan lafadz :
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْحَضْرَمِيُّ، ثنا يُوسُفُ بْنُ قَيْسٍ
الْبَغْدَادِيُّ، ثنا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَفْطَرَ قَالَ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ
أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيم
“Dari Muhammad
bin Abdullah al-Hadhrami, dari Yusuf bin Qais al-Baghdadi, dari abdul Malik bin
Harun bin ‘Antarah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu Abbas … “
Sama dengan
riwayat Daraquthni diatas, sebab kelemahannya karena adanya Abdul Malik bin
Harun.
Riwayat Imam Abu Daud[3]
Hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dengan lafadz
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، عَنْ هُشَيْمٍ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ
بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا
أَفْطَرَ قَالَ: «اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ»
“dari Musaddad
dari hasyim dari hushoin dari Muadz bin zuhroh, bahwasanya telah sampai kepada
beliau bahwa Nabi s.a.w. jika berbuka puasa, beliau s.a.w. mengucapkan:
allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu’.”
Hadits ini
adalah hadits mursal, yakni hadits yg sanadnya terpotong di bagian sahabat,
jadi seharusnya setelah Tabi'in (yang hidup setelah masa Sahabat) itu
ada sahabat yg menghubungkannya dengan Nabi, tapi hadits mursal itu terhenti
pada Tabi'in dan langsung ke Nabi. Berarti ada sanad yang putus yaitu di bagian
sahabat.
Kemursalan Hadits
ini karena Muadz bin Zuhrah itu ialah seorang tabi'i bukan sahabat. Seorang
tabi'in tidak bisa meriwayatkan hadits langsung dari Nabi shalallahu’alaihi
wasslam karena memang tidak sezaman.
Kesimpulannya
hadits berbuka puasa diatas adalah memang bersumber dari hadits yang tidak
sampai derajat shahih. Sebagian menghasankan sedangkan mayoritas ulama hadits
mendhaifkan.
Bolehkah
diamalkan ?
Hadits
diatas hukumnya sunnah diamalkan menurut pendapat mayoritas ulama. Bahkan doa
degan redaksi diatas sudah menjadi amalan umum dari pendapat 4 mazhab, berikut
kutipannya :
A. Mazhab Hanafi
وَمِنْ
السُّنَّةِ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ الْإِفْطَارِ اللَّهُمَّ
لَك صُمْت وَبِك آمَنْت وَعَلَيْك تَوَكَّلْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت وَصَوْمَ الْغَدِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ
نَوَيْت فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْت وَمَا أَخَّرْت
Dan
termasuk perbuatan sunnah, berdoa ketika berbuka puasa
dengan doa “Ya Allah
karena-Mu aku berpuasa, dengan-Mu aku beriman,
hanya kepada-Mu aku
bertawakkal dan atas segala rezki dari-Mu aku
berbuka. Dan untuk
puasa esok hari di bulan Ramadhan ini aku berniat,
maka ampunilah aku,
dosa ku yang terdahulu dan yang akan datang.”[4]
B. Mazhab Maliki
وندب
أن يقول: اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فاغفر لي ما قدمت وما أخرت.
وفي
حديث: اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت ذهب الظمأ
وابتلت العروق وثبت الاجر إن شاء الله تعالى.
Dan
termasuk perbuatan sunnah, disukai berdoa dengan doa “Ya Allah karenaMu aku
berpuasa, atas rezki dariMu aku berbuka.
Maka Ampunilah dosaku yang terdahulu dan yang akan datang”. Dan dalam
hadits “Ya Allah karenaMu aku berpuasa, atas rezki dariMu aku berbuka.
Telah hilang dahaga, telah basah urat kerongkongan dan telah tetap
ganjaran insyaallah ta’ala.”[5]
C. Mazhab Syafi’i
يَنْبَغِي
لَهُ ( أَنْ يَقُولَ بَعْدَ ) وَفِي نُسْخَةٍ عِنْدَ ( الْإِفْطَارِ
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت ) لِلِاتِّبَاعِ
رَوَاهُ أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ لَكِنَّهُ
مُرْسَلٌ وَرُوِيَ أَيْضًا أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَقُولُ حِينَئِذٍ اللَّهُمَّ
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ
وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
Dan
semestinya bagi orang yang berpuasa agar berdoa setelah
(dalam naskah lain,”ketika”) berbuka puasa
dengan membaca doa “Ya Allah karena-Mu
aku berpuasa dan atas rezki dari-Mu aku berbuka” karena
mengikut sunnah. Hadits
ini diriwayatkan dengan isnad yang hasan namun
statusnya mursal. [6]
والمستحب
أن يقول عند إفطاره اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت لما
روى أبو هريرة قال " كان رسول الله صلي الله عليه وسلم إذا صام ثم أفطر قال اللهم لك صمت وعلي رزقك أفطرت
Dan disukai (disunnahkan)
untuk membaca doa ketika berbuka puasa:
“Ya Allah karena-Mu aku berpuasa dan atas rezki dari-Mu aku berbuka”,
karena hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia
berkata: Rasulullah
shalallahu’alaihi wasslam jika berpuasa lalu berdoa, beliau berkata: “Ya Allah
karena-Mu aku berpuasa dan atas rezki dari-Mu aku berbuka”[7]
وَوَرَدَ
أَيْضًا أَنَّهُ كَانَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
يَقُولُ : { ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ
الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ } وَلَكِنَّ هَذَا رُبَّمَا يُفْهَمُ مِنْهُ أَنَّهُ فِي خُصُوصِ مَنْ أَفْطَرَ عَلَى
الْمَاءِ فَرَاجِعْهُ .
Dan
datang juga bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Telah
hilang dahaga, telah
basah urat kerongkongan dan telah tetap pahala
Insya Allah”, namun doa
ini sepertinya kita dapat memahaminya bahwa ia
dibaca khusus oleh
orang yang berbuka selepas meminum air, maka rujuklah
kembali (sumbernya).”[8]
وَأَنْ
يَقُولَ عِنْدَ فِطْرِهِ: اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Seseorang
yang berpuasa, hendaklah berdoa ketika berbuka
puasa: “Ya Allah
karena-Mu aku berpuasa dan atas rezki dari-Mu aku
berbuka.”[9]
D.
Mazhab Hanbali
وقول
ما ورد عند فطره ومنه اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت سبحانك وبحمدك اللهم تقبل مني
إنك أنت السميع العليم
“Dan
tentang perkataan yang datang tentang apa yang dibaca
ketika berbuka puasa,
diantaranya adalah doa “Ya Allah karena-Mu aku
berpuasa dan atas rezki
dari-Mu aku berbuka, Maha Suci Engkau dan dengan
Memuji-Mu Ya Allah
terimalah dariku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”.[10]
روى
ابن عباس قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أفطر
قال " اللهم لك صمنا، وعلى رزقك أفطرنا، فتقبل منا أنك أنت السميع العليم .
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas,berkata: Rasulullah shalallahu’alaihi wasslam
ketika berbuka puasa berkata: “Ya Allah, karena-Mu kami
berpuasa dan atas rezki
dari-Mu kami berbuka, maka terimalah dari kami.
Sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.[11]
Dha’if koq diamalkan ?
Tentu para
ulama tidak sembarangan dan serampangan dalam membuat kesimpulan hukum dan
amalan, karena teryata doa berbuka puasa diatas boleh diamalkan paling tidak
karena 2 alasan :
Pertama,
ulama tidak sepakat kedhaifannya, kalau toh divonis dhaif, hadits tersebut
tidak lemah sekali, bahkan memiliki tsawabit (penguat). Dan hadits dhaif sekalipun
mayoritas ulama berpendapat boleh diamalkan asalkan tidak terlalu lemah dan dalam
masalah fadhilah amal.
Imam al-Nawawi
menyebutkan dalam kitabnya al-Azkar (hal. 8): “para ulama dari kalangan ahli hadits dan ahli
fiqih mengatakan: boleh dan disukai mengamalkan hadits dhaif dalam perkara
fadhail a’mal, targhib (memotivasi) serta tarhiib (memberikan peringatan)
selama haditsnya tidak maudhu’ (palsu)”.
Kedua,
redaksi doa berbuka tersebut termasuk hadits mursal. Sedangkan hadits mursal
itu punya posisi tersendiri, yang mana mayoritas ulama cenderung menerimanya. Berkata pensyarah kitab Sunan Abu Dawud, yakni
Syeikh Muhammad Muhammad Khathab As Subki, : “Tidak diketahui siapakah shahabat yang menjadi perantara
antara dia (Mu’adz bin Zuhrah) dengan Nabi , namun ketidaktahuan dalam hal (siapa)
shahabat ini tidaklah membahayakan…(Dan dalam hadits ini) terdapat dalil
mengenai pensyariatan doa ini setelah berbuka dari puasa.”[12]
Doa “DzaHabazh zhuma-u
wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah”bukan tanpa
kritikan.
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الاجر إن شاء الله
“Telah
hilang dahaga, telah basah urat kerongkongan dan telah tetap ganjaran (pahala)
Insyaallah.”
Doa
dengan lafadz yang dikatakan paling shahih diatas bukan berarti lepas tanpa
kritik ulama hadits. Nyatanya ada sebagian ulama yang juga
mempermasalahakannya, dan ini hal yang biasa dalam ilmu hadits. Maka berhentilah
dari sikap mentang-mentang dishahihkan oleh ulama kesayangan, terus kita buta
dari pendapat ulama lainnya.
1.
Sebagian ulama hadits
mendhaifkan
Hadits
tersebut dikeluarkan diantaranya oleh
Abu Daud, An-Nasa’i dalam Al-Kubra, Ad-Daraquthni, Al-Bazzar dan lain-lain dari
Ali bin Al-Hasan dari Al-Husein bin Waqid dari Marwan bin Salim Al-Muqaffaq
dari Ibnu Umar dari Nabi Saw secara marfu’. Namun hadits ini dhaif dan gharib.
Al-Bazzar
berkomentar “Hadits ini tidak diketahui ia diriwayatkan dari Nabi selain dari
wajh ini dengan isnad ini”. Ibnu Mandah menyatakan “Hadits ini Gharib, kami
tidak menuliskannya melainkan dari hadits Al-Husein bin Waqid”. Ad-Daraquthni
menjelaskan “Al-Husein bin Waqiq menyendiri pada hadits ini, sedangkan isnadnya
Hasan”.
Sedangkan
menurut Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi berkata “Perkataan Ad-Daraquthni dalam
sunannya ‘isnadnya hasan’ bukanlah bermarkan hasan sebagaimana istilah yang
kita kenal saat ini. Tetapi yang ia maksud adalah At-Tafarrud (menyendiri) dan
Al-Gharabah. Dan tentang hal ini ada begitu banyak contoh yang menjelaskan bagi
kita (tentunya) bagi orang yang biasa mengkaji sunannya”. Sehingga
berkemungkinan besar bahwa maksud ad-Daraquthni dengan Hasan disini adalah
Gharib, sesuai dengan penilaian ulama-ulama hadits diatas sebelumnya.
Pada
sanad hadits ini juga terdapat perawi yang bernama Marwan bin Salim Al-Muqaffaq
(sebagian menyebutnya “Al-Mufaqqaq), dan dia majhul, setidaknya menurut Imam
Abu Hatim. Sedangkan Imam Ibnu Mandah menghukuminya sebagai gharib.
Oleh
karena itu, hadits ini juga dihukumi dhaif oleh banyak ulama hadits seperti
Imam Ibnu Mandah, bahkan Ibnu Qayyim dalam Zaad Al-Ma’ad menyebutkan hadits ini
dengan shigat tad’if/tamridh dan ia juga
diingkari oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyf Al-Hatsits.
2.
Penempatannya lebih tepat seteleh
berbuka
Sebagian
ulama ada juga yang menkritik hadits tersebut layaknya dia dibaca setelah
berbuka bukan ketika mau berbuka, karena dari artinya sendiri jelas yakni
“Telah hilang rasa haus dan urat – urat telah basah serta pahala telah
ditetapkan, insya Allah”
Kesimpulan
Doa berbuka
puasa seperti yang lazim dibaca adalah amalan yang tsabit dan boleh diamalkan
menurut pendapat ulama 4 mazhab. Dan hadits yang dikatakan lebih shahih ternyata
tidak lepas juga dari kritikan. Silahkan diamalkan tanpa perlu menyalahkan satu
sama lain. Mungkin yang tepat bukan
slogan : Kalau ada hadits yang shahih kenapa memakai yang dhaif ? Tapi : “
Kalau ada yang pilihan dua doa, kenapa
harus memakai satu.” Wallahu a’lam.
[1] Sunan
Daraquthni nomor hadits 2.
[2] Mu’jam
al Kabir nomor hadits
12720.
[3] Sunan
Abu Daud nomor hadits: 2346 dan Al-Maraasil li-Abi Daud (1/124)
[4] Tabyin
Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq (4 /178).
[5] Syarah Al-Kabir
Syaikh Dardir (1/ 515), Hasyiyah
Ash-Shawi ala Syarh Ash Shaghir (3/249), Mukhtashar
Al-Khalil (3/306)
[6] Atsna
Al-Mathalib (5/337)
[7] Majmu’
Syarh al Muhadzab (6/362)
[8] Hasyiah Qalyubi
Umairah (5/337)
[9] Minhaj Ath Thalibin
(1/108)
[10] Ar-Raudh
Al-Murabba’ (1/37)
[11] Asy-Syarh
Al-Kabir Ibnu Qudamah (3/79).
[12] Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi
Dawud (10/81).
0 comments
Post a Comment