I’TIKAF RAMADHAN APAKAH HARUS SEPULUH HARI ?



Ustadz, I’tikaf yang sesuai sunnah di bulan Ramadhan adalah 10 hari, karena Nabi shalallahu’laihi wassalam tidak pernah melakukan kurang dari itu. Lalu bagaimana dengan I’tikaf yang kurang dari 10 hari, apakah teetap dapat pahala ?
            Untuk I’tikaf, jika Tarawih di masjid, lalu pulang ke rumah untuk keperluan makan dan lainnya, lalu kembali ke masjid lagi untuk I’tikaf apakah di bolehkan ?

Jawaban
            Tidak ada satupun ulama yang berpendapat bahwa I’tikaf itu harus 10 hari, lalu dihukumi jika kurang dari itu tidak sah. Bahkan mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang yang duduk di masjid dalam waktu sebentar dengan niat I’tikaf, seperti sekedar ditunaikannya 2 raka’at shalat sunnah yang ringan, maka I’tikafnya sah.[1]  Bahasan tentang I’tikaf bisa disimak kembali disini : http://www.konsultasislam.com/2011/07/itikaf.html

Lalu bagaimana dengan hadits yang menyebutkan I’tikaf Nabi shalallahu’alaihi wassalam selam 10 hari ?
Dalam hal seperti inilah seharusnya seseorang harus tahu diri. Jika ia menemukan satu dua hadits, jangan langsung main simpulkan sendiri. Karena sangat mungkin masih ada sekian banyak hadits  yang berkaitan dengan permasalahan tersebut yang tidak diketahuinya. Lebih-lebih jika kesimpulan yang dibuat  bertabrakan dengan para ulama mazhab, lalu main labrak mengatakan pendapat ulama ini bertentangan dengan sunnah Nabi. Subhanallah !
Dalil Waktu I’tikaf
Dalil yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan bahwa I’tikaf itu boleh meski dalam waktu yang sebentar adalah beberapa hadits atau riwayat berikut ini :
            Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma ia bertanya kepada Nabi shalallahu’alaihi wassalam :
كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ  فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Aku dahulu pernah bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di masjidil haram.” Beliau pun bersabda, “Tunaikanlah nadzarmu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,
إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف
“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf.
Sehingga menurut jumhur, boleh saja seseorang beri’tikaf di bulan Ramadhan beberapa waktu saja. Meski tentu yang lebih utama adalah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan dengan sempurna dalam rangka untuk mencari Lailatul Qadar.[2] Dan sebagian ulama berpendapat bahwa I’tikaf 10 hari pada akhir Ramadhan hukumnya sunnah muakkadah.[3]
Hal ini sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam : Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata : “Nabi shallallahu‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Keluar dari tempat I’tikaf untuk keperluan

Ulama sepakat berpendapat bahwa keluarnya seseorang dari masjid tempat I’tikaf membatalkan I’tikaf tersebut. Terkecuali untuk hajat yang tidak mungkin dilakukan di masjid seperti buang air besar dan kecil. Lalu bagaimana dengan keperluan sebentar untuk sekedar makan dan minum ?
Ulama berbeda pendapat, menurut Malikiyyah dan Hanabilah hal tersebut membatalkan I’tikaf, sedangkan Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat makan dan minum tidak membatalkan I’tikaf bila memang sangat dibutuhkan. Semisal tidak tersedianya air atau malu untuk makan di masjid.[4]
Kalangan syafi’iyyah menambahkan : Boleh pergi makan dan minum bila masjid berada di dekat jalan (mudah untuk mendapatkan makanan), bila lokasi tempat makannya jauh maka tidak boleh.[5]
            Pendapat yang terpilih lebih baik tidak melakukan makan dan minum diluar tempat I’tikaf, karena bisa membatalkan I’tikaf. Hal ini disebabkan di zaman kita sekarang kebutuhan makan dan minum  justru disediakan oleh takmir atau panitia I’tikaf.
            Jika memang seseorang yang sedang beri’tikaf di masjid keluar untuk keperluan yang ternyata bisa membatalkan I’tikafnya tersebut, maka ketika masuk masjid hendaknya berniat I’tikaf kembali.

Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (5/213).
[2] Fathul Wahhab (1/125), Iqna’ (1/212).
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (23/144).
[4] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (5/221).
[5] Mughni al Muhtaj (1/457).

0 comments

Post a Comment