SHALAT NGEBUT




Bagaimana pendapat ustadz tentang praktek shalat Terawih ngebut yang ramai dibicarakan saat ini ?
Jawaban
Sebenarnya tanpa tahu dalil sekalipun, kita sudah bisa merasakan rusaknya praktek shalat dengan cara kebut-kebutan seperti itu. Sangat tidak wajar dan sama sekali jauh dari bentuk ibadah dan penghambaan kepada Tuhan. Bahkan lebih mirip aksi main-main, mengada-ada dan asal tampil beda, lalu diberi legalitas : ini tradisi turun temurun.
Anehnya, masih ada saja oknum ‘ustadz’ yang mencoba  membela dengan mencari dalil pembenaran aktivitas shalat super kilat ini. Diantaranya dengan mengatakan bahwa tuma’ninah dalam shalat itu diperbedapendapatkan oleh ulama, alias memang ada yang mewajibkan tapi ada juga yang tidak, dan khusu’ itupun hukumnya cuma sunnah bukan wajib. Artinya dalam shalat, tidak tuma’ninah dan tidak khusu’ itu tidak berarti pasti tidak sah. Jadi boleh ?
Disinilah belangnya. Katakan saja memang tidak apa-apa shalat tidak Tuma’ninah dan tidak bisa khusu’, tapi masalahnya, praktek shalat ngebut tersebut bukan Cuma sekedar tidak tuma’ninah dan tidak khusu’, tapi sangat tidak tuma’nihah dan sangat tidak bisa dipakai khusu’.
Karena yang dimaksud tuma’ninah itu adalah melakukan gerakan shalat semisal ruku’ dan sujud dengan tenang, tertunaikannya bacaan tasbih dalam keadaan anggota badan telah berada ditempatnya (tidak dalam keadan bergerak).[1] Dan sekurang-kurangnya Tuma’ninah itu adalah tenangnya anggota badan.[2]
Demikian juga bacaan al Qur’an dalam shahat tersebut bukan hanya tidak pas makhraj dan Tajwidnya, tapi berantakan pelafadzannya. Gerakan sujud yang seperti diayun-ayunkan saja.
Al Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Bagi orang yang sudah bisa membaca Al-Qur’an haram membaca Al-Qur’an dengan Lahn yaitu terlalu panjang dalam membacanya terlalu pendek sehingga ada sebagian huruf yang mestinya dibaca panjang malah dibaca pendek, atau membuang harakat pada sebagian lafadznya yang membuat rusak maknanya, bagi yang membaca Al-Qur’an dengan cara demikian adalah haram dan pelakunya dihukumi Fasiq sedangkan bagi yang mendengarnya juga berdosa jika ia mampu mengingatkan atau menghentikannya akan tetapi lebih memilih diam dan mengikutinya”.[3]
 Dalil-dalil larangan ‘ngebut’ dalam shalat

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ فَرَدَّ النَّبِىُّ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ  فَقَالَ  ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu‘alaihi wasallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada beliau, lalu beliau menjawab salamnya. Rasulullah bersabda, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Ini terjadi sampai tiga kali. Orang tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!” Rasulullah lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (Mutafaqqun ‘alaih).

Hadis dari Hudzifah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah melihat ada orang yang tidak menyempurnakan rukuk dan sujud ketika shalat, dan terlalu cepat. Setelah selesai, ditegur oleh Hudzaifah, “Sudah berapa lama anda shalat semacam ini?” Orang ini menjawab: “40 tahun.” Hudzaifah mengatakan: “Engkau tidak dihitung shalat selama 40 tahun.” (karena shalatnya batal). Lanjut Hudzaifah,
وَلَوْ مِتَّ وَأَنْتَ تُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَاةَ لَمِتَّ عَلَى غَيْرِ فِطْرَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jika kamu mati dan model shalatmu masih seperti ini, maka engkau mati bukan di atas fitrah (ajaran) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”  (HR. Ahmad).
Kesimpulannya bahwa shalat seperti yang ditanyakan ke kami dalam video tidak sah menurut mayoritas ulama dan pendapat yang kuat.

Semoga kesalahan seperti ini tidak dipertahankan dan ditradisikan, tradisi yang baik memang perlu dipertahankan, adapun yang jelas-jelas keliru harus diganti dengan yang benar atau yang lebih baik.

Wallahu a’lam.



[1] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/5).
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (29/90).
[3] At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an hal. 89.

0 comments

Post a Comment