Saya izin bertanya mengenai jasa penukaran
uang yang missal 100 ribu ditukar dengan
pecahan yang lebih kecil, misal 2000 rupiah, tapi setiap penukaran itu uang
yang dibayarkan ada tambahannya semisal menjadi 105.000. apakah hal tersebut riba
jika memang riba adakah siasat atau akad agar tidak menjadi riba ?
Jawaban
Menjelang lebaran seperti sekarang
ini, di samping tradisi mudik yang superheboh ada tradisi unik yg mungkin
hanya dilakukan oleh umat Islam Indonesia, yaitu tukar uang baru/receh. Uang
receh itu nantinya digunakan untuk ‘salam tempel’ anak cucu
yang berkunjung, juga untuk anak-anak kecil lainnya yang ikut ngarep
kecipratan.
Menukar uang receh jika dalam
jumlah yang banyak tentu menimbulkan kendala tersendiri, kalau mau ditukar ke toko,
kadang sudah keduluan yang lain. Mau ditukar ketetangga, ternyata tetangga juga
membutuhkan. Nah, disinilah kemudian sebagian kalangan begitu jeli menangkap
peluang ini, seperti yang kita saksikan, bermunculan penjaja layayan ‘tukar uang’ di mal, jalanan
dan di tempat-tempat keramaian lainnya.
Karena ternyata selain sebagai sumber pemasukan tambahan, bisnis ini
lumayan menguntungkan dan hampir dikatakan zero kemungkinan ruginya. Kok bisa ?
Tentu saja. Karena
terjual atau tidak, uang tersebut tetap ada di tangan mereka
dan tidak akan rusak.
Terjual mereka untung, tidak terjual pun, uang tersebut dapat dibelanjakan juga. Benar-benar ‘bisnis
anti rugi’.
Terlepas
dari keuntungan yang menggiurkan penjualnya dan layanan kemudahan bagi para
konsumennya, bagaimanakah pandangan syariat dakam melihat praktek ‘tukar uang’
seperti ini ?
Hukumnya
Ternyata praktek tukar menukar uang
dengan dilebihkan ini gamblang sebagai perkara yang dilarang dalam agama, karena
termasuk riba Fadhl, salah satu riba yang tercela dan disepakati keharamannya.[1]
Apa itu Riba Fadhl ?
Riba Fadhl adalah kelebihan pada jenis yang sama dari harta ribawi, ketika
keduanya dipertukarkan. Benda ribawi yang dimaksud ada 6, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini
:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ
هَذِهِ الأْصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“ (1) Emas
dengan emas, (2) perak
dengan perak, (3) gandum
dengan gandum, (4) barley
dengan barley, (5) kurma
dengan kurma, (6) garam
dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka
juallah sekehendakmu tetapi harus tunai.” (HR Muslim).
Jadi
yang dimaksud riba Fadhl adalah aktivitas tukar menukar 6
barang
riba diatas yang satu jenis, dengan perbedaan ukurannya
akibat perbedaan kualitas.
Contoh
dari pertukaran dua benda yang wujudnya sama tapi beda ukuran adalah emas
seberat 3
gram ditukar dengan emas seberat 2 gram secara langsung. Emas yang 3 gram kualitasnya cuma 21 karat, sedangkan emas yang 2 gram kualitasnya 23 karat. Kalau pertukaran langsung
benda sejenis beda ukuran ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan riba
fadhl dan hukumnya haram.
Uang termasuk Emas dan perak
Jumhur telah menetapkan dan
memaklumi bahwa uang kedudukannya termasuk benda ribawi seperti halnya emas. Sehingga
praktek mengambil manfaat dari uang/alat tukar baik dengan melebihkan (fadhl)
atau dengan adanya penundaan (nasiah) termasuk riba yang diharamkan.[2]
Bantahan atas adanya kalangan yang menghalalkan
Namun ada
sebagian kalangan yang berpendapat bahwa praktek tukar menukar uang tersebut
tidak termasuk riba yang diharamkan dalam islam, alasannya :
1.Uang bukan
benda ribawi
Menurut sebagian
kalangankeharaman riba
fadhl itu hanya terbatas pada enam jenis benda yang disebutkan dalam hadits. Sedangkan
bila yang dipertukarkan selain keenam benda itu, maka hukumnya tidak mengapa
walaupun berbeda ukuran karena beda kualitas. Menurut
mereka uang bukanlah salah satu dari ke-enam barang ribawi.
Bantahan
:
Pernyataan ini sangat tidak tepat dan bertentangan dengan dalil. Sebab hadits yang menyebutkan keenam jenis benda ribawi tujuannya bukan untuk membatasi,
tetapi untuk membuatkan contoh saja.
Sebagai
bukti umumnya para
ulama juga telah melakukan kias terhadap benda-benda lain
seperti beras, jewawut atas kurma dan gamdum.
Dan ulama
umumnya memandang uang termasuk benda ribawi karena kesamaan ilatnya dengan
emas sebagai alat tukar.[3]
2.Diqiyaskan
ke pengupahan
Sebagian kalangan berpendapat, bahwa
tukar uang receh ini dapat dikategorikan ke dalam akad wakalah
bil ajr (perwakilan dengan upah) atau ijarah (suatu
pekerjaan dengan upah). Dengan asumsi, bahwa si penawar jasa penukaran adalah wakil,
dan si pembeli (penukar) adalah muwakkil. Sehingga
dibolehkan ada tambahan pada penukaran uang sejenis yg diposisikan sebagai upah
kepada wakil.
Bantahan
: Qiyas
dalam hal ini
tidak sangat tidak tepat. Karena dalam akad wakalah, upah
haruslah jelas di awal akad, tidak boleh berubah setiap waktu. Adapun dalam
konteks ini, si penawar jasa penukaran bisa saja menjual kepada satu pelanggan
dengan keuntungan 10% dari jumlah yg dimaksud, dan kepada pelanggan lainnya
dengan keuntungan yg lebih besar atau lebih kecil dari 10%. Hukum supply
and demand bekerja dalam hal ini.
Belum lagi dilihat dari sisi
lain, dari awal tidak ada sama sekali perjanjian akad wakalah antar dua belah
pihak, penjual maupun pembeli.
Beda kasusnya jika misalnya si Ahmad
ditugaskan oleh kantor untuk menukarkan uang receh sejumlah 10 juta kepada bank
tertentu, dengan upah 500 ribu rupiah. Tentu hal ini dibolehkan, karena wakil dan muwakkil nya
jelas, jumlah upahnya juga jelas.
Adakah
solusinya ?
Solusi
untuk permasalahan ini adalah dengan mendatangi Bank Indonesia, layanan
tukar menukar uang tersedia dan
tidak memungut biaya sepeserpun darinya, 50 ribu ditukar dengan 50 ribu.
Bahkan untuk memudahkan proses tukar
uang receh ini, BI telah bekerjasama dengan beberapa bank dan mengirimkan
mobil-mobil stand penukaran uang di beberapa titik, hanya sayangnya baru ada
dibeberapa kota besar.
Terkadang
ada yang tidak nbetah dengan antrinya yang panjang bikin pegel, ada solusi lain
? Jika memang malas
mengantri maka kita bisa menyuruh seseorang untuk mengerjakannya lalu kita
beri biaya uang lelah atas
tenaga dan waktunya
yang terbuang karena harus antri. Nah, ini solusi win win
kelihatannya.
Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment