MENUNDA BERHAJI



Ustadz, apa hukumnya orang yang enggan berhaji, yakni tidak kunjung menunaikan ibadah haji padahal dia mampu ? Dan bagaimana batasan mampu yang dimaksud oleh syariat kaitannya dengan ibadah haji ?
Jawaban :
Ada perbedaan yang mendasar antara enggan berhaji dengan tidak kunjung berhaji alias menundanya. Orang yang enggan berhaji artinya sengaja melalaikan kewajiban haji tanpa udzur apapun, dan ini tentu dosa besar. Inilah yang masuk dalam ancaman hadits :
مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلاَ عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا
“Orang yang punya bekal dan kendaraan yang bisa membawanya melaksanakan ibadah haji ke Baitullah tapi dia tidak melaksanakannya, maka jangan menyesal kalau mati dalam keadaan yahudi atau nasrani.” (HR. Tirmidzi)
Sedangkan menunda haji karena faktor atau udzur tertentu, meskipun yang bersangkutan telah memiliki kesanggupan dari sisi finansial, maka  ada pandangan yang berbeda dari para ulama. Para fuqaha berselisih apakah bagi orang yang telah mampu, haji itu dikerjakan sesegera mungkin atau boleh adanya penundaan. Berikut penjelasannya.

1.      Tidak boleh ada penundaan
Jumhur ulama mazhab dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa bila seseorang telah memenuhi syarat wajib haji, maka tidak boleh ada penundaan, dia harus berupaya secepat mungkin menunaikan kewajiban tersebut.[1]
Kalangan ini berdalil diantaranya dengan hadits :
حَجُّوا قَبْلَ أَنْ لاَ تَحُجُّوا
Laksanakan ibadah haji sebelum kamu tidak bisa haji. (HR. Hakim)
تَعَجَّلُوا إِلىَ الحّجِّ يَعْنيِ الفَرِيْضَةِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ
“Bersegeralah kamu mengerjakan haji yang fardhu, karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi.” (HR. Ahmad)
Sehingga menurut kalangan pendapat ini, jika seseorang mampu untuk berangkat haji secepatnya tapi memilih berangkat tahun berikutnya, seperti contoh sekarang, mampu untuk berhaji plus kemudian memilih reguler, dianggap telah bermaksiat.
2.      Boleh ada penundaan
Sedangkan kalangan mazhab asy Syafi’iyyah berpendapat menyegerakan kewajiban hukumnya sunnah bukan wajib, boleh ada penundaan, namun dengan niat yang tidak berubah dan keinginan yang kuat untuk tetap melaksanakan haji.[2]
Dalil kalangan syafi’iyyah dalam menetapkan pendapat ini berpijak kepada praktek yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam dan para shahabatnya kala itu. Dimana ayat perintah haji telah turun pada tahun keenam Hijriyyah namun beliau shalallahu’alaihi wassalam baru menunaikannya pada tahun kesepuluh Hijiryyah. Jika kewajiban haji tidak boleh ada penundaan, tentu ini tidak akan dilakukan.
Mazhab ini juga memandang bahwa hadits-hadits yang berisi ancaman bagi orang yang menunda ibadah haji sebagai hadits yang lemah.

Wallahu a’lam.




[1] Fath al Qadir (2/123), Syarh ar Risalah li Ibn Abi Hasan (1/454), Syarh al Kabir (2/2), al Mughni (3/241), al Furu’ (3/242).


[2] Al Umm (2/117), Mughni al Muhtaj (1/460).

0 comments

Post a Comment