Ustadz, ana mohon penjelasan tentang puasa di 9 hari awal
dzulhijjah. Ada riwayat dari aisyah bahwa rasul tidak pernah puasa, sedangkan
dari istri rasul yg lain justru meriwayatkan bahwa rasul puasa di awal
dzulhijjah. Bagaimama menurut ustadz ?
Sebagaimana diceritakan dari
Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan,
ﻛَﺎﻥَ
ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻳَﺼُﻮﻡُ ﺗِﺴْﻊَ ﺫِﻯ ﺍﻟْﺤِﺠَّﺔِ ﻭَﻳَﻮْﻡَ
ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻭَﺛَﻼَﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺷَﻬْﺮٍ ﺃَﻭَّﻝَ ﺍﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻣِﻦَ
ﺍﻟﺸَّﻬْﺮِ ﻭَﺍﻟْﺨَﻤِﻴﺲَ .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10
Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud)
Sedangkan sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,
ﻣَﺎ
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ ﻓِﻰ ﺍﻟْﻌَﺸْﺮِ ﻗَﻂُّ
“ Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali. ” (HR.
Muslim)
Jawaban
Umumnya para ulama
berpendapat bahwa berpuasa pada 10 hari
diawal bulan dzulhijjah hukumnya adalah disunnahkan.[1] Berdasarkan hadits riwayat
Hunaidah bin Khalid diatas dan beberapa riwayat-riwayat lainnya.
An-Nawawi berkata dalam
Syarh Muslim (3/251),"Tidak dimakruhkan berpuasa pada sembilan hari
ini, bahkan ia sangat disunnahkan, terutama hari kesembilannya, yakni hari
Arafah."
Al-Mardawi berkata dalam al-Inshaf
(3/345),"Disunnahkan berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah tanpa ada perbedaan dan yang paling utama adalah hari kesembilan,
yakni hari Arafah, kemudian hari kedelapan, yakni hari Tarwiyah. Inilah madzhab
kami dan pendapat para sahabat kami."
Ibnu Hazm berkata dalam al-Muhalla (7/19),"Kami menyunnahkan berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sebelum hari korban (tanggal 10) berdasarkan hadits yang kami riwayatkan (ia lalu meriwayatkan hadits Ibnu Abbas dengan sanadnya).
Lalu bagaimana penjelasan
hadits riwayat dari ‘Aisyah yang berbunyi : “Aku tidak pernah melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama
sekali.” (HR. Muslim ).
Ada beberapa penjelasan para ulama tentang hadits
tersebut, diantaranya :
1. Khawatir akan diwajibkan atas umatnya.
Selama masa
kenabian, syariat bisa berubah setiap saat. Yang wajib bisa menjadi sunnah,
sebagaimana yang sunnah juga bisa menjadi wajib. Dan diantara bentuk kasih sayang
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam kepada umat ialah, beliau sangat takut
bila ada perkara sunnah menjadi wajib, sehingga akan memberatkan umatnya.
Beliau khawatir bila merutinkan puasa awal Dzulhijjah akan dijadikan kewajiban
dalam syariat Islam.
Penjelasan
diatas sebagaimana yang dipegang oleh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah.[2]
2. Menguatkan hadits yang menetapkan dari yang menafikan
Sebagian ulama
lainnya diantaranya imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa riwayat yang menetapkan
kesunnahan berpuasa di awal bulan Dzulhijjah adalah lebih kuat dari hadits yang
menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasslam tidak pernah berpuasa.
Karena apa yang
tidak diketahui oleh Aisyah radhiyallahu’anha tidak menandakan bahwa syariat
itu tidak ada. Boleh jadi Rasulullah mengerjakan sesuatu yang tidak diketahui
Aisyah namun diketahui oleh umul Mukminin yang lain. Seperti dalam kasus shalat
Dhuha, dimana Aisyah mengatakan bahwa beliau shalallahu’alaihi wassalam tidak
pernah mengerjakan shalat dhuha.[3]
3. Hadits Aisyah diatas tidak menafikan sama sekali
Sebagian
ulama berpendapat bahwa seumur hidupnya Rasulullah memang tidak sempat berpuasa
penuh selama 9 hari pertama bulan Dzulhijjah karena adanya udzur-udzur
tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena sifat kesunnahannnya yang tidak
terlalu kuat.
Al
imam Nawawi menjelaskan : ""Ini adalah hadits yang perlu
ditakwilkan bahwa puasa sepuluh hari tidak dimakruhkan, bahkan sangat
disunnahkan, utamanya tanggal sembilan, yakni hari Arafah. Maka hadits yang
berbunyi, "Rasulullah tidak melakukan puasa sepuluh hari."
Adalah tidak melakukannya karena ada halangan, seperti sakit, atau dalam
perjalanan, atau lainnya.”[4]
Penutup
Permasalahan
ini kembali mengajarkan kepada kita bahwasanya sebuah hadits untuk bisa disimpulkan
kandungan hukumnya itu tidak hanya semata-mata shahih atau tidaknya. Ada sebarek
kaidah yang harus digunakan agar dihasilkan istimbath hukum (kesimpulan hukum)
yang bisa dipertanggung jawabkan. Wajar ulama
mengingatkan kita :
الحديث مضلة إلا للفقهاء
“Al-Hadits itu menyesatkan, kecuali bagi fuqaha/ulama'.”
Karena
itu cara beragama tanpa mau merujuk kepada ulama-ulama yang kredibel dan kapabel
dalam masalah syariah adalah sangat berbahaya. Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment