Hukum bagi Penghina Agama


 

Ustadz mohon pencerahan  untuk menyikapi hal-hal yang bersifat penistaan agama  seperti sekarang terjadi. Apa yang seharusnya dilakukan ?

Jawab
Ulama sepakat bahwa perbuatan mencela, menghina dan merendahkan Islam seperti mencaci maki Allah atau Rasul-Nya atau melecehkan Al Qur’an adalah perbuatan dosa besar yang menyebabkan seseorang dihukumi murtad keluar dari Islam jika pelakunya muslim. Dan bila pelakunya orang kafir, maka ia jatuh ke dalam kafir harbi yang boleh diperangi.[1]

Dalil keharaman mencaci maki symbol agama dan kekafiran pelakunya.

Allah ta’ala berfirman,
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (QS. At-Taubah : 12)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?”
Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah : 65-66)
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda :
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ، قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ: أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ
 “Siapakah yang mau “membereskan” Ka’ab bin Asyraf? Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah bertanya, “Apakah Anda senang jika aku membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ya”…” (HR. Bukhari)
Umar bin Khattab berkata,
مَنْ سَبَّ الله أوْ سَبَّ أَحَدًا مِنَ اْلأَنْبِياَءِ فَاقْتُلُوْهُ
“Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya, maka bunuhlah dia.”[2]
Fatwa para ulama untuk penghina agama
Berkata  Imam al Qurtubi, “ “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini[3] atas wajibnya membunuh setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir.”[4]
Imam Ibnu Katsir berkata, “Berdasar ayat ditetapkan hukuman mati atas setiap orang yang mencaci maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau mencerca agama Islam atau menyebutkan Islam dengan nada melecehkan. Oleh karena itu Allah kemudian berfirman maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti, maksudnya mereka kembali dari kekafiran, penentangan dan kesesatan mereka.”[5]

Syaikh al Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika orang yang mencaci maki Islam tersebut adalah seorang muslim maka ia wajib dihukum bunuh berdasar ijma’ (kesepakatan ulama) karena ia telah menjadi orang kafir murtad dan ia lebih buruk dari orang kafir asli.”[6]

Beliau juga berkata, “Mengolok-olok Allah atau ayat-ayat-Nya atau rasul-Nya adalah perbuatan kekafiran.”[7]
Hukum mengolok agama dengan tidak sengaja
            Mayoritas ulama menetapkan bahwa mencaci maki Allah, Rasul, al Qur’an dan semisalnya dihukumi kafir meskipun dilakukan dengan tujuan bercanda atau bermain-main.
Berkata Ibnul Jauzi: “Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama.”[8]
Imam An Nawawi berkata,  “Seandainya ia mengatakan dalam keadaan ia minum khamar atau melakukan zina  dengan melecehkan asma Allah, maka hukumnya kafir.”[9]
Vonis yang dijatuhkan
Jika pelakunya muslim maka ulama mazhab sepakat bahwa hukum yang dijatuhkan atasnya adalah hukuman mati. Ulama berbeda pendapat jika pelakunya orang kafir Dzimmi (kafir yang hidup dibawah naungan muslimin), menurut jumhur tetap diberlakukan hukuman mati, sedangkan Abu Hanifah tidak dijatuhi hukum dibunuh.
Sedangkan bila yang yang mekakukan negara atau kafir mu’ahad ( yang terikat perjanjian perdamaian) maka membatalkan perjanjian dengan muslimin.[10]

Apakah diterima Taubat pencaci maki agama ?
Pencaci maki agama menurut jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah masih bisa diterima taubatnya jika ia seorang muslim. Sedangkan menurut mazhab Hanbali taubatnya tidak diterima dan langsung ditegakkan hukum had (bunuh) atasnya.[11]

Sikap muslimin atas para penghina agama
Wajib hukumnya atas setiap muslim untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Seorang muslim tidak boleh mendiamkan kemunkaran yang terjadi. Dan kemunkaran apalagi yang lebih besar dari pada mencela Islam ?
Sebagaimana kewajiban ini telah ditegaskan dalam sabda Nabi shalallahu’alihi wassalam : ‘Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)

Dalam sejarah, muslimin pernah melakukan demonstrasi besar dalam memerangi maksiat utamanya para penghina agama, sebagaimana yang direkam oleh Ibnu Jauzi dalam kitab Al Muntazham fii Tarikh Al Muluk wa Al Umam (16/1390)

Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqihiyyah al Kuwaitiyyah (13/231).
[2] Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 104, As Saif al Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 201.
[3] Yakni ayat 12 dari surah at Taubah diatas.
[4] Al Jami’ li Ahkamil Qur’an (8/84)
[5] Tafsir al Qur’an al Adzhim (4/116)
[6] As Saiful mashlul ‘ala Syatim Ar Rasul, hlm. 546.
[7] Al Majmu’ al Fatawa (7/272).
[8] Zaadul Masiir (3/465).
[9] Raudhatuth Thalibin (10/67).
[10] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (14/56).
[11] Ibnu Abidin (3/290), Hasyiah Dasuqi (4/312), Mughni al Muhtaj (4/135), Kasyful Qina (6/177).

0 comments

Post a Comment