Shalat Jum'at in The Street



Ustadz ramai dibicarakan terkait rencana demo tanggal 2 Desember nanti. Yakni tentang shalat Jum’at yang rencana diadakan dilapangan. Ada Fatwa seorang kiyai kalau katanya shalat Jum’at yang tidak dilakukan di masjid tidak sah dan termasuk bid’ah terbesar. Mohon jawabannya, karena saya rencana ikut aksi tersebut.
Jawaban
Saya akan menjawab sesuai dengan metode yang selama ini kami gunakan, merujuk kepada fatwa para ulama-ulama mazhab. Dan jawaban saya tidak ada kaitannya dan jangan dikait-kaitkan dengan aksi demo tersebut. Saya hanya sekedar menyampaikan ilmu secara amanah ilmiah, selebihnya hak pembaca untuk menerima atau menolak, toh nanti anda sendiri yang mempertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.
Hukum shalat jum’at yang dilaksanakan diselain masjid.
Tentang hukum shalat jum’at yang dikerjakan di tempat selain masjid, semisal di kantor, gedung olahraga, termasuk jalanan, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama memang mensyaratkan shalat Jum’at harus dilaksanakan di masjid, namun  mayoritas ulama berpendapat hukumnya boleh saja.[1]

1.      Yang berpendapat tidak boleh
Kalangan Mazhab Malikiyyah berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak sah kecuali dilaksanakan di masjid. Dalil yang digunakan adalah amalan Rasulullah yang tidak pernah melaksanakan shalat Jum’at kecuali di masjid.
Fatwa kalangan Malikiyyah tentang perkara ini diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Syaikh Ahmad bin Ghanim al Azhari :
ووقوع الصلاة والخطبة في الجامع المبني على وجه العادة وأن يكون متحدا وأن يكون متصلا بالبلد أو في حكم المتصل حين بنائه
Shalat jum’at dan pembacaan khutbah harus diadakan di masjid Jami’ yang bentuknya berupa bangunan sebagaimana pada umumnya, bangunan itu menyatu dan menyambung dengan suatu daerah tempat tinggal.”[2]

2.      Yang berpendapat boleh
Adapun jumhur ulama mazhab dari kalangan ulama al Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat shalat Jum’at boleh saja dikerjakan di tempat selain masjid. Berikut fatwa –fatwa para ulama yang mendukung pendapat ini.

A.    Al Ahnaf
Mazhab Hanafiyyah menetapkan bahwa shalat Jum’at boleh dikerjakan dimanapun  syaratnya hanya izin penguasa.
فإن فتح باب قصره وأذن للناس بالدخول: جاز ، ويكره ; لأنه لم يقض حق المسجد الجامع
Ketika seorang penguasa membuka pintu istananya dan mengijinkan masyarakat untuk masuk (untuk shalat jum’at disitu), maka hukumnya boleh tetapi makruh. Karena si pemimpin itu tidak menunaikan hak masjid Jami’.[3]
 
B.     Syafi’iyyah
Berkata al Muhyiddin al Imam Nawawi rahimahullah :
قال أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة معدودة من خطتها
Sahabat-sahabat kami (syafi’iyya)h berkata: (shalat jum’at) tidak harus dilaksanakan di masjid, tetapi boleh dilapangan, asalkan masih di tengah-tengah kampung atau wilayah tertentu.”[4]
Dalam literatur fiqih syafi’iyyah lainnya disebutkan boleh shalt Jum’at dikerjakan  bukan di masjid namun harus berada di dalam sebuah bangunan, sedangkan lainnya mengatakan cukup ditempat yang dikelilingi bangunan.[5]

C.    Hanabilah
Pendapat kalangan Mazhab Hanbali dalam masalah ini terwakili oleh fatwa al imam Ibnu Qudamah :

وَلَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْجُمُعَةِ إقَامَتُهَا فِي الْبُنْيَانِ ، وَيَجُوزُ إقَامَتُهَا فِيمَا قَارَبَهُ مِنْ الصَّحْرَاءِ .وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

“Keabsahan shalat Jumat tidak disyaratkan harus dilakukan di antara bangunan. Dan boleh juga dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah juga.”[6]
Dalil mayoritas ulama dalam membolehkannya adalah keumuman hadits :
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
Semua tempat di muka adalah masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Kesimpulan
Walhasil, ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah boleh tidaknya shalat Jum’at dikerjakan bukan di masjid. Sebab perbedaan pendapat karena memang tidak ada nas Qur’an dan al Hadits yang jelas mengatur tempat pelaksanaan shalat Jum’at. Dan adab dalam masalah khilaf, sangat tidak bijaksana bila kita mengecilkan dan melecehkan saudara kita yang melaksanakan shalat Jum’at karena sebuah kedaruratan. Apalagi menuding dengan kata bid’ah dan semisalnya. Bukankah justru mayoritas ulama membolehkan ?

Praktek shalat Jum’at ditanah lapang bukanlah hal baru dalam literatul sejarah Islam. Bahkan di masa Sultan Muhammad al Fatih pernah dilaksanakan shalat Jum’at dijalanan yang diikuti oleh lautan manusia sepanjang 4 Km.

Lagian kalau mau konsekuen mengikuti pendapat mazhab Maliki, rasanya  akan sangat banyak yang perlu direvisi, karena hampir semua shalat Jum’at dinegeri kita hari ini tidak bersesuaian dengan paham mazhab Maliki, yang menetapkan : (1) Khatib harus merangkap menjadi imam shalat Jum’at (2) Khutbah Jum’at wajib Bahasa Arab. Iya Bahasa Arab, Arab fushah, bukan Orab pati nggenah…

Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (27/196).
[2] Al Fawakih ad-Dawani (1/ 260).
[3] Tabyin al Haqaiq Syarh Kanul Daqaiq (1/221).
[4] Majmu’ asy Syarhul Mauhadzab (4/501).
[5] Mughni al Muhtaj (1/543), Minhaj at Thalibin hal. 40.
[6] Al Mughni li Ibn Qudamah (4/170).

0 comments

Post a Comment