Ulama
berbeda pendapat tentang hukum merayakan maulid Nabi, secara umum terbagi
menjadi dua kelompok pendapat : (1) Membolehkan (2) Melarang.
Kelompok
yang membolehkan adalah pendapat jumhur ulama dan mayoritas lembaga fatwa dunia
hingga hari ini, sedangkan yang melarang adalah pendapat sebagian ulama.
Idealnya,
pembahasan tentang hukum maulid nabi memuat masing –masing pendapat baik yang
pro maupun yang kontra. Karena dalam
masalah fiqih, sudah menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk melihat
permasalahan khilafiyah dengan berimbang. Sebagaimana hal ini diingatkan oleh Imam
Qatadah rahimahullah "Barang siapa
yang tidak mengetahui ikhtilaf fiqhiyah maka dia tidak mencium baunya
ilmu"
Karena
itu bahasan tentang maulid ini terdiri dari :
1. Fatwa para imam
dan ulama mazhab yang membolehkan.
2. Fatwa ulama mazhab
yang tidak membolehkan.
3. Dalil kalangan
yang membolehkan.
4. Dalil kalangan
yang tidak membolehkan.
5. Tarjih pendapat
menurut para ulama.
6. Kesimpulan.
1. Fatwa ulama
yang membolehkan
Al Imam Hasan Al-Bashri : “Seandainya aku memiliki emas seumpama
gunung Uhud, niscaya aku akan
menafkahkannya (semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul.”[1]
Al Imam Ma’aruf Al-Kharkhiy : “Barangsiapa menyajikan
makanan untuk pembacaan
Maulid ar Rasul, mengumpulkan saudara-saudaranya,
menghidupkan pelita dan memakai pakaian yang baru
dan wangi-wangian dan
menjadikannya untuk mengagungkan kelahirannya, maka Allah akan membangkitkan
pada hari qiyamat beserta golongan
yang utama dari Nabi-Nabi , dan ditempatkan pada tempat
derajat yang tinggi.”[2]
Al Imam Asy-Syafi’i : “Barangsiapa yang
mengumpulkan orang untuk
melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena
kecintaan secara berjama’ah dengan menyediakan
makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari
kiamat beserta para ahli
kebenaran, syuhada dan para shalihin.”[3]
Al-Imam As Sirriy As Saqathi : “Barangsiapa yang menyediakan tempat untuk
dibacakan Maulid Nabi, maka sungguh dia menghendaki “Raudhah
(taman)” dari
taman-taman surga, karena sesungguhnya tiada dia menghendaki tempat itu
melainkan karena cintanya kepada Rasul.”[4]
Al
Imam Junaid al Baghdadi : “Barangsiapa yang
menghadiri Maulid ar-Rasul dan mengagungkannya, maka
dia beruntung dengan
keimanannya.”[5]
Al
Imam Ibnu Jauzi : “Diantara keistimewaan
Maulid Nabi adalah keadaan aman (pencegah mushibah) pada
tahun itu, kabar gembira
serta segala kebutuhan dan keinginan terpenuhi.”[6]
Al Imam Abu Syamah : “Sebagus-bagusnya apa yang diada-adakan
pada masa sekarang ini
yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid)
Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa
kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan
hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi.”[7]
Al Imam Syamsuddin al Jazari : “Jika Abu Lahab yang kafir yang diturunkan
ayat al-Qur’an untuk mencelanya
masih diberi ganjaran kebaikan didalam neraka karena
bergembira pada malam
Maulid Nabi, lantas bagaimana dengan seorang
Muslim yang mentauhidkan
Allah, yang merupakan umat dari Nabi yang senang dengan kelahiran Beliau dan
menafkahkan apa yang dia
mampu demi kecintaannya kepada Nabi.”[8]
Al Imam Yafi'i al Yamani : “Barangsiapa yang mengumpulkan
saudara-saudaranya untuk
Maulid Nabi, menyajikan makanan, beramal yang baik dan
menjadikannya untuk
pembacaan Maulid ar Rasul, maka Allah akan
membangkitkan pada hari
Kiamat bersama para Shadiqin, Syuhada, Shalihin
dan menempatkannya pada
tempat yang tinggi.”[9]
Al-Imam Ad-Damasyqi : “Jika orang kafir yang telah datang
(tertera) celaan
baginya : “dan celakalah kedua tangannya didalam neraka Jahannam
kekal didalamnya” ;
“Telah tiba pada (setiap) hari senin untuk
selamanya diringankan
(siksa) darinya karena bergembira atas (kelahiran)
Ahmad ; “lantas
bagaimanakah dugaan kita terhadap seorang hamba yang
sepanjang usia, karena
(kelahiran) Ahmad, lantas ia selalu bergembira
dan tauhid menyertai
kematiannya.”[10]
Al imam
al Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani : “Asal amal Maulid adalah bid’ah, tidak pernah ada
perkataan dari salafush shaleh dari
kurun ke tiga,
dan akan tetapi bersamanya mencakup (mengandung) kebaikan-kebaikan dan
keburukan-keburukan. Maka barangsiapa yang mengambil
kebaikan-kebaikannya pada
amal Maulid dan menjauhi keburukannya maka
itulah bid’ah hasanah
dan jika tidak (menjauhi keburukannya)
maka tidak (bukan bid’ah Hasanah).”[11]
Al Imam As-Sakhawi : “Tidak pernah dikatakan (perbincangkan)
dari salah seorang ulama Salafush
Shaleh pada kurun ke tiga yang mulya dan sungguh itu baru ada setelahnya.
Kemudian umat Islam diseluruh penjuru daerah dan kota-kota
besar senantiasa
memperingati Maulid Nabi di bulan kelahiran Beliu. Mereka
mengadakan jamuan yang
luar biasa dan diisi dengan perkara-perkara yang
menggembirakan serta
mulya, dan bershaqadah pada malam harinya dengan
berbagai macam shadaqah,
menampakkan kegembiraan, bertambahnya kebaikan
bahkan diramaikan dengan
pembacaan (buku-buku) Maulid Nabi yang mulya,
dan menjadi teranglah
(jelaslah) keberkahan dan keutamaan (Maulid Nabi)
secara merata dan semua
itu telah teruji.”[12]
Al
Imam al Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi : “Oleh karena itu, boleh bagi kita untuk menanamkan
(menerangkan) rasa syukur kita dengan kelahirannya
(Rasulullah) dengan mengumpulkan (kaum Muslimin),
menyajikan makanan dan
semacamnya dari (sebagai) perwujudan untuk
mendekatkan diri dan
menunjukkan kegembiraan (karena kelahiran
beliau).”[13]
Al Imam Ibnu Al-Hajj Al-Maliki : “Menjadi sebuah
kewajiban bagi kita untuk
memperbanyak kesyukuran kepada Allah setiap
hari Senin bulan Rabi’ul
Awwal karena Dia (Allah) telah mengaruniakan
kepada kita nikmat yang sangat
besar dengan lahirnya orang yang terpilih.”[14]
Al Imam Al-Hafidz
Al-Iraqiy : “Sungguh
melakukan perayaan dan memberikan makan disunnahkan
pada setiap waktu,
apalagi jika padanya disertai dengan kesenangan dan
kegembiraan dengan
kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam
pada bulan yang mulia
ini, dan tidaklah setiap bid’ah itu dibenci.”[15]
Al Imam Ibnu ‘Abidin : “Ketahuilah olehmu
bahwa sebagian dari
perkara baru yang terpuji adalah amal
Maulid Nabi Asy-Syarif pada bulan yang mana Nabi di lahirkan didalamnya.”[16]
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah : “Dan amal Maulid Nabi serta
berkumpulnya manusia untuk memperingati yang
demikian adalah bid’ah
hasanah.”[17]
Al Imam al Alusi : “Maka seharusnya bagi sebagian dari
kita untuk merayakannya dan bergembira
dengan rahmat ini (kelahiran Nabi).”[18]
Asy Syekh Mutawalla
Asy-Sya’rawi : “Maulid yang mulia
ini, maka sesungguhnya itu hak bagi kita untuk menampakkan
kegembiraan.”[19]
Bersambung
…
[3] Madarijus
Su’ud hal. 16.
[4] I’anah
Thalibin (3/415).
[5] I’anah
Thalibin (3/415).
[6] As
Sirah al Halabiyah (1/83)
[7] I’anah
Thalibin (3/415).
[8] Anwarul
Muhammadiyah hal.20, Husnul Maqshid fi Amal Maulid hal.11.
[9] As
Sirah al Halabiyah (1/83).
[10] I’anah Thalibin
(3/415).
[11] Al
Hawi lil Fatawa (1/229).
[12] As
Sirah al Halabiyah (1/83)
[13] I’anah
Thalibin (3/415).
[14] I’anah
Thalibin (3/416).
[15] Durr
as Saniyah hal.190.
[16] Syarah
‘Alaa Maulid al Imam Ibnu Hajar hal. 25.
[17] Mawahid
Ladunniyah (1/148).
[18] Tafsir
Al-Alusiy hal 31.
[19] Kiab
‘Alaa Maidah al Fikr al Islami hal. 25.
0 comments
Post a Comment