Udzur Bagi Shalat Berjama’ah




Ustadz, saya mau bertanya seputar shalat berjamaah dimasjid yg hukumnya adalah sunnah muakkadah. Apakah ada hal-hala yang menjadi halangan dapat tidaknya menghadiri shalat berjamaah dimasjid ?

Jawaban
Sebelum membahas pertanyaan diatas, terlebih dahulu silahkan disimak tentang hukum shalat berjama’ah berikut ini :

Kesimpulan bahasan, bahwa hukum shalat berjama’ah menurut para ulama memang sangat ditekankan, namun tidak sampai derajat wajib.
Lalu perkara apa saja yang menjadikan syariat shalat berjama’ah menjadi tidak ditekankan lagi, alias hukumnya menjadi ringan ? 

Udzur shalat berjama’ah
Imam Nawawi rahimahullah menukil menyatakan bahwa shalat jama’ah gugur karena ada sebab-sebab tertentu baik shalat jama’ah itu dianggap sunnah, fardhu kifayah atau hukumnya wajib.
Apabila shalat jama’ah tersebut dianggap sunnah maka menjadi makruh ketika kita meninggalkannya. Namun apabila kita meninggalkannya karena ada uzur maka hilang kemakruhannya, bahkan tetap mendapatkan pahala shalat berjama’ah.[1]

1.      Hujan atau cuaca dingin
Menurut jumhur ulama hujan menjadi udzur dari shalat berjama’ah, sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa hujan yang menjadi udzur hanya bila disertai hal-hal yang memberatkan seperti sangat deras, atau jalan berlumpur, angin kencang, suhu yang dingin dan semisalnya.[2]
Dalilnya adalah “Bahwa Ibnu Umar mengumandangkan adzan shalat pada malam yang dingin dan angin kencang kemudian berkata, “Shalatlah dalam perjalanan kalian.” ia berkata “bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh muadzin untuk adzan pada malam yang dingin dan hujan kemudian bersabda, “Shalatlah kalian pada tempat masing-masing.” (HR. Ahmad)


2.      Sakit.
Sakit yang menyebabkan seseorang berat untuk berjalan menuju masjid atau aktivitas lainnya maka ia termasuk udzur bagi shalat berjama’ah.[3]  Dalilnya adalah firman Allah: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. 22:78)        
Dan juga dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam jatuh sakit beliau meninggalkan shalat jama’ah selama beberapa hari dan memerintahkan Abu Bakar mengimami shalat jama’ah.
3.      Kondisi tidak aman
Jika seseorang dalam keadaan mengkhawatirkan keselamatannya atau hartanya, maka ia tidak mengapa meninggalkan shalat berjama’ah.[4]
Rasulullah ditanya tentang udzur shalat berjama’ah, maka beliau menjawab, : “Rasa takut (situasi tidak aman) dan sakit.” (HR. Baihaqi)

4.      Al-Akhbatsain
            Al-Akhbatsain adalah buang air kecil dan buang air besar. Hal ini menjadi uzdur pula dari shalat berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits :
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
“Tidak boleh mengerjakan shalat saat makanan telah dihidangkan dan tidak pula saat menahan al-akhbatsain.” (HR. Muslim)
5.      Saat lapar dan makanan telah terhidang.
Rasulullah bersabda,  
إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ
Apabila makan malam telah dihidangkan sedangkan shalat sudah ditegakkan (iqamat), maka dahulukan makan malam.  (HR. Tirmidzi).
6.      Safar
Perjalanan termasuk perkara yang membolehkan seseorang untuk meninggalkan shalat berjama’ah bahkan menjama’ dan mengqasharnya.[5]

7.      Memakan sesuatu yang berbau menyengat
                  Makan sesuatu yang berbau seperti bawang merah atau bawang putih dan baunya susah dihilangkan termasuk udzur yang membolehkan meninggalkan shalat berjama’ah.[6]
 مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ: الثُّومِ – وَقَالَ مَرَّةً: مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ – فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ.
“Siapa yang makan tumbuhan ini yakni bawang putih – pada kesempatan yang lain mengatakan siapa yang makan bawang merah, bawang putih dan bawang bakung – maka janganlah mendekati masjid kami. Seseungguhnya para malaikat merasa tidak nyaman sama seperti apa yang dirasakan oleh manusia.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian, Wallahu a’lam.



[1] Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (4/203).
[2] Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (4/204).
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (27/187).
[4] Al Mughni (1/451).
[5] Al Mughni (2/453).
[6] Al Mughni al Muhtaj (1/236).

0 comments

Post a Comment