KETIKA SEDANG SAFAR ; MANA YANG UTAMA, BERBUKA ATAU TETAP BERPUASA



Ustadz kami sedang melakukan perjalanan yang telah mencapai jarak bolehnya jama’ dan qashar shalat. Nah sebagian kami mau berbuka puasa karena menganggap bahwa itu yang lebih afdhal daripada tetap berpuasa, benarkah ? Sedangkan saya berfikir tetap berpuasa sepertinya lebih baik karena perjalanan kami tidaklah melelahkan. Mohon penjelasan dari ustadz AST.
Jawaban
Ulama bersepakat tentang bolehnya seseorang berbuka puasa ketika sedang melakukan safar dan mengqadhanya di hari lain. Safar yang dimaksud disini adalah perjalanan sejauh yang sudah diperbolehkannya untuk meringkas shalat.[1] Berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka ia mengganti sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Jika pertanyaannya mana yang lebih afdhal (utama) antara tetap berpuasa atau berbuka ketika sedang safar, para ulama berbeda pendapat. Mari kita simak penjelasannya.

1.      Berbuka lebih afdhal
Menurut kalangan mazhab Hanabilah seseorang yang sedang safar afdhalnya dia berbuka dari puasanya.[2] Pendapat ini didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ.
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu beliau mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar.” (Mutaffaq ‘alaih)

Dalil pendapat ini selanjutnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ka’ab :
أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ. ثُمَّ رَكِبَ.
Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta  makanan, lantas beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini termasuk sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas beliau pun berangkat dengan kendaraannya.”(HR. Tirmidzi)

2.      Tetap berpuasa afdhal
Sedangkan mayoritas ulama, yakni dari mazhab al Hanafiyyah, Malikiyyah Syafi’iyyah dan sebagian kalangan mazhab al Hanabilah berpendapat berpuasa tetaplah lebih utama.[3] Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala :


وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ


“Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 184)

Dan juga sebuah hadits dari Abi Said al Khudri, ”Dulu kami beperang bersama Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka. …Mereka memandang bahwa siapa yang kuat untuk tetap berpuasa, maka lebih baik.” (HR Muslim) 

            Kelompok ulama yang memegang pendapat ini berpendapat bahwa dalil-dalil yang digunakan oleh kalangan yang menyatakan berbuka lebih afdhal daripada berpuasa adalah ketika kondisi berpuasa terasa berat. Dimana orang yang berpuasa merasakan kepayahan, namun jika tidak demikian keadaannya, maka berpuasa lebih afdhal.

Waktu boleh tidak berpuasa bagi musafir

Menurut jumhur ulama musafir boleh tidak berpuasa selama 4 hari, sedangkan menurut Hanafiyyah boleh sampai 15 hari.[4]

Demikian. Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (28/49).
[2] Al Mughni (3/158).
[3] Al Mausu’ah al fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (28/51), Dar al Mukhtar (2/117), Bada’I ash Shanai’ (2/96), Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (6/265), al Inshaf (3/287).
[4] Al Mausu’ah al fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (28/48).

0 comments

Post a Comment