DALIL MAZHAB SYAFI’I BATALNYA WUDHU MENYENTUH LAWAN JENIS



Ustadz AST Ana lahir dilingkungan Muhamadiyah yang kental, yang terkadang merasa bahwa amaliyah yang saya pegang itulah yang shahih. namun setelah ana banyak membaca tulisan antum, cakrawala berpikir ana jadi terbuka karena mendapatkan banyak pembanding dari pendapat yang selama ini saya anggap lemah. Terimakasih atas ilmu-ilmunya.

Izinkan bertanya : Ana sudah membaca tulisan antum tentang hukum bersentuhan kulit dengan lawan jenis apakah membatalkan wudhu atau tidak.  Dimana mayoritas ulama mazhab berpendapat tidak batal sedangkan kalangan syafi’iyyah berpendapat batal. Ana ingin tahu lebih jauh pendalilan mazhab Syafi’i mengenai permasahan ini, karena setiap browsing di internet, yang ana dapati adalah yang membela pendapat mayoritas. Jazakallah khoiran.

Jawaban 

Tulisan ini menjadi pendalaman atas bahasan kami tentang permasalahan pembatal wudhu yang khilaf ditengah-tengah ulama yakni bersentuhan kulit lawan jenis (yang halal dinikahi). Karena penanya menanyakan pendalilan mazhab syafi’i, maka kami hanya akan membahas dalil-dalil kalangan Syafi’iyyah tentang permasalahan ini.

Sebagaiamana ma’fum diketahui, bahwa ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa bersentuhannya kulit lawan jenis yang halal dinikahi tanpa lapis adalah perkara yang membatalkan wudhu,[1] berikut pendalilan mereka :

1.      Tafsir kata menyentuh dalam ayat surah an Nisa ayat 43 dan al Maidah ayat 6.

يَـٰٓأَيُّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْ‌ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ۬ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآٮِٕطِ أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً۬ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدً۬ا طَيِّبً۬ا.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari  buang air (al-ghaith) atau kamu telah sentuh-menyentuh perempuan (al-mulamasah), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci.”

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu sudah mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh  perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu..” (Q.S. al-Maidah : 6)

Kata menyentuh di dua ayat diatas menurut kalangan ini adalah menyentuh dalam makna harfiah bukan kiasan (bersetubuh). Hal ini kata  اللمس  makna dasarnya adalah bersentuhan dengan telapak tangan / kulit dan ini sesuai dengan qira’ah : Au laa mastumun-nisaa‘a.[2]Dikatakan bahwa ini adalah penafsiran yang dipilih oleh para shahabat nabi diantaranya adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar.[3]

Penafsiran ini sesuai dengan dzahir firman Allah dan perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaiahi wassalam dibanyak ayat dan hadits diantaranya :

وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ لَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَٰذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
 “Dan seandainya Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat menyentuhnya dengan tangannya, tentulah orang-orang yang ingkar itu akan berkata juga bahwa itu hanyalah sihir yang nyata.”(QS. al An’am : 7)
.عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ
 Dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam melarang jual beli dengan cara “mulamasah” dan “munabadzah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

            Kata menyentuh diatas tidak dapat diartkan kecuali dengan makna dzahirnya, yakni menyentuh dengan tangan. 

2. Adanya hadits dan riwayat yang menguatkan 

1) Abdullah bin Umar, beliau berkata: “Ciuman laki-laki atas istrinya dan menyentuh ia dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”, maka barang siapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya maka wajib ia berwudhu.”(HR. Imam Malik)

2) “Dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi shaallahu’alaihi wassalam : “Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani)

3) Dari asy-Sya’bi bahwa Nabi shaallahu’alaihi wassalam ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak berjabat dengan wanita.” (HR Abu Daud)

3.      Sanggahan terhadap pendapat yang berbeda
Kalangan Syafi’iyyah juga menjawab dalil-dalil kalangan yang berpendapat bahwa bersentuhan kulit lawan jenis tidak membatalkan wudhu. Mari kita simak penjelasannnya :
1. Dalil pertama
Dari Ummul Mukminin Asiyah diriwayatkan bahwa Nabi mencium sebahgaian istrinya, kemudian beliau keluar pergi shalat dan beliau tidak berwudhu lebih dahulu.” (HR. Imam Ahmad)
Sanggahan :
Hadits ini dhaif, imam Ahmad bin Hanbal yang merawikan hadist ini dan Abu Bakar an-Naisaburi berkata bahwa dalam satu rawinya Habib bin Abi Tsabit adalah orang yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits. Abu Daud berkata : Diriwayatkan oleh Sofyan Tsuri, bahwa Habib bin Abi Tsabit hanya merawikan hadits dari Urwah al-Muzni bukan Urwah bin Zuber.[4]

2.      Dalil kedua
“Dari Ummul Mukminin Asiyah. beliau berkata bahwa Nabi shalallahu’alaihi wassalam mencium (istrinya) sesudah berwudhu’. Kemudian beliau tidak mengulang wudhu’nya lagi.” (HR. Abu Rauq)
Sanggahan : Hadits ini mursal karena dsiebutkan bahwa Ibrahim at Tamimi menerima hadits ini dari Aisyah padahal ia adalah tabi’in.[5]

3.      Dalil ketiga
“Dari Aisyah beliau berkata: Adalah aku tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku kearah kiblat. Apabila beliau sujud ia menekan kakiku (dengan tangannya), maka saya tarik kakiku, dan apabila beliau telah berdiri saya luruskan kembali”. (HR. Bukhari)
Sanggahan : Hadits ini masih mengandung Ihtimal (kemungkinan), karena menekannya Rasulullah shalallahu’alahi wassalam ke kami Aisyah bisa saja bagian kaki Asiyah yang tertutupi kain.[6] Sedangkan dalam kaidah ushul fiqh dikatakan :
الدليل اذا طرقة الإحتمال سقط به الإستدلال
 “Dalil-dalil yang mengandung “ihtimal” (kemungkinan) maka gugurlah (tidak boleh digunakan) menjadi dalil.”[7]

4.      Dalil keempat
Dari Aisyah beliau berkata: Saya kehilangan Rasulullah ketika tidur, maka saya berdiri mencari beliau. Maka jatuhlah tangan saya pada jantung tumit beliau. Ketika beliau selesai shalat lantar berkata; Apakah telah datang kepadamu syaithanmu ?” (HR. Muslim)

Sanggahan : Hadits ini juga menggandung Ihtimal (kemungkinan lain).[8] Berkata al Imam Nawawi rahimahullah : “Sentuhan ini masih memungkinkan adanya kain yang melapisi. Karena itu, hadis diatas banyak ditolak ulama dan tidak bisa dijadikan dalil tentang tidak membatalkan wudhu.”[9]

Penutup
Demikian tulisan ini kami susun, semoga bermanfaat dengan menjadi bahan penambah wawasan bukan ajang perdebatan. Insyallah dikesempatan lainnya kita bahas pendalilan dari pendapat ulama yang bersebrangan tentang permasalahan ini. Wallahu a’lam.


[1] Al Umm (1/54), al Majmu Syarh al Muhadzdzab (2/32), Raudhah at Thalibin (1/74), Asna al Mathalib (1/56).
[2] Kamus Al-Muhith (2/ 249), Fiqh al Islami (1/431).
[3] Tafsir ath-Thabari (1/502), Subulus-Salam (1/260).
[4] Mizanul I’tidal (2/55).
[5] Mizanul I’tidal (2/55).
[6] Syarah Muslim (4/229-230)
[7] Ghayah al Wushul hal. 74.
[8] Syarah Muslim (4/229)
[9] Majmu’ Asyarhul Muhadzdzab (2/22).

0 comments

Post a Comment