HARAMKAH MEMBERI SUSU FORMULA KEPADA BAYI ?


Ustadz saya ingin bertanya tentang gambar di bawah ini, apakah benar kalau kita memberikan susu formula kepada anak kita (tidak memberi Asi) tanpa udzur itu haram ? Mohon jawabannya.

Jawaban

 Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Para ulama sepakat berpendapat bahwa menyusui bayi hukumnya wajib selama ia masih dalam usia yang membutuhkannya.[1] Hal ini karena susu bagi bayi yang baru lahir adalah kebutuhannya, bayi belum mampu mengkonsumsi makanan selainnya, yang mana apabila tidak diberikan tentu akan akan menyebabkan kematian. 

Namun para ulama berbeda pendapat, kepada siapakah kewajiban itu dibebankan ? Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban menysusui bayi itu ada pada si ayah, sedangkan sebagian ulama lainnya mengatakan itu kewajiban bagi ibu. 

1.     Kewajiban Ayah.

Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa memberikan hak susu bagi bayi adalah kewajiban sang ayah.[2] Artinya dia harus mengupayakan makanan bayinya tersebut baik dengan meminta istrinya atau mendapatkan dari jalan lain, semisal ibu susuan. Dalill pendapat ini adalah perintah Allah dalam surah at Thalaq itu ditujukan kepada para lelaki atau suami bukan kaum wanita.

Dalam pandangan dua mazhab ini, seorang ibu tidak boleh dipaksa untuk menyusukan anaknya. Tentu dengan catatan bahwa menyusuinya hanya bersifat pilihan. Jika ternyata si anak tidak mau menyusu dari ibu susuan atau susu lain,atau si bapak tidak punya uang untuk membayar ibu sususan, maka wajib bagi si ibu untuk menyusui anak tersebut. 

Kalangan Syafi’iyyah menambahkan pendapatnya : Seorang ibu wajib memberikan al Liba’ (kolostrum), karena itu adalah makanan yang sangat dibutuhkan bayi sebagai daya tahan tubuhnya.[3] 

2.     Kewajiban ibu

Sedangkan kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa menyusui adalah kewajiban ibu.[4] Hal ini karena dalam ayat dikatakan : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya.” (QS. Al Baqarah :233)

Dan mazhab ini juga beralasan bahwa secara fitrah kemampuan menyusui telah Allah bekalkan kepada si ibu.

Perbedaan antara mazhab Hanafiyah dan Malikiyyah adalah : Kalangan Hanafiyyah menetapkan bahwa istri boleh minta upah atas penyusuan anaknya kepada suaminya (sama dengan Syafi’iyyah dan Hanabilah) sedangkan Malikiyah tidak.[5] 

Hadits ancaman untuk ibu yang tidak mau menyusui bayi

Memang ada sebuah hadits yang dzahirnya menunjukkan keharaman perilaku ibu yang enggan menyusui bayinya, yaitu :

ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِنِسَاءٍ تَنْهَشُ ثَدْيَهُنَّ الْحَيَّاتُ, قُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ: هَؤُلَاءِ اللَّاتِي يَمْنَعْنَ أَوْلَادَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ

“Kemudian Malaikat itu mengajakku melanjutkan perjalanan, tiba-tiba aku melihat beberapa wanita yang payudaranya dicabik-cabik ular yang ganas. Aku bertanya: ‘Kenapa mereka?’ Malaikat itu menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya.”[6]

Namun hadits diatas tidak bisa menjadi alat vonis untuk menghukumi haram bagi para ibu yang tidak mau menyusui anaknya. Karena ternyata mayoritas ulama berpendapat bahwa menyusui anak atau tidak itu masalah pilihan bagi seorang ibu. Al Buhuti rahimahullah berkata : 

ويلزم حرة إرضاع ولدها مع خوف تلفه بأن لم يقبل ثدي غيرها ونحوه ، حفظاً له عن الهلاك ، كما لو لم يوجد غيرها , ولها أجرة مثلها , فإن لم يخف تلفه لم تجبر ، لقوله تعالى : (وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى)

“Wajib bagi wanita merdeka untuk menyusui anaknya ketika dikhawatirkan anaknya terlantar karena tidak mau minum asi wanita lain atau susu lainnya. Dalam rangka menjaga anak ini dari kematian. Sebagaimana juga ketika tidak dijumpai wanita lain yang bersedia menyusuinya. Dan si istri berhak mendapatkan upah yang sewajarnya. Namun jika tidak dikhawatirkan si anak terlantar (karena masih mau minum susu lainnya, pen) maka si istri tidak boleh dipaksa. Berdasarkan firman Allah (yang artinya), ” jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya..”[7]

Hadits di atas harus dipahami dalam kondisi yang khusus, bukan untuk permasalahan yang sifatnya umum. Yakni semisal di mana seorang wanita tidak mau menyusukan bayinya dengan sengaja, padahal si bayi dalam keadaan sangat membutuhkan. Maka dia diancam dengan hadits tersebut. 

Memang benar memberikan ASI kepada bayi itu sangat dianjurkan dalam Islam, dan ini juga telah terbukti secara medis , bahwasanya ASI sangatlah menyehatkan bagi bayi. Namun membawa hadits ini ke dalam permasalahan menyusui secara umum, apalagi untuk mengancam dan mengharamkan pemberian susu formula, tentu cara pendalilan yang sangat gegabah. 

Kesimpulan

Dalam menyimpulkan sebuah hukum, tidak bisa dengan hanya melihat satu dua dalil saja. Tapi sebuah kasus harus dilihat secara komprehensif lewat semua dalil-dalil terkait. Jika tidak, akan menjatuhkan seseorang kepada main fatwa secara serampangan alias sembarangan. 

Jadi, memberikan hak makanan kepada bayi (susu) hukumnya wajib, tapi kewajiban menyusui tidak harus dari ibunya, bisa dari sumber yang lain. Semisal dari ibu susuan, susu formula dan lainnya. Meskipun ASI tentu lebih afdhal. Maka jelas mengharamkan memberi susu formula dengan menggunakan dalil hadits di atas adalah sebuah kesalahan. 

Wallahu a’lam.



[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (22/239).

[2] Nihayatul Muhtaj (7/222).

[3] Dalam I’anah at Thalibin (4/100) Al Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi menjelaskan :

 

وَهُوَ اللَّبَنُ أَوَّلَ الوِلاَدَةِ وَمُدَّتُهُ يَسِيْرَةٌ قِيْلَ يَقْدُرُ بِثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَقِيْلَ سَبْعَةٍ

“Kolostrum adalah susu yang keluar pertama-tama sesudah melahirkan, dan masa keluarnya sebentar, antara tiga dan tujuh hari.”

[4] Asnaul Mathalib (3/445).

[5] Hasyiah ad Dusuqi (2/525).

[6] Ibnu Khuzaimah (3/237) Ibnu Hibban (16/536), al Mustadrak al Hakim (2/282), Ath Thabrani (7/170) semuanya dari jalan Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu. Hadits ini dinyatakan shahih oleh AlHakim dan Adz Dzahabi.

[7] Syarh Muntaha al-Iradat (3/243)

0 comments

Post a Comment