Ustadz AST saya mendengar kalau minta ruqyah itu dicela dalam Islam dan
bisa menyebabkan syirik karena ada hadits yang menyebutkannya. Mohon
penjelasannya.
Jawaban
Kesalahan
dalam memahami maksud dari sebuah teks ayat atau hadits memang fatal, bisa
menyebabkan melencengnya kita dari pemahaman yang diinginkan oleh ayat atau
hadits tersebut. Termasuk dalam kasus
yang ditanyakan, hukum Ruqyah. Memang
ada segelintir oknum ustadz yang menolak ruqyah dengan dalil-dalil yang ia bawa
kemana-mana diantaranya :
إِنَّ
الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah (mantera), tamimah (jimat) dan tiwalah (pelet) adalah
kemusyrikan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفاً بِغَيْرِ حِسَابٍ” قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللّهِ؟ قَالَ: “هُمُ الّذِينَ لاَ يَكْتَوُونَ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَعَلَى رَبّهِمْ يَتَوَكّلُونَ
Dari Imran berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Akan
masuk surga dari umatku 70 ribu dengan tanpa hisab”. Sahabat bertanya, “Siapa
mereka wahai Rasulullah ?” Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Mereka
adalah orang yang tidak berobat dengan kay (besi), tidak minta diruqyah dan
mereka bertawakkal pada Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebelum kita melihat penjelasan sebenarnya dari hadits-hadits
diatas, mari kita simak fatwa para ulama dalam permasalahan boleh tidaknya
Ruqyah.
Fatwa ulama tentang Ruqyah
Jika kita buka kitab para
ulama, justru kita akan mendapati bahwa mereka membolehkan praktek Ruqyah,
yakni membaca ayat al Qur’an dan dzikir-dzikir untuk menyembuhkan penyakit, yang
kemudian disebut dengan istilah Ruqyah Syar’iyyah.
Imam
An Nawawi rahimahullah berkata :
وَقَدْ نَقَلُوا بِالْإِجْمَاعِ عَلَى
جَوَاز الرُّقَى بِالْآيَاتِ ، وَأَذْكَار اللَّه تَعَالَى
“Dan sungguh
telah dinukil adanya ijma bolehnya ruqyah dengan ayat-ayat dan kalimat
dzikrullah Ta’ala.”[1]
Al
Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى
جَوَاز الرُّقَى عِنْد اِجْتِمَاع ثَلَاثَة شُرُوط : أَنْ يَكُون بِكَلَامِ اللَّه
تَعَالَى أَوْ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاته ، وَبِاللِّسَانِ الْعَرَبِيّ أَوْ بِمَا
يُعْرَف مَعْنَاهُ مِنْ غَيْره ، وَأَنْ يَعْتَقِد أَنَّ الرُّقْيَة لَا تُؤْثَر
بِذَاتِهَا بَلْ بِذَاتِ اللَّه تَعَالَى .
“Ulama telah
bersepakat tentang bolehnya ruqyah jika memenuhi tiga syarat : 1.
Menggunakan firman Allah Ta’ala atau dengan asma dan sifat-sifatNya. 2.
Dengan lisan bahasa Arab atau dengan bahasa yang bisa diketahui maknanya
selain bahasa Arab. 3. Meyakini bahwa ruqyah tidak mmberikan pengaruh
dengan zatnya sendiri, tetapi Allah Ta’ala yang memberikan pengaruhnya.”[2]
Imam Al Maziri rahimahullah mengatakan:
جَمِيع الرُّقَى جَائِزَة إِذَا كَانَتْ
بِكِتَابِ اللَّه ، أَوْ بِذِكْرِهِ
“Semua ruqyah adalah boleh jika berasal dari
kitabullah atau dzikir.”[3]
Pernyataan tentang kebolehan
melakukan Ruqyah syar’iyyah ini juga telah dinyatakan dalam berbagai macam
kitab fiqih. Silahkan pembaca merujuk ke Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah
jilid 11 halaman 123, Fiqih as Sunnah jilid 1 halaman 494, Majmu’
Syarh al Muhadzdzab jilid 9 halaman
65, Bidayah al Mujtahid jilid 4 halaman 9 dan lainnya.
Ulama menentang hadits ?
Dari fatwa-fatwa diatas kita mengetahui
bahwa bukan hanya ada satu dua ulama yang membolehkan Ruqyah, tapi seluruh ulama
telah sepakat (ijma’) akan kebolehannya.
Bagi mereka yang dangkal
berfikirnya, akan langsung menghantam dengan kaidah : Pendapat siapapun kalau
bertentangan dengan ayat atau hadits wajib ditinggalkan. Karena perkataan
manusia bisa salah sedangkan wahyu sudah pasti benar.
Betul demikian, tapi masalahnya apakah memang
para ulama yang dikenal kredibilitasnya telah berani begitu kurang ajar
mengangkangi wahyu ? Ataukah permasalahannya kita yang sok ndalil dan merasa
paling tahu ?
Orang yang
mendalam ilmunya dan memiliki fitrah yang bersih akan berhusnudzan kepada para
ulama. Tidak serta merta menuding bahwa mereka telah melontarkan fatwa yang
bertentangan dengan hadits, karena bagaimanapun para ulama apalagi mereka
ulama-ulama mazhab yang telah dikenal berpegang
teguh kepada dalil, mustahil membuat fatwa yang bersebrangan dengan ayat atau
hadits.
Dalil –dalil bolehnya Ruqyah
Diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Said Al Khudri : "Pada suatu hari kami bersama-sama dalam perjalanan, bermalam
di satu dusun. Datang pada kami seorang budak perempuan dan berkata : "
Sesungguhnya kepala desa ini sakit dan tak seorangpun di antara kami yang dapat
mengobatinya adakah di antara tuan-taun yang dapat mengobatinya ?"
Salah seorang dari rombongan
kami berdiri dan mengikuti budak tadi. Kami tidak mengira yang ia dapat menjadi
dukun. Si sakit dimanterainya dan sembuh. Kepadanya diberi hadiah 30 ekor
kambing, dan kepada kami disuguhkan susu. Ketika ia kembali kami bertanya :
"Apakah engkau membolehkan mantera dan apakah engkau tukang mantera
?" Ia menjawab: "Tidak, saya bukan tukang mantera tetapi kami hanya
membaca Ummul Kitab (Al Fatihah)."
Ketika peristiwa ini dikhabarkan kepada Rasulullah, beliau berkata
: "darimana kalian tahu bahwa surat itu (Al Fatihah) adalah ruqyah, bagilah
hadiah itu dan berikan saya sebagian darinya."
Dari
‘Auf bin Malik ia berkata; “Pada
masa jahiliyah kami pernah melakukan Ruqyah, lalu aku berkata, “Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapat anda mengenai hal tersebut?” Beliau menjawab:
اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ
شِرْكًا
“Perlihatkan
jampi kalian kepadaku! Tidak mengapa dengan jampi selama bukan perbuatan syirik.” (HR. Abu Daud)
Dari Utsman bin Abil Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau
mengadukan rasa sakit di badannya kepada Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam.
Lalu beliau menyuruhnya : “Letakkanlah tanganmu di atas tempat yang sakit
dari tubuhmu,” lalu beliau mengajarkan doa :
أَعُوذُ
بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Aku berlindung dengan keperkasaan Allah dan
kekuasaan-Nya, dari kejelekan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan.” (HR. Muslim)
Dan masih banyak
lagi riwayat lainnya yang bukan hanya membolehkan praktek Ruqyah dengan ayat
dan dzikir-dzikir, namun Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam langsung yang
mencontohkannya.
Lalu bagaimana
dengan hadits yang melarang ruqyah diatas ?
Inilah pentingnya
kita merujuk kepada al Qur’an dan al Hadits dengan pemahaman yang benar, yakni
lewat para ulama. Karena kepada merekalah ilmu kenabian diwariskan, sehingga
Allah ta’ala mewasiatkan : “Bertanyalah kepada ahli dzikri jika kalian tidak
mengetahui.” (QS. An Nahl : 43)
Imam An Nawawi Rahimahullah
menjelaskan:
وَأَمَّا الرُّقَى
بِآيَاتِ الْقُرْآن ، وَبِالْأَذْكَارِ الْمَعْرُوفَة ، فَلَا نَهْي فِيهِ ، بَلْ
هُوَ سُنَّة . وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ فِي الْجَمْع بَيْن الْحَدِيثَيْنِ إِنَّ
الْمَدْح فِي تَرْك الرُّقَى لِلْأَفْضَلِيَّةِ ، وَبَيَان التَّوَكُّل
“Adapun ruqyah
(jampi/mantera) dengan ayat-ayat Al Quran, dan dzikir-dzikir yang ma’ruf (dikenal),
maka hal itu tidak dilarang, bahkan sunah. DI antara mereka ada yang mengatakan
dalam mengkompromikan dua hadits (yang nampak bertentangan), sesungguhnya
pujian untuk meninggalkan ruqyah menunjukkan afdhaliyah (hal yang lebih utama),
dan kejelasan tawakkal.”[4]
Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata :
لأنَّهم
كانوا يرقون في الجاهلية بِرُقًى هو شركٌ ، وبما لا يفهم ، وكانوا يعتقدون : أن
ذلك الرُّقى يؤثر . ثم : إنهم لما
أسلموا وزال ذلك عنهم نهاهم النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ عن ذلك عمومًا ، ليكون
أبلغ في المنع ، وأسدُّ للذريعة . ثم : إنهم لما سألوه ، وأخبروه : أنهم ينتفعون
بذلك ؛ رخص لهم في بعض ذلك ، وقال : (( اعرضوا عليَّ رقاكم ، لا بأس بالرُّقى ما
لم يكن فيه شرك ، فجازت الرُّقية من كل الآفات من الأمراض ، والجراح ، والقروح ،
والحمة ، والعين ، وغير ذلك ؛ إذا كان الرُّقى بما يفهم ، ولم يكن فيه شرك ، ولا
شيء ممنوع . وأفضل ذلك ، وأنفعه : ما كان بأسماء الله تعالى وكلامه ، وكلام الله
رسوله ـ صلى الله عليه وسلم ـ .
“Karena dahulu mereka melakukan ruqyah ketika jahiliyah dengan berisi
kesyirikan dan kata-kata yang tidak dimengerti, dan mereka meyakini bahwa
ruqyah inilah yang memberikan pengaruh. Kemudian, ketika mereka masuk Islam
yang seperti itu telah dihilangkan dari mereka, karena Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melarang itu secara umum, agar larangan tersebut lebih
kuat dan upaya pencegahan. Kemudian,
ketika mereka menanyakannya dan mengabarkannya, bahwa mereka mendapatkan
manfaat dari itu, maka mereka mendapat keringanan pada sebagian hal itu.
Nabi bersabda: “Tunjukkan kepadaku ruqyah kalian, tidak apa-apa jika tidak
terdapat syirik di dalamnya.” Maka beliau membolehkan ruqyah untuk setiap
bentuk malapetaka seperti sakit, luka, bisul, demam, penyakit mata jahat, dan
lainnya, jika ruqyah tersebut dengan kalimat yang bisa difahami dan tidak
terdapat kesyirikan di dalamnya, dan tidak sesuatu yang terlarang. Yang
paling utama dan bermanfaat adalah: ruqyah yang berasal dari asma Allah dan
firmanNya, firman Allah dan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[5]
Penutup
Setelah menyimak
penjelasan diatas, sekarang kita bisa memahami bahwa yang dilarang dalam
hadits-hadits itu adalah ruqyah (jampi-jampi) yang tidak syar’i.[6]
Karena jampi-jampi itu dalam bahasa Arabnya sebutannya Ruqyah, jadi kalau
disebut Ruqyah saja dalam hadits maknanya adalah praktek jampi-jampi yang dilakukan
oleh orang Arab saat itu, dan tentu saja jampi-jampi (ruqyah) yang mengandung
kesyirikan tidak diragukan lagi keharamannya.
Sedangkan hari
ini, dalam bahasa yang kita pahami ketika disebut dengan Ruqyah yang dimaksud bukanlah jampi-jampi itu tapi Ruqyah syar’iyyah,
yaitu berobat dengan dibacakan ayat dan dzikir yang bersumber dari ajaran
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam.
Jika yang gagal paham
membaca hadits adalah orang awam, mungkin harus banyak-banyak dimaklumi,
namanya juga orang awam, kadang memang ngeselin karena bertingkah kayak sudah
alim. Tapi ketika ada yang telah bergelar ustadz, tapi masih berkoar-koar
melarang bahkan mengharamkan Ruqyah, saya pribadi punya pendapat tersendiri, kayaknya
ustadz seperti ini, sebelum diajak dialog atau debat, ada baiknya di Ruqyah
dulu.
Wallahu a’lam.
[1] Syarh Shahih Muslim (7/325)
[2] Fathul Bari (10/195)
[3] Syarh Shahih Muslim (14/168)
[4] Syarh Shahih Muslim (7/325)
[5] Al Mufhim Lima Asykala ‘ Ala
Talkhishi Kitabi Muslim (18/65).
[6]
“Ar Ruqaa jamaknya adalah Ar Ruqyah yaitu kata-kata yang diucapkan manusia
untuk mencegah keburukan atau menghilangkannya, mereka melindungi diri
dengannya sampai mereka tidak tertimpa apa yang mereka benci, atau mereka
mengobati dengannya orang sakit hingga sembuh dari penyakitnya.” (Fatawa
Al Azhar, 7/376)
0 comments
Post a Comment