Kepada pengelola
situs konsultasi islam yang terhormat, saya Novan hidayat berasal dari Madiun.
Saya ingin bertanya, maaf sebelumnya, saya pernah berkata ( dalam keadaan emosi
) yang intinya mejelek jelekan Allah, pertanyaan saya apakah saya termasuk
orang yang murtad karena telah melakukan perbuatan tersebut ?
Jawaban
Para ulama telah sepakat bahwa tindakan mengutuk, menghina atau merendahkan Allah subhanahu wata’ala adalah perbuatan yang
menjatuhkan pelakunya kepada kemurtadan meskipun dilakukan dengan main-main atau dalam
keadaan marah,[1]
Allah ta’ala berfirman :
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ
إِيمَانِكُمْ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu
berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah : 65- 66)
lbnu
Umar radhiyallahu‘anhu
menceritakan tentang sebab turunnya ayat tersebut : Dalam perang Tabuk ada
orang yang berkata, “Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli
baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta
lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.” Yang mereka maksudkan adalah
Rasulullah shalalahu’alaihi wassalam.
Mendengar
ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kamu. Justru kamu adalah orang
munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam.”
Auf
bin Malik segera menemui Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk melaporkan hal tersebut kepada beliau.
Tetapi sebelum ia sampai, wahyu Allah (QS. At-Taubah : 65-66) tersebut telah
turun kepada beliau.
Ketika
orang yang ucapannya dilaporkan itu datang kepada Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah
beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka orang itu berkata kepada
Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Sebenarnya kami tadi hanya bersenda-garau dan
mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk
menghilangkan kepenatan dalam perjalanan jauh kami.”
Ibnu
Umar berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kedua kakinya tersandung-sandung batu
sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.”
Namun
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam balik bertanya kepadanya: “Apakah
terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Beliau
hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang lagi.”[2]
Ibnul
Jauzi berkata: “Ini
menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat
kekufuran hukumnya adalah sama.”[3]
Imam
An-Nawawi berkata:
“Seandainya seseorang mengatakan -dalam keadaan ia minum khamar atau melakukan
zina- dengan melecehkan asma Allah, maka hukumnya kafir.”[4]
Ibnu
Qudamah berkata: "Barangsiapa
mencela Allah ta'ala
maka dia jatuh kepada kekafiran, baik dilakukan saat bercanda maupun serius."[5]
Qadhi Iyadh berkata: "Barangsiapa mengucapkan perkataan keji yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah dan kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang diagungkan oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang sebenarnya hanya layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan melecehkan, atau tanpa sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal itu berulang kali dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu sehingga menunjukkan sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya terhadap kehormatan Allah dan kejahilannya terhadap keagungan dan kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi, hukumnya adalah kafir.”[6]
Adakah Taubat bagi orang yang menghina Allah ?
Mengolok-olok
Allah adalah puncak maksiat dan perbuatan yang sangat keji. Karenanya kemudian
para ulama sampai berbeda pendapat, apakah
masih ada taubat bagi pelakunya atau tidak.
Sebagian
ulama berpendapat tidak ada taubat bagi seseorang yang sudah menghina Allah ta’ala.
Pendapat ini masyhur dipegang oleh sebagian ulama dari
mazhab Hanabilah. Karena istihza’ (menghina Allah) dipandang sebagai perbuatan
kufur yang sangat besar, dan dalam ayat surah at Taubah diatas dinyatakan “tidak
usah kamu meminta maaf” yang mengandung pemahaman tidak ada ampun bagi
pelakunya.
Namun mayoritas ulama berpendapat masih
dimungkinkan bagi pelakunya diampuni oleh Allah meskipun dosa yang telah dia
lakukan telah menjatuhkan kepada kekafiran (murtad).[7]
Pendapat ini didasarkan kepada keumuman firman Allah
ta’ala : “Hai hamba-hambaKu yang melampaui
batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Az-Zumar:53)
Kesimpulan
Hendaknya anda bersungguh-sungguh dalam bertaubat
dari apa yang sudah dilakukan. Sesali dan berjanjilah untuk tidak mengulangi
lagi. Semoga Allah yang maha pengampun menerima taubat anda.
Wallahu a’lam.
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (3/249), Nail al Authar (8/194), Sharum Maslul
halaman 550.
[2] Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayyil Qur’an
(14/333-335), Ahkamu
Al-Qur’an, 2/542)
[3] Zaadul Masiir (3/465).
[4] Raudhatuth Thalibin (10/67)
[5] Al Mughni (12/297)
[6] Asy Syifaa (2/1092)
[7] Ibnu Abidin ( 4/232), al Mughni (8/565).
0 comments
Post a Comment