Afwan ustadz mau bertanya, adakah haditsnya
tentang boleh menjama shalat walaupun tidak dalam keadaan musafir ? Dan kalau ada,
bagaimana kedudukan hadits tersebut dalam pandangan ulama mazhab ?
Jawaban
Antara menjama’ dan mengqashar
shalat, memang ada perbedaan syarat ketentuannya. Bila qashar hanya boleh
dilakukan dengan sebab safar, adapun jama’ ada sebab-sebab lain yang
membolehkannya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah :
وَالْقَصْرُ سَبَبُهُ السَّفَرُ خَاصَّةً لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِ السَّفَرِ
وَأَمَّا الْجَمْعُ فَسَبَبُهُ الْحَاجَةُ وَالْعُذْرُ
“Sebab
qashar shalat
khusus hanya karena seseorang itu bersafar. Tidak boleh seseorang mengqashar shalat pada selain safar. Adapun sebab
menjamak shalat adalah karena adanya hajat (kebutuhan) dan adanya udzur
(halangan). “[1]
Hal ini dikarenakan ada beberapa hadits-hadits yang menyebutkan
bahwa Nabi shalallahu’alaihi wassalam telah
menjama’ (mengumpulkan shalat tanpa meringkasnya) ketika tidak sedang safar,
diantaranya :
Hadits
pertama
صَلَّى رَسُول اللَّهِ بِالْمَدِينَةِ
الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا زَادَ
مُسْلِمٌ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu
Bahwa Rasulullah di Madinah menjama' shalat Dzhuhur dan Ashar serta menjama' shalat
Maghrib dan Isya'. Imam Muslim menambahkan,"Itu dilakukan bukan karena
takut atau safar.”
(HR. Muslim)
Hadits kedua
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍقِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ
فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ
أُمَّتَهُ
“Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam menjama antara Dzuhur dengan Ashar dan antara Maghrib
dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan hujan.” Ketika ditanyakan hal itu
kepada Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu , beliau menjawab, “Agar tidak memberatkan ummatnya.” (HR. Muslim)
Hadits ketiga
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah shalallahu’alahi
wassalam shalat di
Madinah tujuh atau delapan ; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya'”. Ayyub
berkata,”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir berkata,”Mungkin”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan ulama
tentang hadits-hadits diatas
Berdasarkan hadits
diatas, sebagian ulama membolehkan jama’ shalat selain karena safar yaitu :
1. Hujan
Mayoritas
ulama mazhab, yakni Malikiyyah Syafi’iyyah dan Hanabilah membolehkan seseorang
menjama’ shalatnya karena adanya hujan. Namun para ulama berbeda pendapat dalam rinciannya.
Malikiyyah
Mazhab ini hanya membolehkan yang dijama’ karena hujan
hanya Maghrib dan Isya saja dan tidak boleh ditakhir, harus dikerjakan dengan
jama’ taqdim.[2]
Syafi’iyyah
Mazhab
Sayfi’i membolehkan seseorang menjama’ shalat bukan hanya Maghrib dan Isya,
tapi juga Dzuhur dan Ashar, namun juga tetap harus dengan jama’ taqdim.[3]
Hanabilah
Sedangkan
kalangan Mazhab Hanbali membolehkan jama Maghrib dengan Isya, juga Dzhuhur
dengan Ashar, baik secara taqdim maupun takhir.
Bagaimana
ukuran hujannya ?
Berkata al imam Ibnu Qudamah : “Hujan yang
membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang bisa membuat pakaian
basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam kondisi hujan
semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik, maka tidak boleh untuk menjama’
shalat ketika itu.”[4]
Dalam
Kifayatul Akhyar disebutkan, ”Orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan
untuk menjama’ shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau
Maghrib dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada
juga yang berpendapat bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat
Maghrib dan Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum
ini disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang
itu berangkat ke sana akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah.
Demikian persyaratannya menurut Ar Rafii dan An Nawawi.”[5]
2. Sakit
Ulama
berbeda pendapat tentang hukum menjama’ shalat karena sakit, menurut
Malikiyyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyyah sakit termasuk udzur yang
membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya. Sedangkan Hanafiyyah dan
sebagian Syafi’iyyah berpendapat tidak boleh.
Alasan
yang membolehkan
Kalangan yang
membolehkan sakit sebagai udzur untuk menjama’ shalat adalah keumuman firman
Allah ta’ala :
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj
: 78)
Dan juga hadits : ”Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu Bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi
wassalam di Madinah menjama' shalat Dzhuhur dan Ashar serta menjama' shlat
Maghrib dan Isya'. Imam Muslim menambahkan,"Itu dilakukan bukan karena
takut atau safar.” (HR. Muslim)
Walaupun hadits
diatas tidak secara tegas menyebut sakit sebagai alasan Rasulullah menjama’
shalat, namun sangat mungkin itulah yang menjadi udzurnya.
Alasan
yang tidak membolehkan
Sedangkan
mazhab Hanafiyah dan Syafi'iyah yang menolak kebolehan menjama' shalat karena
sakit karena tidak ada dalil Qathi dari Rasulullah dan memandang bahwa
pendalilan sakit sebagai udur untuk menjama’ shalat masih bersifat asumsi
(dugaan).
Berkata
al Imam Nawawi rahimahullah :
أَنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَرِضَ أَمْرَاضًا كَثِيرَةً وَلَمْ يُنْقَلْ
جَمْعُهُ بِالْمَرَضِ صَرِيحًا
“Nabi shalalahu’alaihi
wassalam mengalami beberapa kali sakit, namun tidak ada riwayat yang sharih bahwa
beliau menjama' shalatnya.”[6]
3. Keadaan mendesak
Al imam Nawawi berkata : “Mayoritas
ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada
kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian
sebagai tradisi (kebiasaan).”[7]
Dan ukuran darurat disini adalah sesuai dengan kaidah :
الضرورة
تقدر بقدرها
“Sesuatu yang dharurat itu
diukur berdasarkan kadarnya.”Kesimpulan
Demikian penjelasan mengenai beberapa udzur yang membolehkan
seseorang untuk menjama’ shalat. Selain karena safar, tetap yang afdhal adalah
menyempurnakan shalat. Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment