DONOR ASI



Ustadz saya mau bertanya, kalau donor asi itu hukumnya gimana ya ustadz ?

Jawaban
Jika dulu donor Asi hanya ada di kota besar, hari ini nampaknya sudah mulai merambah kebanyak daerah bahkan pelosok. Transaksinya kini juga sudah meluas di dunia maya. Penawaran ketersediaan Asi dijajakan lewat web dan juga jejaring sosial. Lalu bagaimanakah hukum donor ASI dalam pandangan Fiqih Islam ? Mari kita simak penjelasannya.
            Paling tidak ada 3 permasalahan utama yang perlu dibahas, karena ketiga hal tersebut berkaitan dengan hukum donor Asi, yakni : (1) Hukum memberi/menerima Asi dari orang lain (bukan dari ibu kandung atau kepada selain anak kandung), (2) Kemahraman karena susuan, apakah berlaku bila tidak menyusu langsung  (3) Minimal menyusu yang menyebabkan mahram.

1.      Hukum memberi/menerima Asi dari orang lain
Ulama sepakat tentang diperbolehkannya seorang wanita memberikan air susunya untuk bayi orang yang lain, hal ini berdasarkan ketetapan Allah ta’ala :
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“Jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan upah menurut yang patut.” (QS. Al Baqarah: 233)
Namun demikian, bukan berarti kebolehannya tanpa batasan. Karena ternyata susuan memiliki konsekuensi hukum, yakni menyebabkan berlakunya hukum kemahraman. Berdasarkan hadits :
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Persusuan itu menyebabkan terjadinya hubungan mahram, sama seperti mahram karena nasab.” (HR. Bukhari)
Sehingga tentunya seseorang yang akan memberikan asinya, atau yang akan meminta asi harus mengetahui dengan pasti siapa anak susuan atau ibu susuannya. Karena berlaku atas susuan apa yang diharamkan oleh nasab, seperti tidak bolehnya adanya pernikahan.

2.      Kemahraman karena susuan, apakah berlaku bila tidak menyusu langsung  

Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini, menurut kalangan adz Dzahiri dan sebagian kalangan Hanabilah, menyusu yang menyebabkan kemahraman adalah yang dilakukan secara langsung. Bila Asi itu diperah terlebih dahulu, maka tidak berlaku hukum kemahraman.[1]   
Pendapat kalangan ini didasarkan kepada pengertian menyusu itu sendiri dalam terminologi fiqih yaitu : "menempelnya mulut bayi dengan dada dan menghisap susu dari situ."
Sedangkan mayoritas ulama mazhab, dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan yang kuat dari kalangan Hanabilah bahwa kemahraman tetap terjadi meskipun Asi yang diminum bayi dilakukan secara tidak langsung.[2] Dalilnya adalah ma’fum hadits :
لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا أَنْشَزَ اَلْعَظْمَ, وَأَنْبَتَ اَللَّحْمَ
"Tidak dikatakan menyusui kecuali yang menjadikan tulang dan menumbuhkan daging" (HR. Abu Daud)
Jadi menurut jumhur, hukum susuan bagi bayi itu dilihat dari manfaatnya, bukan pada caranya.

(3) Minimal menyusu yang menyebabkan mahram.
 Ulama sepakat bahwa 5 kali susuan yang mengenyangkan menyebabkan kemahraman, mereka berbeda pendapat bila kurang daripada itu. Menurut Malikiyyah , Hanafiyyah dan sebagian riwayat dari Hanabilah kurang dari 5 kali menyusu tetap menyebabkan kemahraman, sedangkan menurut  Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak ada kemahraman jika kurang dari 5 kali.[3]
Untuk menyimak lebih lanjut permasalahan ini, silahkan lihat bahasan : Susuan yang menyebabkan kemahraman.

Donor asi
Jika kita tinjau Praktek Donor Asi dengan bahasan diatas, maka yang tidak bermasalah hanya di opint 1 yakni : memberikan susu kepada orang lain, maka hukumnya masih diperbolehkan. Donor Asi bermasalah di ponit ke -2 dan ke-3, karena bisa menyebabkan ketidakjelasan kemahraman. Karena bisa dipastikan akan terjadi ketidak jelasan, siapa pendonor, siapa penerima. Bisa jadi si A telah minum ASI si X, namun keduanya tidak tahu. Padahal secara hukum mereka sudah menjadi mahram. 
Karena itulah menurut jumhur ulama, praktek donor Asi hukumnya secara asal adalah haram. Ini diantaranya ditegaskan oleh Majma’ Fiqh Islam membuat keputusan[4] :
“Setelah dipaparkan penjelasan secara fikih dan penjelasan secara ilmu kedokteran tentang Bank ASI, dan setelah mempelajari pemaparan dari masing-masing bidang disiplin ilmu, dan diskusi yang melibatkan berbagai sudut pandang, maka disimpulkan bahwa: Bank ASI telah diuji cobakan di masyarakat barat. Namun muncul beberapa hal negatif, dari sisi teknis dan ilmiah dalam uji coba ini, sehingga mengalami penyusutan dan kurang mendapatkan perhatian.
Syariat islam menjadikan hubungan persusuan sebagaimana hubungan nasab. Orang bisa menjadi mahram dengan persusuan sebagaimana status mahram karena hubungan nasab, dengan sepakat ulama. Kemudian, diantara tujuan syariah adalah menjaga nasab. Sementara Bank ASI menyebabkan tercampurnya nasab atau menimbulkan banyak keraguan nasab.

Berdasarkan kesimpulan di atas maka diputuskan:
  1. Terlarangnya mengadakan Bank ASI untuk para wanita di tengah masyarakat islam.
  2. Haramnya menyusukan anak di Bank ASI.
Demikian. Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (22/243).
[2] Kasyful Qina (5/446), Ibnu Abidin (2/413), Fiqih al Islami wa Adillatuhu (9/6640),
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (22/244).
[4] Majlis penelitian di bawah koordinasi OKI dalam Mukatamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22 – 28 Desember 1985.

0 comments

Post a Comment