HUKUM MENGADAKAN ACARA BERTEMPAT DI GEREJA




Ustadz saya mau bertanya, bagaimana hukumnya seorang tenaga kesehatan memberikan tempat penyuluhan kesehatan di gereja ? Teman saya sedang bertugas di Papua, dimana disana tidak ada tempat yang luas untuk acara kecuali di gereja dan ini atas instruksi kepala RSUD yang beragama Nasrani.

Jawaban
Secara umum, hukum memasuki tempat peribadatan agama lain terbagi menjadi dua keadaan, yaitu kondisi pertama : Sedang diadakannya ritual peribadatan agama mereka. Kondisi kedua : Ketika tidak ada peribadatan. Mari kita simak penjelasannya :

1.      Ada peribadatan agama
Ulama sepakat bahwa memasuki tempat ibadah agama lain semisal gereja ketika sedang diselenggarakannya ritual ibadah haram hukumnya.
Dalilnya adalah keumuman firman Allah ta’ala dalam surah al Kafirun dan sebuah Atsar dari sayidina Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu :

لاَ تَدْخُلُوْا عَلَى المشْرِكِيْنَ فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فَإِنَّ السُخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
"Janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka."[1]
Ibnul Qayyim kembali berkata, “Kaum muslimin tidak boleh turut serta, membantu dan hadir dalam perayaan mereka tersebut. Hal ini telah disepakati oleh para ahli ilmu (para ulama) dan telah dinyatakan oleh para ulama empat madzhab di kitab-kitab mereka.”[2]

2.      Tidak ada peribadatan
Jika tidak sedang ada peribadatan, semisal seseorang hanya sekedar mampir kesebuah kuil atau gereja, atau menghadiri acara yang bukan ritual ibadah yang bertempat di gereja, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mutlak mengharamkan, ada yang sekedar memakruhkan dan ada yang membolehkan.[3]
Kalangan Hanafiyyah termasuk yang berpendapat haramnya memasuki rumah ibadah agama lain karena dipandang tempat yang buruk dan menjadi tempat berkumpulnya para setan.[4] Sebagian kalangan Hanabilah memakruhkan karena di dalamnya ada gambar-gambar dan juga patung-patung.  Sedangkan mayoritas ulama Madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan sebagian Hanabilah membolehkan.[5]

Pendapat yang kuat (rajih)
Para ulama rata-rata merajihkan pendapat jumhur ulama, yakni bolehnya memasuki gereja, sinagog , kuil dan tempat semisal lainnya bila bukan dalam rangka menghadiri atau turut berpartisipasi untuk ritual ibadah mereka.[6]
Hal ini karena ada banyak riwayat yang menyebutkan bahwa dahulu para shahabat Nabi juga memasuki gereja-gereja. Jika hal tersebut diharamkan, tentu mereka tidak akan melakukannya diantara riwayatnya :

Ibnu A’id meriwayatkan dalam kitabnya Futuh asy-Syam bahwa orang-orang Nasrani mempersiapkan makanan untuk Uma yang berkunjung ke Syam dan mengundangnya makan. Umar bertanya: “Di mana makanannya?” Mereka menjawab: “di gereja.” Umar pun menolak memasuki gereja dan berkata kepada Ali  “Masuklah bersama-sama umat Islam dan santaplah makanannya.” Ali pun memasuki gereja bersama-sama dengan umat Islam dan menyantap makanan. Di dalam gereja Ali menyaksikan aneka lukisan dan berujar: “memang tidaklah semestinya seorang Amirul Mukminin memasuki gereja (dengan lukisan dan patung di dalamnya) lalu menyantap makanan.[7] 

Komite Fatwa Saudi Arabia[8] membolehkan seorang muslim memasuki tempat ibadah agama lain dengan syarat ketentuan :
1.       Adanya maslahat bagi agama Islam, misalnya dalam rangka berdakwah atau berdebat dengan orang Nasrani agar mereka masuk Islam.
2.       Tidak menimbulkan perbuatan haram, misalnya basa-basi dalam kemaksiatan mereka.
3.       Berani menampakkan jati diri keislamannya di hadapan orang kafir.
4.       Tidak menyebabkan orang awam tertipu karena mengira bahwa dirinya setuju dengan agama orang Nasrani.

Kesimpulan
Melihat dari bahasan diatas, apa yang dilakukan oleh sadara kita dengan melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan di gereja secara asal hukumnya boleh menurut mayoritas ulama, asalkan tidak dilakukan terus menerus dan tidak ada pilihan tempat lainnya. Wallahu a’lam.


[1] HR. Abdur Razaq dalam Al Mushannaf no. 1608, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, 9:234 dan dinilai kuat oleh Al Bukhari dalam At Tarikh.
[2] Ahkam Ahli Adz Dzimmah, hal. 492.
[3] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah (38/155).
[4] Hasyiah Ibnu Abidin (5/248).
[5] Jawahirul Iklil (1/183), Hasyiyah Jamil (3/572), al Qulyubi (4/235), Kasyful Qina (1/293).
[6] Al Mughni (8/113), al Inshaf (1/496).
[7] Al Mughni (8/113).
[8] Fatwa Lajnah Daimah (2/339).

0 comments

Post a Comment