BAHAYANYA MEMUTUSKAN TALI SILATURAHIM



Apa ancaman dalam Islam bila memutuskan tali silaturahim dengan kerabat ?

Jawaban :

Silaturahim adalah amalan utama dan termasuk salah satu dari sekian kewajiban dalam agama. Terdapat banyak ayat dan hadits yang menyebutkan perintah  agar setiap muslim menjaga tali silaturahim. Diantaranya sebuah hadits yang masyhur : 

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim. (Muttafaqun ‘alaihi)
 
Silaturahim hukumnya wajib menurut mayoritas ulama mazhab dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyyah,[1] berdasarkan firman Allah ta’ala : 

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ
“Dan bertaqwalah kepada Allah dan sambunglah tali silaturahim.” (QS. An Nisa : 1)

Berkata al-Qâdhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan para ulama) bahwa secara umum silaturrahim hukumnya wajib, dan memutuskannya merupakan dosa besar. Namun silaturrahim itu ada beberapa derajat, sebagiannya lebih tinggi dari yang lain. Yang paling rendah adalah tidak mendiamkan, artinya dia menyambungnya dengan mengajaknya bicara, walaupun dengan ucapan salam.[2]

Sedangkan sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa silaturahim yang wajib adalah kepada kedua orang tua, sedangkan kepada yang selain keduanya hukumnya sunnah. Namun meski sunnah hukum menyambungnya, adapun memutuskan silaturahim dihukumi sebagai dosa besar.[3]

Selain terdapat dalil-dalil yang berisi anjuran dan keutamaan menyambung silaturahim, juga banyak ayat dan hadits yang memperingatkan agar setiap muslim tidak memutus tali silaturahim, karena termasuk dosa dan pelanggaran yang besar dalam islam, diantaranya :

Bahaya dan dosa memutuskan tali silaturahim

Berikut diantara tarhib (ancaman) memutuskan tali silaturahim dalam Islam :
  1. Dilaknat oleh Allah Ta’ala
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ . أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Maka apa kiranya jika kamu berkuasa akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan silaturahim. Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka dan dibutakan mata mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)

2.      Tidak diridhai ada di majelis Nabi
Rasulullah bersabda : “Apabila di dalam majlis ini ada yang memutuskan tali silaturahim, maka pergilah, jangan duduk bersama kami.”

3.      Akan sulit masuk syurga
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
Tidak akan masuk syurga (dengan mudah) orang yang memutuskan (silaturahim).” (Mutafaqqun ‘alaih)

4.      Akan diputus dari rahmat kasih sayang Allah

Dalam sebuah hadits kudsi disebutkan :

إِنَّ الرَّحِمَ شِجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ ، فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ
Sesungguhnya (kata) rahim diambil dari (nama Allah) ar-Rahman. Allah berkata, ‘Barangsiapa menyambungmu (rahmi/kerabat), Aku akan menyambungnya; dan barangsiapa memutuskanmu, Aku akan memutuskannya.” (HR. Bukhari)

5.      Termasuk dosa yang disegerakan siksanya
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda :
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ مِنَ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِم
Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada kedzaliman dan memutuskan tali silaturahim.” (HR. Tirmidzi)

Penutup

Memutus silaturahim hukumnya haram menurut kesepakatan ulama.[4] Sebagai seorang mukmin, kita harus menjauhi sejauh-jauhnya hal-hal yang dapat menyebabkan terputusnya tali silaturrahim. Sebaliknya kita harus berupaya menjaga tali silaturrahim mengkokohkannya, memupuknya sehingga kita terhindar dari laknat dosa besar memutus tali kekerabatan.

Silahkan baca tulisan kami sebelumnya : Keutamaan menyambung silaturahim

Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (3/82), Ibnu Abidin (5/264).
[2] Syarh shahih muslim al imam Nawawi (8/345)
[3] Bujairami ‘ala Khattab (3/229).
[4] Tanbih al Ghafilin hal 47,  Fatawa li Ibn Taimiyyah (3/425).

0 comments

Post a Comment