Ustadz
saya mau bertnya, jika ada adik perempuan (yatim) mau menikah. Apa harus kakak
laki-laki yang menikahkan ? Sedangkan
masih ada pakde/om dari pihak bapak atau ibu anak perempuan itu.
Selanjutnya,
ibu dari anak perempuan itu inginnya yang mewalikan adalah kakak laki -laki
nomor dua, padahal ada kakak nomor satu, pertimbangannya karena hidup nya lebih
mapan. Apakah boleh ?
Jawaban
Sebagaimana
yang kita ketahui syarat sahnya pernikahan adalah adanya wali yang menikahkan,[1]
hal ini sebagaimana ketetapan sebuah hadits :
لاَ نِكَاحَ
اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ، بَاطِلٌ باَطِلٌ
“Tidak ada pernikahan tanpa wali. Barangsiapa
diantara perempuan yang nikah dengan tidak seizin walinya, nikahnya itu batal.” (HR. Abu Daud)
Secara
urut-urutan perwalian nasab, para ulama mazhab berbeda pendapat. Jumhur ulama
bersepakat yang berada dipuncak, yakni yang paling berhak dalam perwalian
adalah Ayah kandung dari siperempuan.[2]
Lalu diikuti oleh anggota keluarga lain yang memiliki hak perwalian.
Urutan hak perwalian menurut ulama
mazhab
Para ulama berbeda
pendapat tentang urutan perwalian, berikut pendapat masing-masing ulama empat mazhab
.
Hanafiyyah[3]
- Anak laki-laki, cucu laki-laki seterusnya sampai ke bawah
- Ayah, kakek (ayah dari ayah) dan seterusnya sampai ke atas
- Saudara laki-laki yang sekandung
- Saudara laki-laki yang seayah
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung;
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah;
- Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung;
- Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah;
- Anak laki-laki dari paman yang bersaudara kandung dengan bapak.
- Anak laki-laki dari paman yang bersaudara seayah dengan bapak.
Malikiyyah[4]
- Ayah
- Al-Washi yaitu orang yang menerima wasiat dari ayah (al-Ab) untuk menjadi wali nikah.
- Anak laki-laki,
- Cucu laki-laki.
- Saudara laki-laki yang sekandung.
- Saudara laki-laki yang seayah;
- Anak laki-laki dari saudara yang sekandung;
- Anak laki-laki dari saudara yang seayah;
- Kakek yang seayah;
- Paman yang sekandung dengan ayah;
- Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah;
- Anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah;
- Ayah dari kakek.
Syafi’iyyah[5]
- Ayah
- Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalam garis laki-laki;
- Saudara laki-laki sekandung;
- Saudara laki-laki seayah;
- Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
- Anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah;
- Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
- Anak laki-laki dari anak laki-laki seayah;
- Saudara laki-laki ayah kandung;
- Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah);
- Anak laki-laki paman sekandung;
- Anak laki-laki paman seayah
- Saudara laki-laki kakek sekandung;
- Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung;
- Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.
Hanabilah[6]
- Bapak (al-Ab)
- Washi dari bapak setelah meninggalnya
- Hakim ketika dalam keadaan tertentu.
- Kakek (ayah bapak) sampai derajat ke atas
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki dari anak laiki-laki sampai derajat ke bawah
- Paman (saudara laki-laki bapak sekandung)
- Paman (saudara laki-laki dari ayah yang seayah)
- Saudara sepupu (anak laki-laki saudara laki-laki ayah sekandung)
Ketentuan
perwalian
Urutan
perwalian di atas harus berurutan alias tidak boleh dilangkahi. Sehingga bila
ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih
oleh wali berikutnya, demikian seterusnya. Terkecuali bila pihak yang berhak
dalam perwalian memberi izin atau mewakilkan perwaliannya.
Syarat Seorang Wali
Namun untuk bisa
menjadi wali, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sahnya menjadi wali nikah.
Para ulama telah menetapkan beberapa syarat perwalian, meskipun sebagian syarat
ada yang disepakati dan ada pula yang diperbedapendapatkan.[7]
- Islam
Ulama bersepakat bahwa Islam adalah
syarat sah perwalian. Maka seorang wali kafir tidak sah perwaliannya untuk seorang
muslimah.
- Berakal dan berakal
Tidak sah jika orang gila dan
anak kecil. Karena seorang wali harus mampu bernalar dalam mempertimbangkan
orang yang menjadi perwaliannya. maka dari itu, wali disyaratkan berakal..
- Merdeka.
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa seorang wali haruslah orang merdeka. Karena budak tidak berhak
mewalikan dirinya sendiri, apalagi terhadap orang lain.
- Adil.
Sebagian ulama dari mazhab syafi’i dan
ini merupakan pendapat yang kuat dari
mazhab Hanbali menetapkan syarat ini. Maka tidak sah perwalian orang fasik
sampai ia bertaubat. Sedangkan jumhur
ulama tidak mensyaratkan.
- Laki-laki.
Mayoritas ulama
mensyaratkan bahwa seorang wali nikah harus laki-laki, sedangkan kalangan
mazhab Hanafi membolehkan seorang janda menikahkan dirinya sendiri. Namun, mereka
bersepakat bahwa wali selain kasus ini, harus seorang laki-laki.
6. Berpengetahuan.
Sebagian ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah mensyaratkan
bahwa seorang wali bukanlah orang yang bodoh dan tidak terurus. Alasannya karena orang-orang itu tidak dapat
mengurusi dirinya sendiri, apalagi sesuatu yang berhubungan dengan orang lain. Demikian
juga disebutkan dalam sebuah Hadits :
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِإِذْنِ وَلِيٍّ مُرْشِدٍ أَوْ سُلْطَانٍ
“Pernikahan tidak sah kecuali dengan izin wali
yang pintar atau sultan (penguasa).”
Sedangkan mayoritas ulama tidak menetapkan syarat ini.
Sedangkan mayoritas ulama tidak menetapkan syarat ini.
7.
Tidak terpaksa
Sebagian ulama dari
kalangan Syafi’iyyah dan Malikiyyah mensyaratkan wali yang sah perwaliannya
adalah yang tidak membenci pernikahan tersebut. Sedangkan Hanafiyyah tidak
menetapkan syarat ini.
Jika wali tidak memenuhi salah satu persyaratan diatas, maka hak perwaliannya beralih keurutan berikutnya.[8] Contoh kasus misalnya ayah seorang wanita telah murtad, maka yang menjadi wali nikah selanjutnya menurut mazhab Syafi’i adalah kakek dari wanita tersebut. Jika kakek telah meninggal, maka beralih perwalian kepada saudara laki-laki sekandung, demikian seterusnya.
Jika wali tidak memenuhi salah satu persyaratan diatas, maka hak perwaliannya beralih keurutan berikutnya.[8] Contoh kasus misalnya ayah seorang wanita telah murtad, maka yang menjadi wali nikah selanjutnya menurut mazhab Syafi’i adalah kakek dari wanita tersebut. Jika kakek telah meninggal, maka beralih perwalian kepada saudara laki-laki sekandung, demikian seterusnya.
Jawaban atas kasus yang ditanyakan
Sudah
benar urutan perwaliannya, saudara kandung lebih berhak dalam perwalian
daripada paman/om/pak de dari pihak ayah. Sedangkan yang dari pihak ibu tidak
memiliki hak perwalian.
Dan boleh dan sah saja yang menikahkan meskipun kakak
kedua atau adik laki-laki selama telah memenuhi syarat sah perwalian. Dalam hal
ini, tidak disyaratkan harus kakak tertua untuk menjadi wali.
Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment