Dalam Islam ada
syariat poligami, namun disyaratkan harus berlaku adil. Ada yang mengatakan
bahwa berbuat adil mustahil bias dilakukan karena Allah ta’la berfirman : “Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian.” (QS. An Nisa : 129)
Bagaimana ini ustadz, disisi lain Allah membolehkan poligami, dan dalam
prakteknya Nabi, shahabat dan juga para ulama berpoligami, sedangkan Allah
mengatakan tidak mungkin bisa berbuat adil padahal itu menjadi syaratnya
poligami. Mohon penjelasannya.
Jawaban
Untuk bisa memahami dengan
benar sebuah perintah dan larangan dalam agama, kita harus mengembalikan kepada
ilmu para ulama. Itu mengapa para ulama dalam kitab-kitab mereka ketika
membahas sesuatu memulai dengan ta’rif (definisi) agar objek yang sedang
dibahas menjadi jelas.
Demikian juga kata adil dalam ayat yang ditanyakan, harus
dikembalikan kepada makna adil yang dimaksud diayat tersebut. Karena kalau ayat
itu dijadikan sebagai dalil mustahilnya adil dalam semua pernikahan poligami, sehingga
lawannya adil adalah dzalim, lalu mengapa Nabi, para sahabat dan Para ulama berpoligami
? Apakah kita menuduh mereka telah mendzalimi istri-istrinya ?
Dan seharusnya ayat ini juga menjadi dalil pengharaman poligami,
karena syarat poligami yang dibenarkan dalam syariat adalah harus adil,
sedangkan itu menurut pemahaman ayat surah an Nisa ayat 129 tidak
mungkin bisa terpenuhi.
Tapi ternyata tidak, tidak ada satupun ulama muslimin dari mazhab
manapun yang menyimpulkan hukum seperti
itu. Belum ada satupun ulama yang berfatwa haramnya poligami dengan alasan ayat
diatas. Justru perdebatan ulama berkisar dibahasan apakah hukum poligami itu
sekedar mubah ataukah Sunnah. (Lihat tulisan kami : Hukum ta’addud /poligami)
Perintah dan makna adil dalam poligami
Perintah untuk berbuat adil kepada para istri termaktub dalam
firman Allah ta’ala :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ
لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ
تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ
تَعُولُواْ
“Maka
nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa’: 3)
Berdasarkan ayat diatas
mayoritas ulama sepakat bahwa suami yang memiliki lebih dari satu isteri harus mampu
bersikap adil.[1]Bahkan
dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wassAlam memPeringatkan :
مَنْ كَانَتْ لَهُ
امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ
مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua
orang istri lalu ia hanya memeprhatikan kepada salah seorang di antara
keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.”
(HR. Abu Daud)
Demikianlah
suami diperintahkan untuk berlaku adil kepada istri-istrinya. Lantas keadilan
apa yang diperintahkan dalam ayat tersebut ?
Ulama
sepakat berpendapat bahwa keadilan yang dituntut dalam poligami adalah memberikan hak yang sama pada
semua isterinya, dalam membagi giliran malam, nafkah, tempat tinggal, maupun
pakaian.[2]
Disebutkan dalam al Mausu’ah :
قال العلماء: المراد الميل
في القسم والإنفاق لا في المحبة، لما عرفت من أنها مما لا يملكه العبد
“Dan
berkata para ulama : Yang dimaksud adalah kecendrungan tidak adil dalam masalah
giliran malam dan nafkah, bukan pada perasaan cinta, karena masalah perasaan
termasuk perkara yang diluar kemampuan seorang hamba.”[3]
Al Adzim al Abadi berkata,
“Hadits di atas menunjukkan bahwa wajib bagi suami untuk menyamakan dan tak
boleh condong pada salah satunya, yaitu dalam hal pembagian malam dan nafkah.
Ini bukan berarti mesti sama dalam hal kecintaan. Kecintaan tersebut tak bisa
seseorang membuatnya sama.”[4]
Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan : “Suami tidak boleh melebihkan salah seorang dari dua istrinya
dalam hal bagian giliran. Namun, jika ia mencintai salah satunya melebihi yang
lain dan menggaulinya lebih banyak dari yang lain, itu bukan perbuatan dosa.”[5]
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha
berkata : "Sesungguhnya Rasulullah berkeliling
menggilir isteri-isterinya pada saat beliau sedang sakit, sampai pada akhirnya
kami semua merelakan beliau (untuk tinggal di salah satunya)".
(HR. Bukhari dan Muslim)
Adil dalam surah an Nisa ayat
129
Allah ta’ala berfirman :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَة
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…"
Ayat diatas menyatakan bahwa tidak ada
orang yang bisa berlaku adil, lantas mengapa masih diperintahkan adil dalam
poligami ? Itu namanya membebani manusia dengan sesuatu yang tak mampu ia
lakukan, padahal Allah Subhanahu Wata’ala menyatakan “Allah tidak membebani
seseorang dengan sesuatu yang tidak mampu ia laksanakan”. (QS. Al Baqarah :284)
Mari kita simak penjelasan para ulama
mengenai hal ini.
Dalam Tafsir
al Qurthubi jilid 5 halaman 405 :
أخبر تعالى بنفي الاستطاعة في العدل بين النساء، وذلك في ميل الطبع
بالمحبة والجماع والحظ من القلب.. ولهذا كان عليه السلام
يقول: (اللهم إن هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك)
“Allah
mengkhabarkan bahwa tidak akan mampu seseorang berlaku adil kepada para istri, yakni
yang berkaitan kecendrungan rasa cinta, hubungan seksual dan perasaan dalam
hati. Karenanya Rasulullah shalallahu’alaihi
wassalam berdoa :
Ya Allah, inilah pembagianku pada perkara yang aku bisa, maka janganlah Engkau mencelaku pada perkara yang Engkau miliki, namun tidak aku miliki”.[6]
Ibu
Abbas radhiyallahu’anhuma berkata : “Tidak akan mampu bersikap adil’ dari ayat
tersebut bermakna ketidak mampuan seorang suami dalam dua hal : perasaan cinta,
dan hubungan seksual.”[7]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata, “Para
ulama ahli tafsir menjelaskan makna firman Allah Ta’ala: “Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”,
artinya: berlaku adil dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan
kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala
mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka.
“…karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah
kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang
menyimpang dari syariat).[8]
Mayoritas
ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif adalah
sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. mempersamakan hak atas kebutuhan seksual
dan kasih sayang di antara isteri-isteri yang dikawini bukanlah
kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan
mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu
sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya
tertarik pada salah seorang isterinya melebihi yang lain dan hal yang semacam
ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.[9]
Karenanya
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam ketika ditanyakan kepada beliau :
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ
إِلَيْكَ؟ قَالَ عَائِشَةُ
"Siapakah manusia yang paling
Engkau cintai?" Beliau menjawab: 'Aisyah'.” (HR. Bukhari)
Dianjurkan Adil Dalam Menyenangkan Setiap Isteri
Meskipun
para ulama sepakat bahwa memberikan pelayanan seksual dan perasaan kasih sayang
secara adil tidaklah wajib, namun mayoritas ulama mengatakan hukumnya
'mustahab' (sangat dianjurkan) untuk juga beraku adil dalam memberikan
kesenangan batin terhadap isteri-isterinya, seperti dalam berhubungan seksual,
mencium, ataupun cumbuan lainnya. Walaupun kadar cintanya pada setiap isteri
mungkin berbeda.[10]
Dahulu
para ulama salaf jika memberikan sesuatu kepada satu istrinya, maka ia akan berusaha
memberikan hal yang sama kepada istrinya yang lain, sebagai upaya berbuat adil dalam
hal yang mereka mampu.
Diriwayatkan
bahwa Muhammad ibnu Sirin berkata tentang seorang lelaki yang memiliki dua
istri, “Dibenci ia berwudhu di rumah salah seorang istrinya, sementara itu di
rumah istri yang lain tidak dilakukannya.”[11]
Ibrahim
an-Nakha’i rahimahullah berkata tentang seorang lelaki yang mengumpulkan
istri-istri (madu dengan madu), “Para salaf menyamakan perlakuan di antara
istri-istrinya, sampai-sampai apabila tersisa gandum dan makanan yang bisa
ditakar, mereka tetap membagi-bagikan di antara istri-istri mereka; setelapak
tangan demi setelapak tangan.”[12]
Kesimpulan
Seorang
muslim dibolehkan menikahi wanita lebih
dari satu, namun kebolehan ini memiliki syarat
yakni berupa kewajiban berbuat adil. Sebuah kata yang mungkin mudah diucapkan,
namun dalam prakteknya itu membutuhkan
tenaga, waktu, materi, dan juga ilmu yang memadai. Jika ternyata seseorang tidak mampu, daripada jatuh kepada dosa
kedzaliman terus menerus, cukuplah satu wanita yang mendampinginya dalam mengayuh
biduk rumah tangga.
Yang diwajibkan untuk adil dalam poligami adalah dalam masalah
tempat tinggal, nafkah dan menggilir malam sedangkan yang disunnahkan adil
dalam poligami adalah dalam masalah jima’, perhatian dan kesenangan batiniyah
lainnya.
Terakhir kita
harus ingat pesan salah seorang ulama : “Jika Allah menetapkan sebuah perintah,
maka syetan akan menggoda dengan doa jalan. Pertama adalah menggoda untuk
meremehkan perintah tersebut, atau cara kedua adalah membuat berlebih-lebihan dalam
melaksanakannya. Dan syetan tidak peduli, dengan godaan yang mana dia akan
berhasil.”
Dalam masalah
poligami ini hendaknya kita waspada kepada dua hal tersebut, meremehkan atau
melebih-lebihkan.
Wallahu a’lam.
[2] Bada'i ash-Shanai' (2/332),
Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (24/64), Fiqh
al Islami wa Adillatuhu (6/216), Fiqh ‘ala Mazhab al Arba’ah
(4/213).
[5] Majmu’ Fatawa (32/269)
[6] Keterangan yang semisal bisa kita dapatkan dalam tafis Ibnu Katsir jilid 2
halaman 246, al Maraghi jilid 5 halaman 175
dan lainnya.
[7] Tafsir Ibnu Katsir (1/747).
[8] Al Umm halaman 158.
[10] Al Muhadzdzab, jilid
(2/ 68)
[11] Al Mushannaf,
4/387)
[12] Al Mushannaf (4/387)
0 comments
Post a Comment