ULAMA JUGA BISA SALAH ; SIKAP KITA ?


            Ustadz saya mau bertanya tentang lafadz hadits dalam kitab bulughul maram berikut ini :

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
            Apakah bunyinya hadits seperti itu ? koq saya merasakan ada kejanggalan pada lafadznya, kenapa sebelum kata ‘al hillu’ tidak ada wawu athaf ?

Jawaban

            Hadits yang antum tanyakan ada dalam kitab Bulughul Maram di nomor hadits ke- 1, yang arti lafadz hadits tersebut adalah : “Rasulullah berkata tentang air Laut : dia suci airnya, halal bangkainya.” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan ini lafadz darinya.

            Kepakaran al imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam ilmu hadits tidak perlu lagi dipertanyakan. Beliau bergelar al Hafidz, dengan hafalan 1 juta hadits  matan berikut rawi-rawinya. Karangan beliau diantaranya yang berjudul Fath al Bari menjadi bukti bagaimana kedalaman dan penguasaan hadits sang imam tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun demikian, beliau tetaplah manusia biasa yang bisa alpa, jika kita telisik kitab yang menjadi karya-karya beliau beberapa sang imam mengalami waham dalam menisbatkan lafaz atau takhrij hadis.

            Menurut para ulama penulisan hadits diatas termasuk waham (kesalahan) yang terjadi dalam kitab Bulughul maram. Buktinya adalah  :

Pertama
            Dalam kitab tersebut al imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menyebutkan bahwa lafaz yang beliau pakai adalah lafaz yang terdapat pada Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, sementara jika merujuk dalam kitab tersebut, lafaz hadits yang ada di sana menyertakan “wawu” sehingga matan hadis berbunyi,

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ والْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci dan halal bangkainya.”

            Kedua

            Sedangkan dalam manuskrip-manuskrip yang dijadikan dasar untuk mencetak kitab Bulughul Maram juga ditulis tanpa “wawu”, sehingga hal ini bisa dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa Ibnu Hajar memang menulisnya tanpa “wawu”.

Beberapa waham ulama

            Waham (kesalahan) bisa terjadi pada para ulama sehebat apapun ilmunya termasuk al hafidz Ibnu Hajar rahimahullah. Karena yang ma’shum terjaga dari segala dosa kesalahan hanyalah para Nabi dan Rasul ‘alaihumussalatu wassalam. Wahm yang berupa kesalahan kecil ini menimpa hampir semua ulama, namun kesalahan itu tidaklah merubah kedudukan mereka yang agung.

Beberapa waham Ulama 

            Banyak sekali waham atau kekeliruan yang dilakukan oleh para ulama, baik dalam bentyk ucapan atau penulisan dalam kitab mereka, berikut diantara contohnya :

            Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan tafsir ayat 125 dari surah An Nahl mengutip sebuah hadits dan mengatakan bahwa hadits itu diriwiyatkan oleh Abu Hurairah, ini adalah wahm (kekeliruan),karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Sa’id al Khudri radhiyallahua’nhu.  

             Al imam as Sakhawi juga tergelincir beberapa kali dalam waham. Contohnya saat beliau menyebut beberapa nama penyempurna kitab al Majmu’ karya an Nawawi dengan sebutan Tajuddin as Subk, padahal orang yang ia maksud adalah Taqiyuddin as Subki.

            As Saqqaf menyebut bahwa kitab Al-Khulashah karya al imam Ghazali adalah ringkasan dari kitab al Wajiz. Ini jelas keliru, karena al Ghazlai sendiri mengatakan bahwa kitab tersebut  sebagai ringkasan dari Mukhtashor Al-Muzani.

            Demikian juga az Zabidi mengatakan bahwa nama asli kitab al Khulashah adalah Khulashatu al Was-il ila ‘Ilmi al-Masail, padahal pengarangnya sendiri menamai kitabnya dengan : Khulashatu al Mukhtashar wa Naqawatu al Mu’’tashar.

Dan masih banyak contoh lainnya.

Penutup      
 
            Hikmah dari adanya kekeliruan para ulama dihidangkan kepada kita, diantaranya agar kita tidak mengkultuskan siapapun. Sikap kita dalam mengikuti ulama harus tetap diiringi dengan cara adil dan kritis namun tidak meremehkan apalagi menjatuhkan kehormatan mereka.

            Ibnu Abdil Barr berkata, “Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia adalah seorang ‘alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya maka dia adalah orang yang jahil.”[1]

Adz Dzahabi berkata, “Kalau setiap kali seorang ulama salah berijtihad dalam suatu permasalahan kita bid’ahkan dan kita jauhi, maka tidak ada seorang pun yang selamat dari perilaku kita tersebut.”[2]

            Jika ulama sekaliber Ibnu Hajar saja bisa salah, apalagi ustadz-ustadz masa kini yang keilmuannya sangat jauh di bawah mereka ? Kemungkinan bisa salah dan ketergelincirannya tentu lebih besar. 

            Maka perilaku bodoh nan konyol bila hari ini kita sampai fanatik buta terhadap  seorang kiyai, ustadz, organisasi, tokoh atau harakah tertentu. Marah membabi-buta kalau guru atau kelompoknya dikritik, namun sebaliknya hobinya mengendus kesalahan ustadz dan kelompok lainnya.

            Atau sikap sebaliknya, sebagian orang begitu mendapatkan kesalahan atau ketergelincirian seorang ulama ia perlakukan seperti tikus got yang ketangkap. Dilecehkan dan direndahkan sehina-hinanya, sirna semua kebaikannya. Karena dalam pandangan kelompok kedua ini, seorang ustadz harusnya seperti malaikat yang tak tak boleh ada kesalahannya.  

Wallahu a’lam.



[1] Jami’ al Bayan (2/48).
[2] Siyar a’lam an Nubala (14/39)

0 comments

Post a Comment