Izin
bertanya ustadz AST, benarkah jika masalah idhul Fitri kita boleh khilaf
sedangkan dalam masalah Idul Adha ulama sepakat wajib mengikut waktu yang
ditetapkan Saudi ?
Ustad
mau tanya puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah itu apakah harus mengikuti wuquf haji ?
Jawaban
Sama sekali tidak benar pernyataan
bahwa khilaf dikalangan para ulama hanya dalam masalah penentuan hari raya Idul
Fitri dan tidak terjadi perbedaan pendapat dalam Idul Adha. Kedua-duanya
termasuk permasalahan khilafiyah, yakni apakah ketika kita berpuasa Arafah dan
berhari raya harus mengikuti waktu di Arab Saudi ataukah mengikuti penanggalan
waktu dari negeri masing-masing.
Bahkan terbalik dengan pernyataan diatas,
justru jika kita kembali kepada para ulama ada dari mereka yang menfatwakan ketika
berhari raya idhul Fitri dan awal puasa harus seragam, yakni mengikuti satu rukyat, namun untuk idhul Adha
boleh berbeda.
Mari
kita simak penjelasannya.
1. Mengikuti
keadaan haji di Arab Saudi
Mayoritas ulama mazhab dari mazhab Hanafiyah,
Malikiyyah dan Hanabilah menganut konsep wihdatul Mathali’, yakni apabila hilal
sudah terlihat disatu negeri maka itu harus diikuti oleh negeri lainnya.[1]
Maka termasuk dalam masalah puasa Arafah ini, msulimin dinegeri manapun wajib
mengikuti keadaan jama’ah haji ditanah suci, untuk urusan puasa Sunnah dan
penentuan hari Nahr.
Pendapat
ini juga yang menjadi pendapat resmi para ulama Saudi, yang tertuang dalam
fatwa lembaga yang ada disana :
يوم عرفة هو اليوم الذي
يقف الناس فيه بعرفة، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك
تصوم هذا اليوم، وإن صمت يوماً قبله فلا بأس
“Hari
arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa arafah
dianjurkan, bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika anda ingin
puasa arafah, maka anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika
anda puasa sehari sebelumnya, tidak masalah.”[2]
Dalil-dalilnya
Banyak
tentunya yang menjadi dalil dari pendapat ini, diantaranya adalah sebuah hadits
dimana Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
Pada hadits yang membicarakan puasa Arafah, jelas Nabi menyandarkan nama puasa kepada hari ‘Arafah bukan kepada tanggal sembilan dzulhijjah.
Dalil selanjutnya adalah tentang
dibahasnya dikitab-kitab apara ulama mengenai puasa ‘Arafah hanya disunnahkan
hanya bagi mereka yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini
mengandung pengertian bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan wuquf.
Jika para hujjaj telah wuquf, maka
pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafah bagi mereka
yang tidak melaksanakan haji.
2. Mengikuti
waktu setempat
Sedangkan ulama mazhab
Syafi’iyyah mengikuti konsep ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’), yakni
masing-masing negeri memiliki rukyat sendiri-sendiri. Sehingga dalam hal
menentukan awal Ramadhan, Syawal dan masuknya bulan Dzulhijjah tidak berpatokan
kepada negeri lainnya termasuk di Arab Saudi.[3]
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Setiap negeri memiliki
penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak
berlaku untuk negeri lainnya.”[4]
Sedangkan dari luar
mazhab Syafi’i konsep perbedaan khusus untuk Idhul Adha juga dipegang oleh salah satu muhaqqiq
dari madzhab Hanafi yakni al imam Al Kasani
al-Hanafi,[5] dan
al imam Az-Zaila’i , sedangkan dari mazhab Maliki adalah al imam Ibnu Abdil
Barr al-Maliki.[6]
الاضحية
فالظاهر أنها كأوقات الصلوات يلزم كل قوم العمل بما عندهم، فتجزئ الاضحية في اليوم
الثالث عشر وإن كان على رؤيا غيرهم هو الرابع عشر والله أعلم.
“Udhiyah (penyembelihan kurban), maka dzahirnya ia seperti waktu-waktu shalat, maka wajib bagi setiap kaum
beramal dengan apa yang ada pada mereka. Maka sah udlhiyah pada hari ke 13
(dzulhijjah) meskipun berdasarkan ru’yah selain mereka adalah hari ke 14
dzulhijjah, wallahu a’lam”.[7]
Syekh
Sulaiman al Jamal berkata :
وكذا
يوم النّحر يوم يضحّي النّاس ويوم عرفة الّذي يظهر لهم انّه يوم عرفة سواء التّاسع
والعاشر لخبر الفطر يوم يفطر النّاس والاضحي يوم يضحّي النّاس
“Demikian halnya hari Nahr adalah hari
orang-orang menyembelih qurban, dan begitu pula hari Arafah adalah hari yang
menurut orang-orang tampak sebagai hari Arafah, meski tanggal 9 dan 10
Dzulhijjah, mengingat hadits, ‘Berbuka (tidak puasa lagi) yaitu hari
orang-orang tidak berpuasa dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih
kurban.”[8]
Sedangkan dari
kalangan ulama Saudi, Syaikh Utsaimin termasuk yang menyokong pendapat ini :
وكذلك
لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم فإنهم
يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة
“Begitu
juga bila ditetapkan hasil rukyat negara itu tertinggal dari Makkah, sehingga
tanggal 9 di Makkah menjadi tanggal 8 di negara itu, maka penduduk negara
itu puasanya pada tanggal 9 menurut negara itu, walaupun itu berarti sudah
tanggal sudah tanggal 10 di Makkah.”[9]
Diriwayatkan dari sebagian istri Nabi shallallahu'alaihi wasallam :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
”Dahulu
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam berpuasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah,
hari ‘Asyuraa’, dan tiga hari setiap bulan yaitu hari senin pada awal bulan dan
dua hari kamis.” (HR.
Abu Daud dan Tirmidzi)
Hadits tersebut dengan jelas
menyebut tanggal 9 Dzulhijah, dan ini menunjukkan bahwa puasa Arafah telah
dikerjakan oleh Nabi shalallahu’alaihi wassalam bahkan sebelum beliau bisa melakukan
wuquf dalam ibadah haji.
Dalil selanjutnya adalah perkataan
ummul mukminin Aisyah yang mengatakan : “Hari menyembelih qurban adalah hari
di mana manusia menyembelih qurban dan hari Idul fithri adalah hari di mana
manusia beridul fithri.”
Sisi pendalilannya adalah : Jika
saat idul Fitri muslimin mengikuti kebiasaan pemerintah setempat, maka hal yang
sama juga hendaknya dilakukan untuk idul Adha dan rangkaian ibadah yang terkait
tentangnya.
Penutup
Walhasil
masalah ini murni ranah khilafiyah. Tidak sepantasnya dalam masalah furu’iyah
kita saling menjatuhkan dan melecehkan pendapat orang lain yang berbeda pilihan. Masing-masing kita haru saling menghargai, yang
mengikuti waktu sebagaimana rangkaian ibadah haji ditanah suci tentu tidak
keliru, dan yang mengikuti penetapan waktu di Indonesia juga tidak bisa
disalahkan.
Wallahu a’lam.
[1] Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu (2/605), Fathul
Baari (4/123).
[2] Fatawa Lajnah Daimah, no.
4052.
[3] Majmu’
Syarh Muhadzdzab (6/273).
[4] Syarh Shahih Muslim (7/175).
[5] Badai’u ash-Shanai’ (2/579)
[6]
Al Istidzkar (10/30).
[7] Hasyiah
Radd al Muhtaar (2/432)
[8] Futuhatul Wahhab (2/460).
[9] Asy-Syarh al Mumti’ (6/309).
0 comments
Post a Comment