QURBAN UNTUK ORANG YANG TELAH MENINGGAL


Ustadz, apa hukum berqurban  yang diniatkan untuk kedua orang tua yang telah meninggal ? 
 
Jawaban 

       Ulama bersepakat kebolehan menyembelih hewan Qurban  yang pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia bila itu adalah wasiat si mayit semasa hidupnya, artinya Qurban itu kedudukannya untuk memenuhi wasiat tersebut.[1]  Namun  mereka berbeda apabila tidak diwasiatkan, murni inisiatif dari anaknya atau orang lain yang masih hidup. Menurut mayoritas ulama tidak sah, sedangkan sebagian ulama berpendapat hal ini dibolehkan.

Yang membolehkan
      Kalangan Hanafiyah dan Hanabilah adalah yang berpendapat bahwa hal ini dibolehkan. Karena dua madzab ini memandnag Qurban hukumnya adalah seperti sedekah yang mana sedekah yang pahalanya untuk mayit disepakati kebolehannya.[2]
     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Diperbolehkan menyembelih Qurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal.”[3]

Yang tidak membolehkan
     Sedangkan umumnya para ulama mazhab Malikiyah dan Syafi’iyyah mengatakan tidak sah Qurban untuk orang yang telah meninggal dunia.[4]  Karena dalam pandangan ulama kelompok ini, berqurban untuk orang meninggal adalah bentuk mengalihkan amal ibadah dialihkan kepada pihak lain yang dilarang oleh keumuman ayat surah an Najm ayat 39  :
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS. An Najm : 39)

Berkata al imam Nawawi rahimahullah :  “Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat.”[5]

    Lalu bagaimana jika niat berqurban itu diambilkan dari harta si waris meskipun bukan wasiat ?

    Kalangan Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan, ulama Malikiyah memakruhkan sedangkan madzab Syafi’iyyah mutlak tidak membolehkan Qurban untuk orang yang telah meninggal dunia yang tanpa wasiat.[6]

            Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (5/106).
[2] Darr al Mukhtar (5/229), Kasyaful Qina’ (3/18).
[3] Majmu Al Fatawa (26/306).
[4] Mughni al Muhtaj (4/292), al Mahalli ‘ala al Minhaj (4/255).
[5] Minhaj ath-Thalibin (3/333).
[6] Al Bada’i (5/72), Hasyiah Ibn Abidin (5/214), Hasyiah ad Dusuqi (2/122), Nihayatul Muhtaj (8/136), al Mughni ‘ala Syarh al Kabir (11/107).

0 comments

Post a Comment