MENGHINA AGAMA DENGAN TIDAK SENGAJA


            Bagaimana menafsirkan At-Tawbah ayat 66 : "Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman..."?  

            Dalam kasus Ust. Hannan Attaki dulu itu, ketika beliau minta maaf atas kesalahannya, ada sebagian kalangan yang mengutip ayat tadi tadz.

Jawaban 

            Istihza' adalah sikap seseorang yang menghina, mengejek, dan mengolok-olok Allah dan semua hal yang terkait dengan syariatNya. Dalam pembahasan kitab-kitab fiqih, selain Istihza’ istilah yang digunakan untuk masalah ini adalah Istikhfaf, yang arti secara bahasa : meremehkan sesuatu.[1]
            Isitihza’ hukumnya sangat berat dalam pandangan syariat, karena pelakunya langsung dihukumi murtad keluar dari Islam. Bahasan tentang masalah ini bisa disimak pada tulisan kami tentang : Istihza’
 
            Lalu bagaimana bila pelakunya tidak sengaja ketika melakukan perbuatan yang masuk kategori menghina agama ? Ulama membagi kasusnya menjadi dua bagian, yakni  pertama melakukannya dengan tujuan bercanda, dan kedua, karena eliru dalam perkataan, berikut bahasannya.

1.     Tujuan bercanda
            Ulama sepakat bahwa menghina agama seperti merendahkan Allah dan rasul-rasulNya, atau para malaikatNya, atau kitab-kitabNya atau sebagian dari ajaran Islam meski itu dilakukan dengan main-main atau bercanda hukumnya haram dan pelakunya dijatuhi hukum murtad.[2] Dasarnya adalah firman Allah ta’ala : 

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah : 65-66)

            Diantara contoh ucapan yang bisa menjatuhkan seseorang dalam mengolok-olok agama semisal dengan memelesetkan lafadz adzan “Haya’alashalah” dengan mengatakan : “Hanya hayalan saja” atau ketika membaca ayat : “farka’u ma’a ar roki’iin” diplesetkan menjadi : “Dan merokoklah bersama orang-orang yang merokok” dll.

            Imam Ibnu Qudamah berkata : ”Barangsiapa yang menghina Allah ta’ala maka dia telah kafir baik dalam keadaan bercanda ataupun sungguhan (serius), begitu pula menghina Allah (langsung), atau dengan ayat-ayat-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya.”[3]
            Ibnul Jauzi berkata : “Bersungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama.”[4]
 
2.     Keliru dalam perkataan
            Adapun melakukan istihza’ karena sebab keliru dalam ucapan atau tidak tepat dalam memilih kata, karena sebab – sebab tertentu seperti karena saking gembiranya atau ingin memuji tapi malah mencela, atau karena sebab terkejut, maka tidak dihukumi murtad pelakunya.[5]

            Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini : Sungguh Allah Azza wa Jalla lebih bahagia dengan taubat seorang hamba ketika dia bertaubat kepadaNya dibandingkan kebahagiaan yang dirasakan oleh seseorang yang sedang berada disebuah tanah tandus gurun, lalu hewan tunggangannya itu hilang, padahal bekal makanan dan minumannya berada pada hewan tersebut. Akhirnya ia berputus asa. Lalu dia mendatangi sebatang pohon, dia berbaring dibawah bayangan pohon tersebut dalam keadaan putus asa. Ketika dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba hewan tunggangannya yang carinya itu ada didekatnya. Melihatnya, dia bergegas memegang tali kekang hewan tunggangannya itu kemudian karena sangat bahagianya, dia mengatakan, “Wahai Allah! Engkaulah hambaku dan akulah Rabbku.” Dia salah ucap karena saking gembiranya.(HR. Muslim)

            Bagaimana bila ketidaksengajaan itu disebabkan karena dalam kondisi sangat marah sehingga tidak sadar meremehkan atau mencela agama ?

            Umumnya para ulama menghukumi bahwa isitihza’ dalam kondisi sedang marah yang tidak terkontrol tidak menjatuhkan seseorang kedalam hukum murtad, hal ini didasarkan kepada firman Allah ta’ala :

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. ..” (QS. Al-Baqarah : 225)

Kasus yang ditanyakan

            Unsur sengaja atau tidak sengaja dalam melakukan penghinaan kepada agama bisa diketahui dari pernyataan yang bersangkutan apakah dia meniatkan atau tidak. Setelah itu, bisa diketahui dari track recordnya, karena bisa saja dia berdusta dengan niatnya. 

            Jika kita ketahui bahwa sosok yang tertudug adalah orang yang berkhidmat pada dakwah, memiliki peran dalam menebarkan ilmu, kebaikannya banyak sedangkan kesalahannya bisa dhitung dengan jari, maka itu cukup menjadi pembuktian kebenaran akan niatnya tersebut.

            Berbeda kasusnya jika si pelaku pelecehan agama tersebut adalah orang fasik lagi memusuhi Islam, tentu dia akan mengatakan saat menghina Islam tidak meniatkan untuk menghina, tentu saja agar ia lepas dari jerat hukum.

            Ustadz Hanan telah memberikan klarifikasi dengan sangat jelas, misalnya ketika ia menyebut nabi Musa ‘alaihissalam dengan ‘preman’ dia bermaksud hendak mengungkapkan kehebatan Nabi Musa dari sisi tenaga atau fisiknya.

            Maka jelaslah bahwa kekeliruan beliau dalam hal ini adalah dalam memilih diksi yang tidak tepat, itu salah dan kesalahannya telah beliau akui. Dan memang demikianlah keadaannya, setiap orang ,hatta para ustadz hingga ulama sekalipun pasti bisa melakukan kesalahan dan ada saatnya mereka mengalami ketergelinciran lisan. Maka sangat tidak bijak jika kita menjadikan kekurangan mereka sebagai sasaran tembak, yang justru akan menjadikan umat menjauh dari dakwah dan kebaikan yang banyak.

Al Imam Mula Ali Qori berkata :

إذا وُجد تسعة وتسعون وجهًا تشير إلى تكفير مسلم، ووجه واحد إلى إبقائه على إسلامه فينبغي للمفتي والقاضي أن يعمل بذلك الوجه، وهو مستفاد من قوله: (ادرءوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم، فإن وجدتم للمسلم مخرجًا فخلوا سبيله، فإن الإمام لأن يخطئ في العفو خير له من أن يخطئ في العقوبة
“Bila didapatkan sembilan puluh sembilan sisi yang mengisyaratkan untuk mengkafirkan seorang muslim, kemudian didapatkan satu sisi untuk menetapkannya dalam keislaman, maka seyogyanya bagi seorang mufti (juru fatwa) dan seorang hakim untuk mengamalkan yang satu sisi tersebut. Faidah ini diambil dari sabda Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- : "Hindarilah hukuman had dari kaum muslimin semampu kalian, jika ia mempunyai jalan keluar maka lepaskanlah ia. Karena sesungguhnya seorang imam salah dalam memaafkan lebih baik daripada salah dalam menjatuhi hukuman."[6]

Al Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata :

ليس يكاد يفلت من الغلط أحد؛إذا كان الغالب على الرجل الحفظ فهو حافظ وإن غلط؛وإذا كان الغالب عليه الغلط ترك
Hampir tidak mungkin ada seorang yang lepas dari kesalahan. Apabila keterjagaan (terhadap riwayat hadits) pada diri seseorang lebih dominan, maka dia seorang hafidz (yang hafal) walaupun dia (kadang atau punya sedikit) kesalahan. Dan jika kesalahannya lebih dominan, maka ditinggalkan riwayatnya.[7]

Wallahu a'lam.

[1] Lisanul ‘Arab خفف
[2] Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah (4/208), Al Mausu’ah fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (4/266).
[3] Al Mughni (12/297).
[4] Zaadul Masiir (3/465).
[5] Al Mausu’ah fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (13/230).
[6] Syarhu asy Syifa (2/502)
[7] Syarh Ilalut Tirmidzi  (1/399)

0 comments

Post a Comment