TIDAK YAKIN SEMBELIHAN SAH ATAU TIDAK


            Ustadz, jika kita berada disuatu tempat asing di pasarnya kita membeli daging, tapi tidak mengetahui secara pasti apakah disembelih dengan cara yang sah atau tidak, halalkah daging tersebut ?
Jawaban

            Kasus yang ditanyakan ini perlu dirinci terlebih dahulu, yakni makna tempat asing yang dimaksud. Pertama, jika yang dimaksud asing disitu adalah sekedar tidak mengenal penyembelihnya dengan baik, apakah membaca basmalah atau tidak, tapi ditahui pasti bahwa orang-orang disitu adalah umat Islam karena  tempat tersebut adalah komunitas muslimin, maka hukum dagingnya adalah halal.

            Berkata al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah : 

أن كل ما يوجد في أسواق المسلمين محمول على الصحة ، وكذا ما ذبحه أعراب المسلمين ؛ لأن الغالب أنهم عرفوا التسمية ، وبهذا الأخير جزم ابن عبد البر فقال : فيه أن ما ذبحه المسلم يؤكل ويحمل على أنه سمَّى ؛ لأن المسلم لا يظن به في كل شيء إلا الخير ، حتى يتبين خلاف ذلك
“Daging yang beredar di pasar kaum muslimin dipahami sebagai daging yang sah (sembelihannya). Demikian pula hewan yang disembelih kaum muslimin baduwi pedalaman. Karena umumnya, mereka paham tentang tasmiyah (membaca basmalah ketika menyembelih). Keterangan ini yang ditegaskan Ibnu Abdil Bar. Beliau menyatakan, bahwa apa yang disembelih kaum muslimin boleh langsung dimakan dan diyakini dia membaca basmalah ketika menyembelih. Karena tidak boleh memberikan persangkaan kepada seorang muslim kecuali yang baik. Sampai kita mendapatkan bukti sebaliknya.”[1]

            Kasus kedua yang dimaksud dengan asing disitu adalah tidak diketahui keislaman masyarakatnya, para penjual daging di tempat tersebut bercampur antara muslim dan nonmuslim, maka tentang hal ini ulama berbeda pendapat.

1.     Halal

            Sebagian ulama berpendapat jika daging itu meragukan apakah disembelih secara sah atau tidak, maka hukumnya halal, dengan terlebih dahulu membaca basmallah sebelum mengkonsumsinya.

            Berkata Ibnu Taimiyyah : “Jika seseorang tidak mengetahui apakah yang menyembelih menyebut nama Allah atasnya atau tidak, maka boleh baginya untuk memakan daging sembelihan itu. Kecuali jika dia yakin (mengetahui) bahwa tidak dibacakan nama Allah atasnya, maka janganlah dia memakannya.”[2]

            Pendapat ini disandarkan kepada Hadits Nabi berikut ini :

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

“Bahwasanya suatu kaum berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang yang baru masuk Islam datang dengan membawa daging sedangkan kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atasnya atau tidak. Maka Beliau menjawab : ‘Bacalah oleh kalian nama Allah atasnya, kemudian makanlah’.”

2.     Dilihat dari sisi mayoritas

            Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa jika tempat tersebut dihuni oleh mayoritas muslimin, dimana jumlah orang kafirnya tidak terlalu banyak, maka hukum dagingnya dipandang halal. Sebaliknya jika umat Islamnya minoritas, maka daging sembelihan ditempat tersebut dipandang haram.[3]

Dalil pendapat ini adalah kaidah ushul yang mengatakan :

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ 
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.”

3.     Haram sampai ada kejelasan

            Pendapat ketiga dari para ulama adalah menetapkan keharaman status daging seperti itu. Berkata Ibnul Qoyim : “Mengingat hukum asal dalam sembelihan adalah haram, dan diragukan apakah memenuhi syarat sembelihan yang benar ataukah tidak, maka binatang kembali kepada hukum asalnya, yaitu haram.” [4]

            Pendapat ini berdalil dengan hadits berikut ini : “Jika kamu melepas anjing pemburu, kamu membaca Basmillah, lalu dia berhasil menangkap dan mematikan buruannya, silahkan kamu makan. Dan jika anjingmu menangkap buruan itu lalu dia makan sebagian, jangan kamu makan. Karena berarti dia menangkap untuk dirinya sendiri. Jika turut bergabung anjing lain yang ketika berburu tidak dibacakan nama Allah, lalu mereka berhasil menangkapnya dan membunuh buruannya, jangan kau makan. Karena kamu tidak tahu, anjing mana yang membunuh binatang buruan itu.” (HR. Bukhari)

            Kalangan ulama yang menetapkan keharamannya ini juga menyanggah pendalilan kelompok pertama dari hadits Aisyah diatas, Perintah untuk membaca basmalah adalah membaca basmalah ketika makan. Bukan membaca basmalah dalam rangka menghalalkan daging itu. Tentu bacaan basmalah setelah hewan disembelih, tidak memberi pengaruh apapun.

Kesimpulan
           
Walhasil, ulama berbeda pendapat tentang hukum sembelihan yang tidak diketahui apakah orang Islam atau orang kafir yang menyembelihnya. Ada baiknya kita memcari informasi terlebih dahulu tentang hal ikhwal daging dipasar tersebut, jika itu tidak bisa kita lakukan, lebih baiknya meninggalkan demi kehati-hatian. Sebagaimana washiat al Musthafa shalallahu’alahi wassalam :

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُك

 “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi)


Wallahu a'lam.

[1] Fathul Bari (9/635)
[2]Majmu’ Fatawa (35/240):
[3] Hasyiyah Bujairami ‘Ala al-khatib (13/130).
[4] I’lamul Muwaqqi’in (1/340).

0 comments

Post a Comment