HAK ORANG TUA ATAS HARTA ANAK

 
         Ustadz saya galau terkait penggunaan harta anak kandung. Benarkah ketika anak meski belum taklif maka orangtua tidak boleh menggunakan harta anak, dan kalaupun terpakai harus di ganti oleh orang tua. Contoh kasus misalnya ketika anak lahir, kan banyak kado dan amlpop biasanya, nah harta itu milik anak dan orang tua tidak boleh memakainya dan pemanfaatannya harus untuk anak tersebut.

            Faktanya amplop anak saya ketika lahir saya gunakan untuk aqiqahnya dan itupun cuma sedikit bisa menutupi anggaran aqiqah yang kami keluarkan, jika ada lagi saya pake untuk membeli pempesnya dan saya pake juga untuk biaya makan dirumah sekeluarga. 

            Uangnya sudah habis ustadz, apa saya dan suami saya wajib mengganti ke anak – anak saya ? Apa saya sampaikan ke anak-anak bahwa dulu mereka punya harta dan kami sudah belanjakan untuk ini dan itu sehingga mereka mengikhlaskan dan kami sudah tak perlu mengganti lagi ? Mohon penjelasannya ustadz.

Jawaban:
             Ada beberapa hadits yang berbicara tentang permasalahan ini diantaranya :
            Ada seseorang mendatangi Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak. Namun orang tuaku membutuhkan hartaku. Rasulullah kemudian menjawab,
أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ
Engkau dan hartamu adalah milik orang tuamu. Sesungguhnya anak-anakmu adalah sebaik-baik hasil usahamu. Makanlah dari hasil usaha anak-anakmu.” (HR. Abu Daud)
             Sedangkan dalam riwayat lain,
وَلَدُ الرَّجُلِ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِهِ فَكُلُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Anak seseorang itu adalah hasil dari usahanya, itu adalah sebaik-baik usahanya. Maka makanlah dari harta mereka.” (HR. Abu Daud)

            Berdasarkan dalil diatas, ayah dari seorang anak, memiliki hak atas harta anak-anaknya, baik ketika anak itu masih kecil, maupun ketika telah dewasa dan bisa mencari nafkah dengan usahanya sendiri. Ulama hanya berbeda pendapat dalam rincian hak tersebut, apakah itu bersifat mutlak atau terbatas, mari kita simak penejelasannnya.

1.     Berhak dikala membutuhkan

            Mayoritas ulama yakni dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa hak seorang ayah atas harta anak baik ketika masih kecil atau telah dewasa adalah ketika dia membutuhkan harta tersebut untuk keperluan nafkahnya, seperti kebutuhan harian. Untuk jenis kebutuhan asasinya, seorang ayah boleh mengambil harta anaknya meskipun tanpa izin dan ridhanya.[1]

            Adapun untuk keperluan selain itu, maka ia harus meminta izin kepada anaknya. Hanya jika anak itu masih kecil, si ayah atau juga walinya yang lain boleh membelanjakan harta untuk keperluan si anak dan berhak mengaturnya. Hal ini karena dia masih belum tamyiz, sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Dan janganlah kalian serahkan – kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya – harta (mereka yang ada dalam wewenangmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS. An-Nisa: 5)

2. Berhak secara mutlak
            Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan kalangan Dzahiri berpendapat, hak seorang bapak atas anaknya bersifat mutlak. Dia boleh menggunakan harta anaknya untuk keperluan apapun.[2] Berkata al imam Ibnu Qudamah al Maqdisi : Boleh saja seorang ayah mengambil harta anaknya semaunya untuk ia miliki, apalagi  jika itu adalah hal yang ia butuhkan. Dan tetap dibolehkan meskipun hal itu bukan hajat pentingnya. Ayah tersebut boleh mengambil harta tersebut dari anaknya yang masih kecil maupun dewasa.[3]
           
            Hak ayah ini hanya berbatas yakni tidak sampai memusnahkan harta si anak, atau mendzaliminya. Semisal orang tua menjadi kaya raya dan hidup enak sedangkan sianak termiskinkan dan hidup sengsara padahal harus menanggung nafkah keluarganya.

Bagaimana untuk seorang ibu ?

            Ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini. Sebagian ulama berpendapat kedudukan ibu seperti halnya ayah dalam hak atas harta anak-anaknya, sedangkan sebagian berpendapat hadits-hadits diatas hanya berlaku untuk ayah dan tidak bisa diqiyaskan kepada ibu.

             Ibnu Hazm menukil perkataan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dalam kitabnya al Muhalla :  “Ayah dan ibu boleh mengambil harta anaknya tanpa izin si anak.”
            Sedangkan Ibnu Qudamah berpendapat : “Hadits diatas tidak boleh dikiaskan untuk orang lain selain ayah, karena seorang ayah punya wewenang atas anaknya dan hartanya bila anak itu masih kecil.”[4]
            Namun demikian para ulama sepakat bahwa kedua orang tua, memiliki hak yang sama dalam masalah nafkah dari anak-anaknya jika membutuhkan.[5]
Kasus yang ditanyakan

            Untuk kasus yang ditanyakan, maka tidak perlu bagi orang tua untuk meminta izin kepada anak-anaknya. Karena penggunaan harta milik sianak tersebut dilakukan secara ma’ruf, tidak ada unzur kedzaliman  dan juga untuk keperluannya.

            Ibnu Taimiyah berkata, “Seorang ayah boleh mengambil harta anaknya tanpa seizinnya, yakni sebatas kebutuhannya. Anak tidak punya hak untuk melarangnya.”[6]

            Jika untuk kebutuhan dan keperluan orang tua dibolehkan, tentu akan lebih boleh lagi jika itu menyangkut keperluan sianak.  Wallahu a’lam.

Wallahu a’lam.


[1] Majmu’ Syarh al Muhadzab (15/384).
[2] Al Muhalla (6/85).
[3] Al Mughni (8/272).
[4] Al Mughni (5/397).
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (41/74).
[6] Majmu’ Fatawa (34/102).

0 comments

Post a Comment