Ustadz
AST, saya mau bertanya, kalau pasien yang dirawat dengan dipasang infus dan
kateter urin itu seperti apa ya ? Apa tetap wajib shalat ?
Jawaban
Ulama sepakat berpendapat bahwa kewajiban shalat
tidak gugur dari seseorang ketika dalam keadaan apapun semisal sakit, tua dan
udzur lainnya, selama akalnya masih sempurna.[1]
Hanya kemudian kewajiban agama itu
dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan. Bila seseorang misalnya tidak bisa
shalat sambil berdiri, dia boleh shalat sambal duduk, berbaring dan bahkan
dengan isyarat jika telah tidak mampu menggerakkan badannya.
Hal
ini berdasarkan hadits dari Imran Bin Husain radhiyallahu
‘anhu:
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ
فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ
“Pernah
penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu‘alaihi wasallam
tentang cara shalatnya. Maka beliau menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila
tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga, maka shalatlah sambal
berbaring.” (HR. Bukhari)
Jika
kita urai dari kasus yang ditanyakan, ada dua penjelasan :
1. Keadaannya yang lemah
Jika
berat untuk mengerjakan shalat sambil berdiri, maka pasien tersebut bisa shalat
sambil berbaring, dengan gerakan semampu yang ia lakukan. semisal apabila tidak
bisa ruku’ atau sujud cukup dengan menundukkan anggota badannya. Dan untuk
proses berwudhunya bisa dengan dibantu orang lain. Jika tidak bisa dibasuh,
maka cukup diusap-usapkan saja air keanggota tubuh. Jika tidak bisa menggunakan
air, bisa dengan tayamum.
Shalat
seseorang yang dikerjakan dengan keadaan seperti ini dihukumi oleh para ulama
telah sah, dia tidak perlu lagi mengerjakan shalat dikemudian hari yang
bertujuan untuk menyempurnakan shalatnya tersebut.[2]
2. Membawa najis
Solusinya
jika memungkinkan, kateter dilepas saat akan shalat. Dan agar tidak
memberatkan, shalat bisa dilakukan dengan menjama’, sehingga lebih meringankan karena
tidak harus terlalu sering melepaskan kateter. Jika hal ini tidak bisa
dilakukan, maka tetap shalat seperti biasa, hanya kemudian, shalat yang
dikerjakan tersebut (dengan keadaan memakai kateter) harus diqadha dilain waktu
bila telah sehat.
Mengapa
demikian ?
Karena
dalam pandangan jumhur ulama, yakni kalangan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah shalat orang yang mutanajis dihukumi sebagai shalat yang tidak sah
dan jika dia tetap mengerjakannya dihukumi sekedar untuk menghormati waktu. Karenanya
dia masih wajib mengganti secara sempurna shalatnya bila telah mampu
melakukannya.[3]
Dasar
pewajiban mengulang shalat ini adalah bahwa bersuci itu syarat mutlak untuk
diterimanya ibadah seperti shalat, maka ketika tidak bisa ditunaikan dia harus
mengganti dilain waktu.
Sedangkan
kalangan mazhab Malikiyah berpendapat, dia tidak wajib mengganti shalatnya. Karena
kewajiban bersuci bagi orang yang akan shalat itu berkaitan dengan kemampuan
melakukannya. Jika dia mampu karena suatu udzur, maka gugurlah kewajiban untuk
bersuci.[4]
Hal ini disandarkan kepada firman Allah :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Qs.
At-Taghabun:16)
Sedangkan
jumhur ulama memaknai bahwa ayat diatas tidak bisa menjadi legalitas pengguguran
kewajiban shalat yang tidak sempurna cara bersucinya. Bentuk taqwa semampunya yang
diperintahkan oleh ayat itu diwujudkan dengan shalat seadanya (menghormati
waktu), tapi tidak berkaitan dengan mengulang shalatnya. Karena mengulang
shalat karena suatu sebab itu dibolehkan bahkan diperintahkan sebagaimana
disebutkan dalam hadits, ketika ada beberapa orang yang tidak ikut shalat di
masjid karena telah menunaikannya diperjalanan, maka Nabi shalallahu’alaihi
wassalam menegur :
إِذَا جِئْتَ إِلَى
الصَّلَاةِ فَوَجَدْتَ النَّاسَ فَصَلِّ مَعَهُمْ وَإِنْ كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ
تَكُنْ لَكَ نَافِلَةً وَهَذِهِ مَكْتُوبَةٌ
"Apabila kamu
datang ke shalat jama'ah, lalu kamu mendapati orang-orang sedang shalat, maka
shalatlah bersama mereka, meskipun kamu telah shalat, shalatmu itu sebagai
nafilah (shalat sunnah) bagimu, dan yang ini menjadi yang wajib."
(HR. Abu Daud)
Jika
mengulang shalat karena kondisi seperti diatas diperintahkan oleh Nabi, tentu
mengulang shalat karena kondisi yang lebih berat lebih diperintahkan lagi.
Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment