Ustadz, seorang istri ingin selalu
shalat diawal waktu
namun suami shalatnya ditengah waktu bahkan diakhir waktu. Ketika istri sudah shalat dan
melihat suami shalat, dia ikut bermakmum dengan niat qadha shalat. Hal ini
dilakukan agar suami dapat pahala shalat berjama’ah, juga agar suami mendapat
hidayah shalat diawal waktu, lebih-lebih shalat ke masjid.
Pertanyaan saya, bolehkah
melakukan itu ?
Jawaban
Semoga rahmat
dan kasih sayang Allah dilimpahkan kepada ibu dan semua rumah tangga umat
Muhammad shalallahu’alaihi wassalam.
Seorang
laki-laki yang sehat jasmani dan rohaninya diperintahkan oleh syariat untuk
menunaikan kewajiban shalat lima waktu di masjid. Hal ini sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits :
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا
مِنْ عُذْرٍ
“Siapa
yang mendengar panggilan adzan lalu tidak mendatanginya (untuk shalat
berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan.” (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan
permasalahan yang kedua, yakni perilaku mengundur-undur atau menunda dari mengerjakan
shalat tanpa udzur syar’i adalah perbuatan yang dicela. Allah ta’ala berfirman
: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Maa’uun: 4-5).
Para ulama
menjelaskan bahwa diantara bentuk melalaikan shalat yang dimaksudkan dalam ayat
diatas adalah menunda-nunda pelaksanaannya sampai akhir waktu shalat tersebut.
Hukum
mengerjakan shalat wajib dua kali
Secara asal,
shalat wajib tidak boleh dikerjakan secara berbilang, yakni lebih dari sekali. Berdasarkan
ketetapan beberapa dalil diantaranya :
لَا
تُصَلُّوا صَلَاةً فِي يَوْمٍ مَرَّتَيْنِ
“Janganlah kalian shalat dua kali dalam sehari”. (HR. Abu Daud)
Namun ulama menjelaskan bahwa larangan mengerjakan shalat wajib dua kali
dalam hadits ini adalah bila kedua shalat yang dikerjakan tersebut berniat sebagai shalat wajib. [1] Para ulama membolehkan adanya pengulangan shalat wajib dalam beberapa kondisi,[2] yakni
:
1.
Shalat sendiri lalu bertemu shalat
berjama’ah.
Bila seseorang menunaikan telah mengerjakan shalat sendiri, lalu pergi ke
masjid dan mendapatkan disana ada shalat berjama’ah, maka disunnahkan turut mengerjakan
shalat. Dalilnya :
عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَسْوَدِ الْعَامِرِيُّ ، قَالَ:
شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّتَهُ، فَصَلَّيْتُ
مَعَهُ صَلَاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ، قَالَ: فَلَمَّا قَضَى
صَلَاتَهُ وَانْحَرَفَ، إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي أُخْرَى الْقَوْمِ لَمْ
يُصَلِّيَا مَعَهُ. فَقَالَ: " عَلَيَّ بِهِمَا " فَجِيءَ بِهِمَا
تُرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا، فَقَالَ: " مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا
مَعَنَا ؟ " فَقَالَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا قَدْ صَلَّيْنَا
فِي رِحَالِنَا، قَالَ: " فَلَا تَفْعَلَا إِذَا
صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا، ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا
مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ "
“Dari Yaziid
bin Al-Aswad Al-‘Aamiriy, ia berkata : Aku pernah melaksanakan haji bersama
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Lalu aku shalat Shubuh bersama
beliau di masjid Al-Khaif. Ketika beliau selesai melaksanakan shalatnya dan
berpaling, ternyata ada ada dua orang laki-laki dari kaum lain yang tidak ikut
shalat berjama'ah bersama beliau. Maka beliau bersabda : "Bawalah dua
orang itu kepadaku!". Mereka berdua dibawa ke hadapan beliau, sedang mereka dalam keadaan gemetaran. Beliau shallallaahu‘alaihi
wasallam bersabda : "Apa yang menghalangi kalian untuk shalat
berjama’ah bersama kami?". Mereka menjawab : “Wahai Rasulullah, kami
telah shalat di tempat kami". Beliau kembali bersabda : "Janganlah kalian lakukan (lagi). Apabila kalian telah
melaksanakannya di tempat kalian, lalu kalian datang ke masjid yang di dalamnya
sedang melaksanakan shalat berjama'ah, maka shalatlah bersama mereka, karena
shalat tersebut bagi kalian adalah naafilah”. (HR. Abu Daud)
2.
Untuk menemani orang yang
shalat sendiri.
Dari Abu Sa’id Al Khudri
bahwasanya ada
seseorang yang datang sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
selesai dari shalat, lalu beliau mengatakan kepada para sahabat,
أَلاَ
رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّىَ مَعَهُ
“Siapakah
yang mau bersedekah untuk orang ini, yaitu melaksanakan shalat bersamanya?” (HR. Abu Daud)
3.
Penguasa mengakhirkan shalat
عَنْ أَبِي
ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ: كَيْفَ أَنْتَ، إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ
أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا، أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ
عَنْ وَقْتِهَا؟ قَالَ: قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ،
فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Telah
bersabda kepadaku Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam : “Bagaimana
pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan
shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?”. Abu Dzarr
berkata : “Aku berkata : ‘Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?”. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lakukanlah shalat tepat
pada waktunya. Apabila engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah
(bersamanya). Sesungguhnya ia dihitung bagimu sebagai shalat naafilah (sunnah).” (HR.
Muslim)
Dari penjelasan diatas, jawaban atas kasus yang ditanyakan adalah : Boleh
menemani suami shalat berjama’ah dengan niat shalat sunnah, bukan qadha shalat.
Khatimah
Hendaknya sang istri senantiasa
berusaha menyampaikan nasehat secara lembut kepada suaminya tersebut, agar ia mau
menunaikan shalat wajib berjama’ah di masjid. Dan ia juga bisa meminta tolong
ulama atau siapapun yang dipandang mampu untuk mendakwahinya. Insyaallah berkah
kesungguhan dan niat yang tulus dalam menasehati, Allah pasti akan membukakan
hati sang suami.
وَذَكِّرْ
فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi
peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. adz-Dzariyat: 55)
Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment