Saya sudah baca tulisan usatadz
tentnag perbedaan pendapat tentang melafadzkan niat, dimana mayoritas ulama
mengatakan itu boleh bahkan disunnahkan sedangkan sebagian ulama lainnya
menyatakan tidak ada kesunnahan.
Saya minta dalil dan penjelasan dari mayoritas
ulama dalam masalah ini ustadz, karena pihak yang tidak melafdzkan sering
menuding kita tidak berdalil.
Jawaban
Mayoritas ulama sepakat
berpendapat bahwa niat itu tempatnya di hati, dan niat tetap sah meskipun tidak
diiringi dengan ucapan di lisan.[1]
Dan melafadzkan
niat dalam pandapangan ulama yang membolehkan hanya sekedar hal mubah, atau
perkara yang dipandang baik, tidak ada kaitannya dengan sah atau tidak sahnya
niat.
Berkata al
imam Nawawi rahimahullah :
ومحل
النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضاره
“Dan tempat niat itu di dalam
hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, namun disukai diucapkan oleh lisan agar dapat
membantu hati dalam menghadirkan niat.”
Adapun dalil yang digunakan oleh para ulama ketika berpendapat bahwa
melafadzkan niat hukumnya dibolehkan adalah sebagai berikut :
1. Nabi
melakukan menjaharkan niat
hajinya
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
“Dari sahabat Anas ra berkata :
“Saya mendengar Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam mengucapkan “Aku memenuhi
panggilan-Mu untuk mengerjakan umrah dan haji.” (HR. Muslim)
Sayid Sabiq rahimahullah berkata, salah seorang sahabat ada yang berkata, aku mendengar
Rasulullah berkata :
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ
الْحَجَّ
“Saya niat mengerjakan ibadah
Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji.”[2]
Dalam hadits lainnya riwayat Aisyah bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui Dhuba’ah binti Az Zubair, lalu beliau bersabda:
لَعَلَّكِ
أَرَدْتِ الْحَجَّ قَالَتْ وَاللَّهِ لَا أَجِدُنِي إِلَّا وَجِعَةً فَقَالَ لَهَا
حُجِّي وَاشْتَرِطِي وَقُولِي اللَّهُمَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي وَكَانَتْ
تَحْتَ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ
“Sepertinya kamu ingin menunaikan
ibadah haji.” Ia pun berkata, “Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku kecuali
sakit.” Beliau pun bersabda: “Tunaikanlah haji, dan berilah syarat. ucapkan: “Ya Allah, tempatku adalah di tempat
Engkau menahanku.”(HR.Bukhari)
Dalam mengomentari hadits diatas Ibnu Qudamah
berkata : Pertama, hadits diatas
menunjukkan adanya makna ini (yakni melafalkan niat haji) atau kedua; Cukup
niat saja –tanpa pelafalan.[3]
2. Malaikat
memerintahkan Nabi melafadzkan niatnya
Dari Ibnu Umar, bahwasanya
rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda :
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّيْلَةَ أَتَانِي آتٍ
مِنْ رَبِّي وَهُوَ بِالْعَقِيقِ أَنْ صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ
وَقُلْ عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
“Malam ini Malaikat yang diutus oleh Rabbku
datang kepadaku”. Saat itu Beliau sedang berada di lembah Al ‘Aqiq dan Malaikat
itu berkata; “Shalatlah di lembah yang penuh barakah ini dan katakanlah : “Aku berniat melaksanakan ‘umrah
dalam ‘ibadah hajji ini”.
(HR. Bukhari)
3. Nabi melafadzkan
niat qurbannya
Diriwayatkan dari
Jabir radhiyallahu ‘anhu , ia berkata : Aku menyertai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pada hari ‘Idul Adha ke tempat shalat. Setelah selesai
khutbah, beliau turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing
kibasy, lalu Rasulullah menyembelihnya dengan kedua tangannya seraya berkata :
بِسْمِ
اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
”Dengan
menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah kurbanku dan kurban siapa saja
dari umatku yang belum berkurban.”(HR. Abu Daud)
Sedangkan dalam riwayat Anas beliau shalallahu’alaihi
wassalam bersabda :
بِسْمِ
اللهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ هَذَا مِنْ عَمَّنْ وَحَّدَكَ مِنْ أُمَّتِي
“Bismillah.
Ya, Allah, Ini adalah dariMu dan untukMu, qurban dari siapa
saja yang mentauhidkanMu dari kalangan umatku.” (HR. Abu
Ya’la)
Al Imam Ibnu
Qudamah ketika mengomentari hadits diatas berkata : “Tidak menjadi keharusan bagi orang yang sedang berkurban
pada saat menyembelih mengucapkan : Ini kurban untuk fulan, karena niat di
dalam hati saja sudah cukup. Namun jika
yang berkurban menyebutkan qurbannya untuk siapa, maka hal tersebut
adalah baik berdasarkan hadis yang telah kami riwayatkan”.[4]
Al imam ‘Alauddin Al-Kasany berkata tentangg hadits diatas : “Niat adalah amal hati, adapun penyebutan dengan lisan adalah sekedar untuk penguat niat”. [5]
4. Rasulullah
menyatakan niat puasa sunnah
Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
riwayat ummul mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, dimana ketika Rasulullah
menanyakan adanya makanan dan Aisyah mengatakan bahwa tidak ada apa-apa di
rumah, maka beliau bersabda :
إِنِّي صَائِمٌ
“Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR.
Muslim).
Imam Nawawi berkata : “Hadits ini menunjukan bahwa
Rasulullah shallallahu‘alaihi wassallam melafadzkan
niatnya, sehingga hadis ini bisa menjadi dalil kemubahan pelafalan niat”.[6]
5. Rasulullah
menyatakan niat puasa Asyura’
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Seandainya tahun depan aku masih hidup,
niscaya saya akan berpuasa pada hari ke sembilan –Muharram-.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi berkata ketika menjelaskan hadits ini : “Hal ini bermakna
Rasulullah shalallahu’alaihi wasslam melafalkan niatnya untuk berpuasa Tasu’a,
sehingga hadis ini juga menjadi dalil mubahnya melafalkan niat”.[7]
6. Rasulullah mengisahkan tentang orang yang melafadzkanniat
sedekahnya
Dalam
hadits yang panjang di shahih Bukhari Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam menceritakan
sebuah kisah kepada shahabat tentang cerita seorang lelaki yang bershodaqah,
namun tidak tepat sasaran :
قَالَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ
“Berkata seorang laki-laki : “Aku
akan bersedekah... “.
7.
Rasulullah
menyatakan niatnya untuk berperang
وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا
وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا
“Demi Allah, sungguh aku akan memerangi
Quraisy, demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy, demi Allah, sungguh
aku akan memerangi Quraisy.”
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini pun bisa dijadikan sebagai dalil untuk
menunjukkan mubahnya pelafalan niat dalam ibadah.
8. Aisyah merekomendasikan melafadzkan Niat haji
Sufyan
bin ‘Uyainah memberitahu kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, bahwa
Aisyah berkata :
هَلْ تَثْتَثْنِي إذَا حَجَجْتَ ؟ قال : فقُلْتُ لها مَاذَا
أقُولُ ؟ فقالتْ قُلْ اللَّهُمَّ الحَجَّ أرَدْتُ ولهُ عَمَدْتُ فَإنْ يَسَّرْتَهُ
فَهُو الحَجُّ وإنْ حَبَسَني حَابِسٌ فَهِيَ عُمْرَةٌ
“Apakah
engkau mengucapkan suatu pengkhushusan jika berhaji ? Urwah bertanya; Apa yang aku katakana ?Aisyah menjawab ; ‘Katakan Ya Allah, aku ingin berhaji,
dan untuknya aku menyengaja. Jika engkau memudahkanku maka itu adalah haji.
Jika ada yang menghalangiku, maka itu adalah umrah.” (HR. Syafi’i)
Al-Hajjawi berkata
ketika mengomentari hadits diatas : “Dianjurkan
untuk mengucapkan : ya Allah sesungguhnya aku ingin melakukan ibadah
ini, maka mudahkanlah untukku. Jika
ada yang menghalangiku maka tempatku adalah di mana engkau menahanku”.[8]
Al Hafidz Al mam Ibnu
Muqri’ berkata :
كان
الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض
الله عز وجل الله أكبر
“Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi’ berkata, Imam Syafi’i ketika akan masuk dalam Shalat berkata : “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban kepada Allah. Allahu Akbar.”[9]
9.
Atsar dari Ibnu
Abbas yang melafadzkan niat
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ , ثُمَّ يَقُولُ (
وَاَللَّهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ , وَمَا أُرِيدُ الصَّوْمَ , وَمَا أَكَلْت مِنْ طَعَامٍ
وَلاَ شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ , وَلاَصُومَنَّ يَوْمِي هَذَا
Dari
Ibnu ‘Abbas bahwasanya beliau berada di pagi hari hingga waktu dhuhur, kemudian
beliau berkata; Demi Allah aku telah berada di waktu pagi sementara aku belum
menginginkan/berniat puasa. Dan aku tidak makan makanan ataupun
minuman apapun di hari ini. Aku sungguh akan berpuasa hari ini.”[10]
10.
Mengucapkan niat termasuk
perkataan baik yang akan dicatat oleh malaikat
Allah
ta’ala berfirman ;
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir”.
(QS. Al Qaf : 18)
Melafadzkan niat
sebagai sebuah ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi
Allah berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.[11]
11. Dalil Qiyas
Semua dalil yang telah
disebutkan menjadi qiyas akan bolehnya melafadzkan niat dalam semua ibadah,
baik ritual maupun nonritual. Dan kedudukan qiyas disepakati oleh para ulama
tentang kehujahannya.
Berkata al Imam Syafi’i rahimahullah :
أن
ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في
الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“Tidak boleh
seseorang mengatakan dalam hukum syariat baik halal maupun haram kecuali ada
pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur’an),
as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”[12]
dari sinilah kemudian mayoritas ulama termasuk di dalamnya imam Nawawi
menyatakan pendapatnya : “Termasuk kesempurnaan niat di bulan Ramadhan: hendaknya seseorang menyatakan meniatkan puasa esok
hari demi menunaikan kewajiban (puasa) Ramadhan pada tahun ini
karena Allah semata.”[13]
Dan masih banyak lagi
riwayat dari para sahabat dan kaum salaf terdahulu dalam masalah pelafadzan
niat ini. Yang mana semua riwayat itu akan saling menguatkan satu sama lain dan
menunjukkan bahwa melafalkan niat dalam ibadah hukumnya adalah mubah, bukan bid’ah.
Melafalkan niat hukumnya mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan
syara’ baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan
was-was, menegaskan maksud, memberitahu, dan semua kepentingan yang syar’i. Tidak
dibatasinya atau dikhususkan, misalnya
niat shalat harus begini, niat puasa harus begitu, karena memang tidak ada nas yang
membatasinya.
Kesimpulan
Masalah
ini adalah murni khilafiyah, dimana ulama berbeda pendapat dalam menggunakan
dalil-dalil yang telah disebutkan. Dan meksipun berbeda dalil, para ulama sama sepakat
tentang kehujahan qiyas (analogi), hanya saja berbeda dalam penggunaannya. Dimana
mayoritas ulama membolehkan qiyas dalam masalah niat, sedangkan ulama yang lain
tidak membolehkan.
Oleh sebab itu, jangan hanya karena
persoalan ini, kita saling membid’ahkan atau saling menghajr (memboikot). Karena
tentu ini ranahnya bukan masalah benar salah, tapi babnya ternteng ijtihad ulama, yang jika benar
pahalanya dua, jika salah pahalanya satu.
Hentikan tuduhan
bahwa yang melafadzkan niat adalah pengekor hawa nafsu dan anti
kemurnian agama. Apakah kita akan menuduh deretan ulama sekaliber imam syafi’i,
imam nawawi, Ibnu Qudamah dan ulama lainnya yang memegang pendapat ini sebagai
ulama jahat yang hendak mensesatkan umat ? Sungguh para ulama tersebut telah
berijtihad dengan ilmu mereka. Bukan karena menganggap agama ini belum sempurna
atau bermaksud hendak menambah-nambah ajaran agama ini dengan bid’ah yang
tercela.
Wallahu a’lam.
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (66/42).
[2] Fiqh as Sunnah (1/654).
[3] Mirqat al Mafatih Syarh Misykat al Mashabih (9/445).
[4] Al Mughni (21/ 497).
[5] Bada-I’ as Shanai’ (10/281).
[6] Syarah
An Nawawi ‘ala Muslim (8/35).
[7] Syarah
An Nawawi ‘ala Muslim (8/12).
[8] Zadu al Mustanqa’ halaman 87.
[9] Mu’jam Ibn Muqri (1/121).
[10] Ma’ani al Atsar (4/104)
[11] Fath al Qadir (1/185).
[12] Ar Risalah (1/34).
0 comments
Post a Comment