Istri saya sedang menyusui, jika tidak
berpuasa apakah diwajibkan mengqadha' di hari lain atau hanya membayar fidyah ?
Jawaban :
Ulama sepakat membolehkan bagi wanita
hamil atau menyusui untuk tidak bepuasa di bulan Ramadhan bila ia
mengkhawatirkan dirinya atau anaknya bisa mendapat mudharat karena puasanya.
Bahkan menjadi haram bila menyebabkan jatuh kepada kebinasaan.[1]
Namun, bila ia sehat wal afiat, kuat
mengerjakannya dan juga tidak mengkhawatirkan kesehatannya, ia tetap wajib
untuk berpuasa. Jadi, ada sebuah pemahaman keliru yang berkembang di tengah
masyarakat yang harus diluruskan, yakni seseorang dianggap tidak wajib berpuasa
hanya karena sedang hamil atau menyusui, padahal ia memiliki kemampuan untuk
mengerjakannya.
Dan dalam pandangan ulama khususnya empat
madzab termasuk hal yang keliru bila seorang wanita bisa bebas lepas dari
kewajiban berpuasanya itu hanya dengan fidyah. Karena sebenarnya, yang
diperbolehkan untuk mengganti kewajiban puasa dengan fidyah, itu hanyalah dua
golongan. Golongan pertama adalah orang tua yang tidak kuat lagi berpuasa, dan
golongan kedua, orang sakit yang tidak ada harapan sembuh lagi.
Kesimpulannya, seseorang hanya bisa
lepas dari kewajiban berpuasa bila memang ia sudah tidak kuasa lagi untuk
berpuasa dan tidak kuasa pula untuk mengqadhanya.
Lain
halnya dengan wanita hamil atau menyusui, mereka ini masih memiliki kemampuan
untuk itu. Banyak wanita yang hamil dan menyusui tetap mampu menunaikan
kewajiban berpuasa. Sedangkan yang tidak mampu, mereka masih memiliki kemampuan
untuk mengqadha’nya dibulan lain. Karena sebab inilah kemudian, dalam
keterangan fiqih empat mazhab, tidak ada satupun dari para ulama yang
memberikan pilihan bagi wanita yang hamil ataupun menyusui untuk mengganti
puasa dengan fidyah.
Karena
hukum kebolehan wanita yang sedang hamil atau menyusui tidak berpuasa bukan diqiyaskan
kepada orang tua yang tidak kuat lagi perpuasa atau orang sakit yang tidak ada
harapan kesembuhan baginya. Tetapi, qiasnya
kepada orang yang sakit atau dalam perjalanan. Dan bukankah orang yang sakit
dan musafir yang tidak berpuasa tetap wajib mengqadha puasanya ? Ya, mereka
tetap wajib mengqadhanya. Maka demikianlah pula dengan wanita yang sedang hamil
atau menyusui.
Ulama mazhab
sepakat tentang wajibnya Qadha
Dalam literatul
fiqih empat madzab kita akan dapati keterangan bahwa semua ulama bersepakat
bahwa wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa tetap waib mengganti
puasanya.
Disebutkan
dalam al Mausu’ah : “Diwajibkan atas wanita tersebut qadha’ bukan fidyah, dan
ini adalah kesepakatan ulama.”[2]
Demikian
juga al Imam Nawawi menyebutkan : “Bersepakat para ahli fiqh bahwa wanita hamil
atau menyusui wajib untuk mengqadha puasanya bukan fidyah...”[3]
Ibnu
Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat tentang masalah ini (wajibnya qadha), karena keduanya hamil dan
menyusui seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.”[4]
Ketentuan hukum bagi wanita hamil atau
menyusui
Yang
diperbeda pendapatkan oleh
para ulama madzab dalam masalah ini hanya diseputaran wajib qadha puasa ataukah
qadha sekaligus fidyah.
Kalangan mazhab Hanafi berpendapat
wanita hamil ataupun menyusui yang tidak berpuasa, mereka ini hanya wajib
mengqadha tanpa adanya fidyah.
Sedangkan
dua mazhab, yakni kalangan Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat lain. Mereka
menetapkan, bila sebab tidak berpuasanya wanita tersebut karena mengkhawatirkan
dirinya sendiri, ia memang hanya wajib qadha, tetapi bila tidak berpuasanya
karena sebab ia mengkhawatirkan anaknya, ia wajib membayar fidyah sekaligus
qadha puasa.
Adapun Malikiyah lain lagi, mereka menetapkan bagi wanita hamil yang tidak puasa hanya qadha, sedangkan yang menyusui wajib qadha dan juga fidyah.[5]
Kalangan yang membolehkan langsung
fidyah
Sebagian ulama kontemporer ada yang
membolehkan seorang wanita yang udzur berpuasa karena hamil atau menyusui untuk
membayar fidyah saja dengan dalil sebuah atsar yang berasal dari Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas. Dimana beliau berdua menyerupakan wanita hamil atau menyusui seperti
orang yang tidak sanggup melaksanakan puasa, semisal orang lanjut usia. Jika
mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab mengkhawatirkan kondisi dirinya
ataupun bayinya, maka harus membayar Fidyah tanpa perlu mengqadha.’
Dalam
Bidayatul Mujtahid pendapat ini memang ada disebutkan tapi tanpa dinishbahkan (disandarkan
kepada siapa) pendapat tersebut, kecuali kepada Ibnu Umar dan Ibnu Abbas,
sedangkan dalam hal ini ada dua riwayat yang bertentangan dari keduanya.[6]
Sedangkan para ulama madhzab tidak
menjadikan riwayat tersebut landasan hukum
karena dua hal, pertama karena dinilai
periwayatannya
bermasalah, dan yang kedua
atsar tersebut mengandung ihtimal (kemungkinan lain).
Kalangan Syafi’i misalnya menjadikan
riwayat Ibnu Umar sebagai dalil wajibnya Qadha ditambah fidyah, bukan untuk
menghapus qadha.[7]
Karena dalam riwayat lain Ibnu Abbas dan Ibnu Umar juga menyebutkan wajibnya
qadha, seperti riwayat berikut ini :
Ibnu Abbas
تفطر الحامل والمرضع في
رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان
Ibnu Abbas,
beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan,
mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah.” (HR. Abdurrazaq)
Ibnu Umar
عن ابن عمر أن امرأة حبلى
صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari
Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian
ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan
wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian setelah itu,
Ibnu ‘Umar tidak menganggap itu cukup, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia
wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi)
Kesimpulan
Pendapat yang
paling baik dan berhati-hati adalah ibu hamil atau menyusui tetap mengqadha puasa
dan menyertakan membayar fidyah. Lalu pendapat kedua yang selamat yaitu dengan
tetap mengqadha puasa ika telah mampu menunaikannya. Inilah pendapat ulama
empat madzhab.
Dan keadaan
terakhir, jika memang tidak mampu berpuasa, misal karena banyaknya hutang puasa
sebab hamil dan menyusui yang berturut-turut sampai sekian tahun, tidak mengapa
untuk megikuti ulama yang membolehkan fidyah agar tidak memberatkan. Namun baiknya
dicoba dulu puasa meskipun sehari atau dua hari, sisanya dibayar fidyah.
Demikian, Wallahu a'lam.
0 comments
Post a Comment