Ustadz, ada teman yang masih makan dan minum
padahal adzan Shubuh sudah berkumandang. Ketika saya tanya, katanya ada hadits
yang membolehkan hal tersebut, benarkah ?
Jawaban
Oleh :
Ahmad Syahrin Thoriq
Pendapat yang mu’tamad dari empat madzhab
sepakat bahwa bahwa batas akhir untuk makan sahur adalah
terbitnya fajar. Ulama hanya
berbeda pendapat mengenai awal waktunya. Mayoritas ulama berpendapat waktu
sahur dimulai dari tengah malam, sedangkan sebagian kalagan madzhab Hanafiyah
dan Syafi’iyyah mengatakan dimulai sepertiga akhir malam.[1]
Sehingga siapapun yang masih melakukan makan atau
minum atau hal apapun yang menjadi pembatal puasa setelah terbitnya fajar, maka
puasanya tidak sah alias batal menurut kesepakatan ulama, dan wajib baginya
menggantikan dengan hari yang lain.
Al Imam Nawawi berkata :
إذا طلع الفجر وفي فيه طعام فليلفظه , فإن لفظه
صح صومه , فإن ابتلعه أفطر ...ولا يعلم فيه خلاف للعلماء
“Jika Fajar terbit, sedangkan makanan masih
ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia
yakin telah masuk fajar, maka batallah
puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.”[2]
Ibnu Qayyim al
Jauziyah berkata : “Mayoritas
ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat
imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”[3]
Syaikh Wahbah Zuhaili berkata : “Sahur tidak boleh
dilakukan kecuali sebelum terbitnya fajar, dan ini adalah ijma’ ulama.”[4]
Syaikh Sayid Sabiq berkata : “Dibolehkan bagi
orang yang berpuasa untuk makan, minum, dan jima’, sampai terbitnya fajar. Jika
fajar sudah terbit dan di mulutnya ada makanan, maka wajib baginya membuangnya,
atau dia sedang jima’ wajib baginya mencabutnya. Maka, jika sudah dibuang atau
dicabut maka sah puasanya. Tapi, jika makanan tersebut ditelan juga atau
jima’nya diteruskan maka puasanya batal.”[5]
Dalil-dalilnya
Firman Allah ta’ala
:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah :
187)
لاَ يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سَحُورِكُمْ أَذَانُ
بِلاَلٍ وَلاَ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيل وَلَكِنِ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي
الأْفُقِ
“Adzan
yang dikumandangkan oleh Bilal tidak mencegah kamu dari makan sahur, dan juga
fajar yang memanjang. Namun yang mencegahmu makan sahur adalah fajar yang merebak di ufuk.” (HR. Muslim)
الفَجْرُ فَجْرَانِ ، فَجْرٌ يُحْرَمُ
الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاَةُ ، وَفَجْرٌ تُحْرَمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ
“Waktu Fajar itu ada dua:
waktu fajar dimana makan diharamkan dan shalat subuh dibenarkan pada saat itu.
dan waktu fajar dimana shalat subuh diharamkan dan makan dibenarkan pada saat
itu.” (HR.
Ibnu Khuzaimah)
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ،
فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا
يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum yang mengumandangkan adzan. Karena dia tidak adzan kecuali
setelah terbitnya Fajar.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, rawi hadits
menambahkan : "Ibnu
Ummu Maktum adalah seorang sahabat yang buta, ia tidak akan mengumandangkan
adzan (shubuh) hingga ada orang yang mengatakan kepadanya, 'Sudah shubuh, sudah
shubuh."(HR.
Bukhari)
An Nawawi rahimahullah ketika
menjelaskan hadits ini berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat
pembolehan makan, minum, berhubungan badan antara suami-istri, dan seluruh hal
(yang diperbolehkan syariat, pent.) sampai batas terbitnya fajar.”[6]
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ. فَكُنَّا نَحْبِسُ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَنِ الْأَذَانِ فَنَقُولُ: كَمَا أَنْتَ حَتَّى نَتَسَحَّرَ.
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum yang mengumandangkan adzan. Dan kami (rawi) menahan Abdullah bin
Ummu Maktum dari cepat-cepat melaksanakan adzan. Kami mengatakan kepadanya :
Tetaplah dirimu begitu, sampai kami selesai sahur...” (HR. Abu Daud)
Penjelasan
Hadits masih bolehnya makan dan minum sedangkan adzan
telah berkumadang
Rasulullah
shalallahu’alaihi wassalam bersabda :
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ
يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian
mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah
dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.” (HR. Abu Daud)
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ
قَالَ أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ نَعَمْ فَشَرِبَهَا
“Adzan
dikumandangkan sedangkan dan gelas masih di tangan Umar (bin Khaththab)
radliyallaahuanhu. Dia bertanya kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam,“Apakah masih
boleh minum?”. Beliau menjawab : “Boleh”. Maka Umar pun meminumnya.” (HR. Ibnu Jarir)
Hadits diatas
sering dipahami secara keliru oleh sebagian kalangan, dengan menganggap masih bolehnya
makan dan minum meski fajar telah terbit, yakni ditandai ketika adzan
dikumandangkan.
Padahal ulama
telah menjelaskan tentang hadits diatas dengan beberapa penjelasan, diantaranya
sebagai berikut :
A.
Adzan yang
dimaksud adalah adzan pertama
Sebagian ulama
menjelaskan bahwa pembolehan makan dan
minum dalam hadits diatas adalah saat adzan pertama, bukan adzan kedua. Karena memang
dimasa Rasulullah, adzan shubuh dilaksanakan dua kali.
Maka memahami hadits diatas, harus dikompromikan dengan hadits : “Sesungguhnya Bilal
mengumandangkan adzan pada malam hari. Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum yang mengumandangkan adzan. Karena dia tidak adzan kecuali
setelah terbitnya Fajar.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Juga hadits : “Adzan yang dikumandangkan oleh Bilal
tidak mencegah kamu dari makan sahur, dan juga fajar yang memanjang. Namun yang
mencegahmu makan sahur adalah fajar yang merebak di ufuk. (HR. Muslim)
Berkata imam
Baihaqi rahimahullah : “Maka
yang lebih tepat hadits ini dimaksudkan untuk adzan pertama sehingga berkesesuaianlah
dengan riwayat … “Janganlah adzan Bilal menghalangi salah seorang di antara
kalian dari makan sahurnya, karena Bilaal mengumandangkannya untuk membangunkan
orang yang masih tidur dan mengingatkan orang yang sedang shalat.”[7]
B.
Itu terjadi
ketika adzan dikumandangkan fajar belum diketahui pasti telah terbit
Sebagian ulama
menjelaskan hadits diatas dengan memahami bahwa adzan tersebut adalah saat Nabi
mengetahui bahwa waktu fajar belum terbit, sehingga beliau masih mengizinkan. Dalam
Majmu’ imam Nawawi menukil perkataan Imam Baihaqi rahimahullah :
وهذا إن صح محمول عند عوام أهل العلم على أنه صلى الله عليه وسلم علم
أنه ينادى قبل طلوع الفجر بحيث يقع شربه قبيل طلوع الفجر
“Jika
hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan sebelum
terbit fajar (shubuh) dan ketika beliau
minum itu waktunya dekat dengan
terbitnya fajar.”[8]
Hal ini juga
dijelaskan oleh Lajnah Daimah dalam himpunan Fatwa no. 23 : “Jika yang bertanya mengetahui bahwa waktu tersebut memang
belum saatnya Subuh, maka tidak perlu qadha’, tapi jika ia tahu bahwa waktu
tersebut telah masuk waktu Subuh, maka ia harus meng-qadha’-nya. Hendaknya
seorang mukmin berhati-hati dalam menjaga puasanya dan menahan diri dari segala
hal yang membatalkannya jika telah terdengar adzan, kecuali jika ia tahu bahwa
adzan tersebut sebelum masuk waktu Subuh.”
C.
Melemahkan
riwayatnya
Sebagian ulama
hadits melamhkan riwayat -riwayat tentang bolehnya makan dan minum ketika adzan
telah berkumandang. Seperti hadits Umar bin Khattab diatas ia terdiri dari dua jalan dari Al-Husain
bin Waaqid. Pertama, dari jalan Ibnu Humaid, dan yang kedua, dari jalan
Muhammad bin ‘Aliy bin Syaqiiq. Akan tetapi jalan pertama yang berasal dari
Ibnu Huimaid adalah sangat lemah. Ibnu Humaid namanya : Muhammad bin Humaid bin
Hayyaan, Abu ‘Abdillah Ar-Raaziy; termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 248
H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah Ia telah dilemahkan
oleh jumhur ahli hadits, dan bahkan ada yang mendustakannya.[9]
Hukum makan sahur pada waktu yang diragukan
Yakni kondisi dimana seseorang makan
sahur sedangkan ia ragu apakah fajar telah terbit atau belum. Menurut kalangan
Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah hukumnya boleh meneruskan makan dan minum
sampai ia yakin bahwa fajar telah terbit.
Dalilnya adalah atsar beberapa
shahabat Nabi yang mereka masih meneruskan makan dan minum ketika ada yang
menginformasikan fajar sudah terbit sedangkan yang lain mengatakan belum
terbit.[10]
Sedangkan Hanafiyah memakruhkan hal
tersebut. Hal
ini karena dipandang bahwa makan dan minum adalah hal yang pasti membatalkan
puasa, sedangkan kondisinya saat itu dimungkinkan fajar telah terbit. Sedangkan
dalam hadits dikatakan : “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak
meragukanmu.”[11]
Sedangkan kebanyakan
kalangan Malikiyah berpendapat bahwa siapa yang masih makan dan minum di waktu
syakh (telah terbit apa belum) maka puasanya batal, terkecuali setelahnya ia
mengetahui dengan yakin bahwa fajar belum terbit.[12]
Diantara dalil pendapat ini adalah hadits :
الْحَلاَل بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَةٌ
“Perkara
yang halal itu jelas, dan yang haram itu juga jelas. Sedangkan diantara
keduanya adalah syubhat...” (HR. Bukhari)
Penutup
Penutup
Telah disepakati oleh para ulama akan kesunnahan
mengakhirkan waktu sahur sebagaimana disunnahkannya mengawalkan berbuka puasa. Namun
mengakhirkan disini bukan berarti mepet waktu adzan shubuh, apalagi sampai masih
beranggapan bolehnya makan dan minum setelah adzan berkumandang.
Sebagai catatan perlu
diketahui, bahwa waktu shalat hari ini tidak menggunakan pengamatan langsung terhadap
tanda alam akan masuknya waktu shalat, namun menggunakan ilmu hisab yang
keakuratannya tidak sampai 100 %. Karena itu kemudian oleh sebagian ulama,
waktu-waktu shalat diberikan spare waktu sebagai langkah kehati-hatian sekitar
5 menit-an.
Misalnya
waktu shubuh jatuh pukul 05.00, maka akan dicantumkan di jadwal 05.05,
dilebihkan 5 menit. Sehingga ketika 05.00 adzan belum dikumandangkan, itu fajar
sudah terbit, dan ketika adzan dikumandangkan, artinya fajar sudah terbit 5 menit
yang lalu !
Sehingga, adannya waktu imsak 10
menit sebelum shubuh itu sudah baik. Berhenti beberapa menit makan sahur sebelum adzan itu
sebuah keutamaan, bukan kesalahan seperti yang sering dituduhkan.
Berkata al Imam Syafi’i rahimahullah :
وأستحب التأني بالسحور ما لم يكن في وقت مقارب يخاف
أن يكون الفجر طلع فإني أحب قطعه في ذلك الوقت
“Aku
menilai sunnah tidak tergesa-gesa dalam bersahur, selagi tidak sampai pada waktu yang mendekati shubuh yang mana dikhawatirkan fajar telah
terbit. Sehingga aku senang menghentikan sahur pada saat itu, yaitu sebelum
fajar subuh terbit.”[13]
Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment