MENJAHARKAN SHALAT SIRR



Ustadz, ada teman saya ketika dia shalat dzuhur sendirian di kantor, dia mengeraskan bacaannya sebagaimana shalat Maghrib dan Isya. Apakah shalatnya sah ?

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Mayoritas ulama berpendapat bahwa memelankan bacaan pada shalat sirr dan sebaliknya, mengeraskan bacaan pada saat shalat Jahr adalah termasuk kesunnahan di dalam shalat.[1] Sehingga jika ada yang mengeraskan bacaannya pada saat shalat sirr, maka shalatnya tetap sah menurut kesepakatan ulama.

Madzhab Syafi’i

Seseorang yang mengeraskan bacaan diwaktu sirr shalatnya tetap sah dan tidak perlu sujud sahwi, karena ia hanya meninggalkan kesunnahan biasa. Berkata al Imam Nawawi rahimahullah :

لو جهر في موضع الإسرار أو عكس لم تبطل صلاته ولا سجود سهو فيه ولكنه ارتكب مكروها

“Jika seseorang mengeraskan bacaan di tempat yang mestinya dibaca sirr, atau sebaliknya, maka shalatnya tidak batal dan ia tidak perlu sujud sahwi akan tetapi ia telah melakukan kemakruhan.”[2]

Madzhab Hanbali

Menurut madzhab ini jika ia melakukan dengan sengaja, maka hukumnya dibenci (makruh) namun tidak perlu sujud sahwi, tapi jika ia mengeraskan bacaan tersebut karena lupa, maka disunnahkan sujud sahwi.[3]

Madzhab Maliki

Madzhab maliki berpendapat bahwa sirr dan jahrnya shalat hukumnya sunnah muakkadah, meninggalkannya, mengharuskan sujud sahwi. Terkecuali jika seseorang mengeraskan bacaan dikala shalat sirr dengan keras sekedar untuk dirinya.[4]

Madzhab Hanafi

Hanafiyah menyelisihi jumhur dalam masalah ini. Madzhab ini berpendapat bahwa sirr dan jahrnya shalat hukumnya adalah wajib. Meninggalkannya menjatuhkan kepada keharaman, meskipun shalatnya tetap sah dan harus diganti dengan sujud sahwi.

Namun, ketentuan ini adalah untuk shalat berjama’ah bukan shalat sendiri, jika dia sendiri, maka tidak ada sujud sahwi.[5]

Kesimpulan

Shalat mereka yang mengeraskan bacaan diwaktu sirr atau sebaliknya tetap sah, namun bagi yang melihat ha seperti itu, perlu mengingatkan agar ia mengetahui kesunnahan perkara ini.

Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (16/188).
[2] Al Majmu’Syarh al  Muhadzab (3/390).
[3] Al Mughni (2/31).
[4] Al Kafi li Ibni Abdil Barr (1/228), al Muafaq (2/18).
[5] Al Badayah (1/661), Fath al Qadir (1/361).

0 comments

Post a Comment