Ustadz yang ana
hormati, izin ana bertanya : di Bulan Ramadhan seorang muslim BAB lalu melakukan istinja dengan memasukkan jari
1 sampai 2 cm untuk memberishkan sisa kotoran. Apakah hal tersebut bisa
membatalkan puasa ? Mohon penjelasannya.
Jawaban
Oleh : Ahmad
Syahrin Thoriq
Sebenarnya dalam kitab fiqih ulama tentang
membahas tentang permasalahan masuknya sesuatu ke rongga tubuh termasuk dubur
apakah termasuk pembatal puasa atau tidak. Tapi sebelum masuk ke bahasan tersebut,
saya hendak mengomentari praktik beristinja seperti yang ditanyakan.
Beristinja ekstrim
Kami tidak menemukan penjelasan cara istinja’ seperti harus memasukkan jari dalam kitab-kitab para ulama mazhab manapun. Bahkan
cara istinja seperti itu sangat ekstrim, aneh, sangat vulgar dan mengada-ada.
Istinja itu bukan hanya boleh dengan air tapi juga boleh dengan 3 batu.
Berdasarkan hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam :
إِذَا
ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ
يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ
“Apabila
salah seorang di antara kalian pergi untuk buang air besar, maka hendaklah dia
membawa tiga batu untuk beristinja, sesungguhnya itu mencukupinya.” (HR. Abu Daud)
Apa kita ada yang berani mengatakan bahwa istinja dengan tiga batu itu
tidak suci padahal Nabi sudah menghukumi mencukupi ? Atau apa perlu kiranya 3
batu itu (maaf) dimasukkan dan diputar-putar di dubur supaya istinja’nya
‘sempurna’ seperti keinginan artikel diatas ?
Bahasan lanjutan masalah ini bisa disimak disini :
http://www.konsultasislam.com/2017/03/penjelasan-artikel-istinja.html
Masuknya sesuatu ke dubur apakah membatalkan puasa
?
Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah menegaskan
masuknya sesuatu ke dalam dubur bisa membatalkan puasa, termasuk jari
jemari masuk ke bagian dalam dubur maka itu menyebakan batalnya puasa.[1]
Berkata al imam Nawawi rahimahullah
:
لو أدخل الرجل أصبعه أو غيرها دبره، وبقي
البعض خارجا، بطل الصوم، باتفاق أصحابنا
“Jika seseorang memasukkan jari jemarinya atau apapun ke duburnya,
dengan sebagiannya, batal puasanya dengan kesepakatan golongan kami (madzab
kami).”[2]
Dalil pendapat ulama dalam hal ini adalah sebuah
riwayat dari ummul mukminin Aisyah radhiyallahu’anha :
إِنَّمَا الإْفْطَارُ مِمَّا دَخَل،
وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ
“Pembatal puasa itu adalah sesuatu yang masuk,
bukan yang keluar.” (HR. Abu Ya’la)
Sedangkan madzab Hanafiyah dan sebagian Malikiyah
berpendapat tidak batal, karena menurut kalangan ini yang membatalkan adalah
yang masuk secara sempurna secara keseluruhan.[3]
Wallahu a'lam.
0 comments
Post a Comment