Ustadz, ada di
braodcast kalau cairan tinta cumi itu katanya haram, apakah benar demikian ?
Jawaban :
Yang tepat,
masalah ini diperbedapendapatkan hukumnya dikalangan para ulama. Dimana memang ada sebagian ahli ilmu
yang berpendapat tinta cumi-cumi itu termasuk benda najis sehingga haram dikonsumsi,
sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat ia benda suci atau masuk kepada
keumuman sucinya bangkai hewan laut sehingga halal untuk dikonsumsi.
1.
Kalangan yang mengharamkan
Sebagian
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa cairan yang menyerupai tinta berwarna hitam pada
cumi adalah termasuk darah. Dimana hukum darah hewan itu diharamkan, sebagaimana
firman Allah ta’ala :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai dan darah.” (QS. Al Maidah :3).
Pendapat
ini sebagaimana yang telah beredar dalam broadcast difatwakan diantaranya oleh Syaikh
Abdurrahman Ba’lawi rahimahullah dalam karya beliau Bughyah al Mustarsyidin :
الذي يظهر أنّ الشيء الأسود الذي يوجد في بعض الحيتان وليس بدم ولا لحم نجس, إذ صريح عبارة التحفة أنّ كلّ شيء في الباطن خارج عن أجزاء الحيوان نجس, ومنه هذا الأسود للعلّة المذكورة إذ هو دم أو شبهة
Cairan hitam yang ada pada sebagian makhluk laut dan bukan
merupakan daging ataupun darah dihukumi najis. Sebab teks dalam kitab Tuhfah
menegaskan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang berada di bagian dalam adalah
sesuatu yang bukan termasuk dari organ hewan dan itu dihukumi najis, termasuk cairan hitam
ini, karena alasan yang telah dijelaskan. Sebab cairan hitam ini sejatinya
adalah darah atau serupa yang semisalnya.”[1]
2.
Kalangan yang menghalalkan
Sedangkan
umumnya para ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyah dan
sebagian Syafi’iyyah berpendapat bahwa cairan hitam dari cumi adalah termasuk yang
dihalalkan. Namun demikian, meski mayoritas ulama ini kompak dalam menghalalkan,
alasan dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah berbeda dengan alasan dari
kalangan madzhab Syafi’iyyah.
Mayoritas
ulama menghalakan karena sekalipun cairan hitam cumi itu adalah darah, ia
termasuk bagian yang dihalalkan karena merupakan bagian dari ikan yang bahkan
bangkainya sekalipun dihalalkan.[2]
Dalil
yang digunakan adalah hadits yang berbunyi :
أُحِلَّتْ لَنَا
مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا المَيْتَتانِ: فَالْجَرَادُ والْحُوتُ، وَأَمَّا
الدَّمَانِ: فَالطِّحالُ وَالْكَبِدُ
“Telah
dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, adapun dua macam
bangkai adalah: (bangkai) belalang dan ikan, dan dua macam darah adalah limpa
dan hati.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dalam
hadits jelas dikecualikan
bangkai ikan dari sekalian bangkai yang diharamkan, sedangkan dalam bangkai pasti
ada darahnya. Ketika Nabi shalallahu’alaihi wassalam tidak melarangnya,
ini menunjukkan kesucian
darahnya.
Sedangkan
kalangan Syafi’iyyah yang menghalalkan berpendapat bahwa cairan hitam tersebut
bukanlah darah, namun cairan dalam wujud lain. Sehingga tidak tepat jika dihukumi
najis sebagaimana najisnya darah.
Berkata
Syaikh Thaifur Ali Wafa
rahimahullah :
فينبغي للعاقل أن يتحققه لأنّ هذا
مما يتعلّق بالعيان. قلت: يعني أنّ هذا السواد إذا كان من الباطن فهو أشبه بالقيئ
فيكون نجسا وإلّا فهو أشبه باللعاب فيكون طاهرا. وقد قال بعض مشايخنا: أنّ هذا
السواد شيء جعله الله لصاحبه ترسا يتترس به عن كبار الحيتان فإذا قصده حوت كبير
ليأكله أخرج هذا السواد فاختفى به عنه فلا يقاس بالقيئ ولا باللعاب لكونه خاصا له
بهذه الخصوصية ويكون طاهرا
“Hendaknya
bagi orang yang berakal agar memperdalam permasalahan ini karena termasuk suatu
hal yang berhubungan dengan realitas. Aku (pengarang) berkata cairan hitam ini
jika memang berasal dari bagian dalam maka lebih serupa dengan muntahan
sehingga dihukumi najis, jika tidak dari dalam maka serupa dengan air liur
sehingga dihukumi suci. Sebagian guruku pernah berkata: “cairan hitam ini
merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Allah pada hewan yang memilikinya untuk
dijadikan tameng agar dapat berlindung dari makhluk laut yang lebih besar.
Ketika terdapat makhluk laut besar yang akan memangsanya maka ia mengeluarkan
cairan hitam ini agar dapat bersembunyi. Maka cairan hitam ini tidak dapat
disamakan dengan muntahan ataupun air liur, sebab cairan hitam ini adalah sesuatu
yang menjadi ciri khas hewan ini, sehingga dihukumi suci.”[3]
Kesimpulan
Masalah
cairan cumi tersebut adalah perkara yang khilaf dikalangan para ulama. Umumnya
ulama komtemporer menguatkan pendapat kedua, karena berdasarkan ilmu kedokteran modern yang menyatakan
bahwa cairan hitam cumi tersebut memang bukan darah, tapi semacam alat
pertahanan / kamuflase yang dikeluarkan cumi-cumi saat merasa terancam. Demikian juga
cairan tersebut tidaklah berbahaya bagi kesehatan, justru memiliki manfaat dan nilai gizi yang tinggi.
Namun
meski demikian, akan lebih baik bagi yang mengikuti fatwa yang menghalalkan ini, mencuci cairan
hitam tersebut meski tidak sampai bersih sepenuhnya, sebagai langkah
kehati-hatian.
Sedangkan bagi yang mengikuti ulama yang mengharamkan,
tidak perlu menyalahkan pihak yang berpendapat yang menghalakan, karena ini
justru pendapat mayoritas ulama.
Wallahu a’lam.
0 comments
Post a Comment