BELAJAR ITU DENGAN BERGURU


            Izin bertanya ustadz, apakah benar kalua kita belajar dengan buku (tanpa guru) berarti gurunya adalah setan ? Yang jadi pertanyaan adalah apakah Ketika saya belajar dari medsos yang seperti saat ini, itu berarti sama saja berguru dengan setan ?

 

Jawaban

 

Memang ada ungkapan populer yang sering kita dengar seperti itu. Redaksi arabnya adalah  sebagai berikut :


مَن لا شيخَ له؛ فشيخُه الشيطان

”Barangsiapa yang tidak punya guru, maka gurunya adalah setan”.


            Perkataan diatas bukanlah hadits, bukan pula perkataan dari salah satu sahabat nabi, sehingga tentu tidak mengandung kaidah hukum halal haram atau mengandung aturan boleh atau tidak boleh. Ia lebih tepatnya diposisikan sebagai nasehat yang yang berfungsi sebagai pengingat tentang pentingnya berproses dengan benar dalam belajar, diantaranya adalah dengan berguru.

Nasehat ini masyhur dinisbahkan kepada salah seorang ulama sufi madzhab Hanafi yaitu Syaikh Abu Yazid al Bustamiy (wafat 261 H).[1]

Nasehat tersebut serupa dengan nasehat-nasehat ulama lainnya berikut ini, yang pada intinya dalam belajar posisi atau keberadaan seorang guru itu sangat fital, sembarang memilih guru bisa fatal akibatnya, apalagi tanpa adanya guru yang membimbing.

Al imam Syafi’i rahimahullah berkata :

 

اَلَّذِي يَطْلُبُ اْلعِلْمَ بِلَا سَنَدٍ كَحَاطِبِ لَيْلٍ يَحْمِلُ حزمةَ حَطَبٍ وَفِيهِ أفعى وَهُوَ لَا يَدْرِي.

 

 “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad kepada guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.[2]

Imam Ibnu Sirin rahimahullah berkata :

إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

“Ilmu ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama”.[3]

Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata :

 

من اعظم البلية تمشيخ الصحفية

 

 

“Sebesar-besar musibah adalah bergurukan kepada sahifah (lembaran-lembaran atau buku)”. [4]

Imam al Ghazali rahimahullah berkata :


فَاعْلَمْ أَنَّ الْأُسْتَاذَ فَاتِحٌ وَمُسَهِّلٌ، وَالتَّحْصِيْلُ مَعَهُ أَسْهَلُ وَأَرْوَحُ

Ketahuilah olehmu, bahwasanya guru itu adalah pembuka sesuatu yang tertutup dan memudahkan yang rumit. Mendapatkan ilmu dengan adanya bimbingan guru akan lebih mudah dan lebih menenangkan”.[5]

Imam adz Dzahabi rahimahullah berkata :


ولم يكن له شيخ، بل اشتغل بالأخذ عن الكتب، وصنف كتاباً في تحصيل الصناعة من الكتب، وأنها أوفق من المعلمين، وهذا غل

"Dan bagi orang yg tidak memiliki guru pembimbing tetapi sibuk mengutip dari kitab untuk membuat catatan yang diharapkan sesuai bisa menyamai karya  ilmiah, maka hal ini adalah sebuah kesalahan."[6]


            Begitu juga dalam kitab Ta’limut ta’lim Syaikh Zarnuzi membawakan ungkapan yang sangat terkenal dalam dunia ilmu :


أَلَا لَا تَنَالُ اْلعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ  سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانِ, ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

Ingatlah, kamu tidak akan meraih ilmu melainkan dengan enam perkara (syarat yang harus dipenuhi).Aku akan ceritakan kepadamu semua itu dengan sejelas-jelasnya. Yakni : Cerdas, semangat tinggi, ulet dan tabah, punya biaya # bimbingan guru dan waktunya lama”.

Penjelasan

            Mempelajari ilmu agama memang sudah seharusnya di tempuh lewat jalan berguru. Meskipun saat ini kemajuan teknologi yang semakin canggih memudahkan seseorang untuk belajar agama, tapi hendaknya tetap memiliki guru untuk mendapatkan pengajaran agama yang tepat.

Karena ilmu itu kaitannya bukan hanya tentang konten atau isi yang bisa dipahami,  namun berkaitan erat dengan keberkahan. Mengapa hari ini meski ilmu seperti dibuka, yakni mudah untuk mendapatkannya namun jumlah ulama semakin langka ? Jawabannya karena ilmu telah banyak kehilangan berkahnya. Dan diantara sebab hilangnya berkah adalah ketika ia didapatkan bukan dari jalan berguru.

Kisah terkenal bahaya belajar tanpa guru

Bahaya dari belajar tanpa guru disebutkan dalam berbagai kisah hikmah oleh para ulama. Diantaranya adalah ksiah terkenal tentang seorang dokter yang bernama  Tuma al Hakim. Dia memiliki ayah yang juga seorang dokter.

Setelah orang tuanya meninggal dunia, ia mewarisi banyak buku kedokteran milik orang tuanya tersebut. Ia pun sibuk menelaah buku-buku tersebut, dan dia membaca dibuku tersebut :

الحَبَّةُ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ


“Habbatusauda (jintan hitam) adalah obat untuk segala penyakit.”

Namun ternyata kitab yang ia baca sudah usang atau mengalami kesalahan saat ditulis, sehingga satu titik huruf ba menjadi dua titik, jadilah dia baca :

الحَيَّةُ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ

“Ular hitam adalah obat untuk segala penyakit.

            Dalam riwayat disebutkan akhirnya ia meninggal dunia karena digigit ular hitam saat pergi mencarinya untuk obat, sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ia menyebabkan kematian banyak orang karena memberi mereka obat yang terbuat dari olahan ular hitam.

Penutup

Ungkapan “Siapa yang tidak punya guru, gurunya adalah setan” adalah salah satu nasehat dari sekian banyak nasehat ulama  yang menunjukkan tentang pentingnya mengambil ilmu dari jalan berguru kepada ahlinya. Karena itu bisa menghindarkan dari kesalahpahaman, menjaga sanad keilmuan dan untuk mendapatkan keberkahan dari ilmu yang dipelajari.

Namun demikian jangan dipahami itu artinya seseorang tidak boleh mengambil ilmu dari sumber lain semisal dari buku, internet atau bahkan sosmed. Tetap belajar di manapun dan ambil manfaat ilmu dari siapapun dan apapun. Namun yang perlu diingat, itu bukan metode utama dalam belajar agama. Hanya sebagai semacam “nutrisi tambahan”. Tetap ilmu aqidah, fiqih, hadits, apalagi adab dan Akhlaq didapatkan lewat bermajelis dihadapan seorang guru.

            Sebagai penutup kita renungkan perkataan  dari al imam Abdullah bin Mubarak  rahimahullah berikut ini saat beliau ditanya : "Bolehkah mengambil nasehat dalam buku-buku tanpa guru ?"

Beliau menjawab : "Bukan hanya di buku, bahkan kalian boleh mengambil nasehat dari coretan di tembok -tembok. Kecuali dalam masalah Fiqih, kalian tidak boleh menyampaikan, kecuali yang kalian dapatkan dari menyimak (berguru)."

Wallahu a’lam.



[1] Tafsir Ruhul Bayan (5/264).

[2] Faidhul Qadir  (1/433).

[3] Al Ilal (1/355).

[4] Tadzkiratussami’ wal Mutakallim hal. 97.

[5] Minhajul 'Abidin ilaa Janhati Rabbil 'Alamin, hal. 8

[6] Siyar A'lam An Nubala' (18/105).

0 comments

Post a Comment